Rabu, 23 Desember 2020

Buya Syafii: Museum Koruptor

Museum Koruptor

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Sahabat saya, Prof DR Achmad Sodiki SH, ketua Dewan Etik Mahkamah Konstitusi, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, mantan wakil ketua MK, yang mengusulkan agar didirikan sebuah museum untuk para koruptor.

 

Siapa yang tidak marah, jengkel, bahkan frustrasi, melihat semakin dahsyatnya tindakan korupsi di Indonesia. Terbaru, dua menteri kabinet Jokowi dari parpol berbeda diciduk KPK karena terlibat dalam perbuatan tunamartabat ini.

 

Padahal, mereka baru setahun masuk kabinet. Manusia jenis apa ini, saat negara dan rakyat sedang punya beban sangat berat, masih tega melakukan perbuatan jorok itu.

 

Muncul pertanyaan besar dari publik, "Siapa sesungguhnya yang lebih menentukan seseorang masuk kabinet, partai atau Presiden, atau berdasarkan negosiasi antara keduanya?"

 

Sumpah jabatan, janji dalam pakta integritas tak mempan sama sekali mencegah seorang menteri melakukan perbuatan jahat dan kumuh itu. Itu yang sudah ketahuan, yang belum ketahuan, kita tak tahu daftar mereka. Ini benar-benar lampu merah bagi Indonesia.

 

Negara seperti tak berdaya melawan korupsi. Sangat memuakkan dan menjijikkan perilaku pejabat publik yang muka tebal ini. Prof Sodiki yang berperasaan halus itu, sampai-sampai mengusulkan museum koruptor adalah pertanda situasi sangat darurat korupsi.

 

Sudah hampir dua tahun saya bergaul dengan Prof Sodiki di Dewan Etik MK. Sepanjang pengetahuan saya, pribadi Sodiki adalah manusia lemah lembut, tidak biasa mengeluarkan pendapat keras dan tajam. Pengalamannya di dunia hukum dan moral nyaris sempurna.

 

Mengapa usul Prof Sodiki perlu saya tanggapi? Sebagian sudah dapat dibaca jawabannya dalam keterangan di atas. Namun, perlu lebih dipertegas agar kita sadar jika korupsi ini tetap merajalela seperti sekarang, tak mustahil Indonesia sedang menuju negara gagal.

 

Jika itu yang berlaku, Indonesia pada 2045 seperti yang sering dibanggakan akan masuk kategori salah satu dari lima negara besar dunia secara ekonomi, bisa jadi sebuah mimpi kosong belaka.

 

Pada tahun itu, para pejabat negara sekarang mungkin sudah sangat tua atau bahkan telah tiada. Saat bertemu Presiden Jokowi sekitar setahun lalu, saya sampaikan agar beliau yang tak punya beban masa lampau meninggalkan warisan luhur bagi bagi bangsa dan negara ini.

 

Warisan itu berupa semakin kokoh dan mantapnya pilar-pilar kebangsaan kita di bidang konstitusi, hukum, politik, ekonomi, moral, dan demokrasi. Dengan wabah korupsi yang tak terkendali ini, apakah warisan itu dapat menjadi kenyataan?

 

Apakah fenomena politik dinasti yang banyak dikritik orang akhir-akhir ini justru tidak akan mencemarkan sebuah warisan yang diharapkan itu? Apakah parpol sebagai salah satu pilar demokrasi yang penting tetap saja gagal mendidik kadernya bebas dari korupsi?

 

Daftar pertanyaan semacam ini bisa ditulis sangat panjang, sedangkan jawabannya masih saja berada dalam perut sejarah karena betapa sulitnya membaca peta politik dan peta moral Indonesia kontemporer.

Saya tidak tahu, apakah usul Prof Sodiki akan mendapat tanggapan positif dari negara dan masyarakat. Sekiranya museum itu berdiri, apakah para koruptor jera karena nama dan gambarnya terpampang di sana, bisa dibaca anak keturunannya kemudian hari?

 

KPK yang sudah berusia 17 tahun tampaknya belum bisa berbuat maksimal menghalau korupsi ini ke ujung dunia sana. Namun, setidaknya kejutan-kejutan yang dilakukannya selama ini semakin menyadarkan kita, korupsi itu masih perkasa untuk diberantas.

 

Kita pun tidak tahu, anggota kabinet Presiden Jokowi periode kedua ini berapa orang yang benar-benar bersih dari korupsi. Tentu, kita berharap cukup sudah dua menteri itu saja yang berurusan dengan KPK.

Jangan ada lagi yang menyusul sebab bisa melemahkan, jika bukan menghancurkan, kepercayaan publik kepada lembaga negara, sesuatu yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hari depan bangsa dan negara ini.

 

Selain KPK, sejak tiga tahun terakhir telah dibentuk Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), dengan tugas utama mem-pancasilakan lembaga-lembaga negara dan masyarakat secara keseluruhan.

 

BPIP bukan eksekutor. Badan ini berfungsi memberi arah pembinaan dan panduan kepada negara dan masyarakat, agar nilai-nilai luhur Pancasila menjadi pedoman hidup harian bagi perilaku semua pemangku jabatan publik dan perilaku masyarakat seluruhnya.

 

Dalam rapat-rapat BPIP, sering saya katakan, waktunya sudah sangat tinggi agar Pancasila itu benar-benar dijadikan pedoman konkret bagi negara dan bangsa. Jika korupsi tetap melenggang kangkung, berarti sengat BPIP belum cukup berbisa menembus lembaga-lembaga negara.

 

Dengan kata lain, kasus korupsi dua menteri baru saja masih menunjukkan bahwa Pancasila itu belum berhasil mencuci otak dan jantung mereka, sehingga perbuatan kotor itu masih saja dilakukan tanpa malu.

Apakah harus menunggu didirikan Museum Koruptor lebih dulu baru orang mau tobat? []

 

REPUBLIKA, 15 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar