Sebagaimana telah diketahui, Nahdlatul Ulama (NU) konsisten mengamalkan, mengembangkan dan mendakwahkan agama Islam dengan penuh kesantunan, kedamaian, dan kebijakan. Terlebih terhadap non-Muslim atau orang yang belum mengenal Islam. Namun demikian hal ini justru membuat orang curiga bahwa NU justru terlalu akrab dengan non-Muslim sehingga merugikan perjuangan umat Islam.
Tidak hanya itu, timbul juga nyiyiran yang menganggap NU sekarang tidak lagi seperti NU-nya Hadlratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari pun sering bermunculan. Demikianlah asumsi orang yang tidak mengetahui sejarah dan teladan Ar-Raisul Akbar Nahdlatul Ulama dalam mendakwahkan Islam.
Karl Von Smith (l. 1902 M), arsitek kewarganegaran Belanda kelahiran Hannover Jerman, perjalanan karir di Hindia Belanda mengantarkannya bertemu Kiai Hasyim Asy’ari dan melakukan diskusi berbulan-bulan hingga akhirnya secara penuh kesadaran masuk Islam tanpa paksaan.
Dalam testimoni yang dicatat rapi oleh Muhammad Asad Syahab (1910-2001 M), Karl mengisahkan, sepanjang diskusi denganya Kiai Hasyim menjelaskan Islam dengan sangat baik, tidak berbelit-belit dan rumit. Kiai Hasyim justru menjelaskan Islam dengan logika dari buku-buku yang pernah dibaca oleh Karl dan dari ajaran-ajaran Nasrani, agama yang diyakini Karl sendiri.
Kiai Hasyim sama sekali tidak menyampaikan dalil-dalil Al-Qur’an, Hadits, ataupun penjelasan-ulama Islam di kitab-kitab mereka. Sebab ia tahu betul bahwa Karl tidak percaya dan tidak mengimani kecuali pengetahuan yang diketahui dan ajaran Nasrani yang dipeluknya.
Baru setelah Karl terbuka hati dan pikirannya, yaitu selelah lewat diskusi panjang selama 10 bulan, Kiai Hasyim mulai menyampaikan sedikit ayat Al-Qur’an, Hadits dan nasihat-nasihat yang penuh hikmah. Trenyuh dan meleleh hati Karl mendengarnya sehingga semakin mendorong hatinya untuk mendapatkan penjelasan yang lebih banyak.
“Al-‘Allamah Kiai Hasyim lalu menjelaskan sedikit demi sedikit petuah-petuah para ulama dan ahli hikmah. Semuanya membuka hati pikiranku dan semakin mendorong diriku untuk mengenal Islam lebih jauh sehingga aku memantapkan diriku memilih agama ini, memeluk dan mengimaninya.”
Namun ketika mengetahui niat dan ketertarikanku untuk memeluk agama Islam, tak terduga Kiai Hasyim justru menyatakan:
إِنَّكَ حُرٌّ فِي اخْتِيَارِ الدِّينِ الَّذِي تُرِيدُهُ وَتَرْتَضِيهِ لِنَفْسِكَ. وَأَنْتَ تَعْرِفُ الْإِسْلَامَ، فَاخْتَرْ لِنَفْسِكَ عَقِيدَةً وَدِينًا تُؤْمِنُ بِهِ بِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ هَذَا اْلإِيمَانُ وَهَذِهِ الْعَقِيدَةُ مَبْنِيَيْنِ عَلَى عِلْمٍ وَدِرَايَةٍ وَوَعْيٍ وَيَقِينٍ بَعْدَ الدِّرَاسَةِ.
Artinya, “Sungguh Anda bebas memilih agama yang Anda kehendaki dan Anda relakan untuk diri Anda. Anda sekarang sudah mengenal Islam. Maka, pilihlah keyakinan dan agama untuk diri Anda yang Anda yakini, dengan syarat bahwa keimanan dan keyakinan ini harus dibangun atas dasar ilmu, analisis, kesadaran, dan keyakinan setelah benar-benar mempelajarinya secara tepat.”
Saat itu juga Karl membulatkan tekad untuk memeluk agama Islam secara terang-terangan dengan mengikrarkan syahadat:
أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Artinya, “Aku bersaksi sungguh tiada Tuhan selain Allah, dan Aku bersaksi sungguh Muhammad adalah utusan Allah.”
Sejurus pun, Karl disambut dengan peluk kehangatan dari para santri yang ikut menghadiri majelis diskusi. Ia pun mendapatkan komunitas persaudaraan baru dalam perantauannya di negeri Hindia Belanda. (M Asad Syahab, Al-'Allamah Muhammad Hasyim Asy'ari: Wadhi'Lubnah Istiqlal Indunisiya, [Beirut, Darus Shadiq: 1391 H/1971 M], cetakan pertama, halaman 42-44).
Demikianlah cara mu’amalah, berhubungan, menjalin relasi muslim dan non-Muslim yang diteladankan oleh Ar-Raisu Akbar Nahdlatul Ulama KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Kelak hubungan harmonis dan saling pengertian antarumat beragama seperti itulah yang dilanjutkan oleh para ulama generasi penerusnya, terus sepanjang masa dari KH Abdul Wahid Hasyim, KH Achmad Siddiq, Gus Dur, dan para kiai Nahdlatul Ulama. Dari dulu hingga sekarang dan di masa-masa yang akan datang. Bukannya hal ini sesuai dengan spirit ilahi dalam firman-Nya:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ، فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا، وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh telah jelas antara jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karenanya orang yang mengingkari thaghut dan mengimani Allah, sungguh telah berpegangan pada simpul tali yang sangat kuat dan tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Surat Al-Baqarah ayat 256).
اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِى هِىَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya, “Serulah (manusia) ke agama Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik; dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sungguh Tuhanmu adalah Dzat Yang Maha Mengetahui terhadap orang yang tersesat dari agama-Nya, dan Allah adalag Dzat Yang Maha Mengetahui terhadap orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (An-Nahl ayat 125).
Cara dakwah dan membangun relasi terhadap non-Muslim yang penuh pengertian dan kebijakan inilah yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW dan Walisongo sebagaimana akan dijelaskan dalam tulisan-tulisan berikutnya. ***
Catatan: Naskah ini ditulis dalam rangka menyambut Munas Alim Ulama NU 18-19 Maret 2019 di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah.
[]
Ahmad Muntaha AM, Sekretaris LBM NU Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar