Membaca Trend Globalisasi (21)
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Menegakkan Kejujuran Akademik
Oleh: Nasaruddin Umar
Kejujuran akademik sesuatu yang amat sulit ditegakkan. Akan tetapi di dalam lintasan sejarah Islam, kejujuran akademik dikaitkan dengan keredibilitas keimanan (tsiqah). Orang yang tidak memiliki kejujuran akademik sama dengan munafik, dengan ancaman neraka paling hina. Para ilmuan Islam sangat hati-hati di dalam mengutip pendapat orang. Jika salah mengutip atau memplagiasi orang lain risikonya sangat besar. Suatu waktu Imam Bukhari merantau sebuah negeri hanya untuk mencari informasi sebuah hadis dari seorang yang dianggap mengetahui hadis itu. Jauh-jauh merantau, setelah menemukan alamat ulama itu, dari kejauhan sang ulama membawa wayan kosong untuk menangkap kudanya, seolah-olah dalam wayan itu ada makanan padahal tidak ada, hanya untuk mengelabui kudanya supaya mendekat. Menyaksikan pemandangan ini, tanpa berkata-kata apapun, ia meninggalkan ulama itu. Ia berpendapat tidak layak menerima informasi kepada orang yang berbohong, meskipun yang dibohongi itu binatang.
Imam bukhari juga menetapkan syarat-syarat akademik bagi sebuah informasi, terutama jika informasi itu berhubungan dengan hadis Nabi. Syarat yang ditetapkan Imam Bukhari untuk bisa disebut shahih atau tidaknya sebuah hadis ialah: 1) Sanad atau mata rantai informasi harus bersambung (ittishal al-sanad), 2) 'Adil atau narasumber informasi itu harus bersifat adil, yaitu harus muslim, baligh, berakal, tidak fasik dan tidak buruk tingkah lakunya. 3) Dhabith atau narasumber harus sempurna daya ingatnya, baik ingatan dalam benak ataupun tulisan. 4) Tidak ada syadz atau informasi yang diperoleh dari narasumber tidak bertentangan dengan informasi yang lebih valid (tsiqah). 5) Tidak ada 'illat atau cacat dari materi dan jalur informasi sumber itu.
Dalam penelitian ilmiah modern, tidak mensyaratkan
kualitas kejujuran, keadilan, dan besarnya dosa yang dilakukan narasumber. Yang
penting pertanggung informasi yang diperoleh darinya dapat
dipertanggungjawabkan. Sebaliknya ilmuan Islam sangat berhati-hati menerima
informasi dari orang-orang yang tidak shalih, tidak wara', tidak santun,
apalagi suka berbohong. Ilmuwan muslin selalu mengaitkan ilmu dengan berkah.
Ilmu yang diperoleh tidak dengan jujur, tidak ikhlas, apalagi melalui cara-cara
tidak halal, maka itu dianggap ilmu-ilmu yang tidak berkah. Ilmu yang berkah
berguna bagi dirinya dan orang lain, membahagiakan dunia dan diakhirat.
Kejujuran ilmiah bukan hanya dalam bidang studi
ilmu-ilmu sosial tetapi juga pada ilmu-ilmu eksakta. Kejujuran ilmiah para yang
diperkenalkan para ilmuwan muslim sejak masa awal diakui belum pernah ada
sebelum dan mungkin sesudahnya. Hal ini diakui oleh para ilmuan Barat, seperti
Franz Rosenthal yang begitu takjub terhadap kejujuran dan kedisiplinan ilmuwan
Arab-Muslim menelusuri informasi. Ia mencontohkan salahseorang ilmuan muslim, Hunain
ibn Ishaq yang berprofesi sebagai penerjemah. Ia tidak pernah mencampur adukkan
satu karya dengan karya lain tanpa mengidentifikasi dan sekaligus mencantumkan
identitas yang punya karya. Contoh lain, kitab-kitab Al-Thabari, baik di dalam
Tafsirnya (Tafsir al-Thabari) maupun kitab Tarikh-nya (Tarikh Imam wa
al-Muluk). Terkadang hanya satu informasi pendek tetapi harus ditulis
berulang-ulang karena informasi itu disampaikan oleh banyak jalur dan semua
jalur itu dicantumkan di dalam tulisan.
Rosenthal juga menyebut Ibn Sina dalam menulis
berbagai karyanya sangat disiplin. Dalam menulis karya agungnya, Kitab
al-Syifa', Ibn Sina selalu mencantumlan sumber-sumber pengambilannya. Jika ia
tidak tahu atau lupa sumber informasinya, ia meminta maaf kepada oarng-orang
yang menjadi sumber informasi itu. Ilmuwan muslim menurut Rosenthal sangat
tawadhu (humble). Ia tidak pernah mengklaim karya orang lain sebagai karyanya.
Ini semua dilakukan karena berhubungan dengan tauhid, dimana Allah Swt Maha
Tahu terhadap apa yang dilakukan hamba-Nya. Menciplat atau memplagiasi karya
orang lain sama dengan mencuri, yang dalam Islam selain pelanggaran hukum juga
akan mengaburkan jiwa dan sulit mendapatkan cahaya Ilahi. []
DETIK, 27 Agustus 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar