Selasa, 22 Desember 2020

(Ngaji of the Day) Bermazhab Syafi’i atau Syafi’iyah?

Apa beda Syafi’i dan Syafi’iyah? Syafi’i (Muhammad ibn Idris asy-Syafi’I, red) itu mujtahid muthlaq atau mujtahid mustaqil. Ini derajat mujtahid tertinggi. Setiap mujtahid muthlaq seperti Hanafî, Mâliki, Syâfi’î, Hanbalî, dan Dâwûd al-Dhâhirî meletakkan dasar dan kerangka metodologi sendiri dalam mengambil hukum (طريقة الإستنباط). Metode Imam Syâfi’î adalah kerangka dasar istinbâth berdasarkan empat sumber: Al-Qur’ân, Sunnah, Ijmâ’, dan Qiyâs. Kerangka dasar ini adalah basis Imam Syâfi’î menyatakan pendapat hukum.

 

Syâfi’iyah adalah para ulama yang mengikuti metode Imam Syâfi’î. Di antara pengikut Imam Syâfi’î ada yang mencapai derajat mujtahid muqayyad seperti al-Muzannî dan al-Buwaithî. Metodenya mengikuti Syâfi’î, tetapi pendapat hukumnya tidak persis sama. Mujtahid muqayyad bisa naik menjadi mujtahid muthlaq jika dia tidak lagi terikat kepada metode istinbâth (penggalian hukum) imam lain. Ibn Jarîr al-Thabarî, misalnya, selama sepuluh tahun di Baghdad berfatwa dengan mazhab Syâfi’î, setelah itu mandiri.

 

Derajat berikutnya adalah mujtahid mazhab. Dia terikat kepada metode Syâfi’î, menguasai pendapat hukum dalam mazhab Syâfi’î, dan memiliki kemampuan melakukan tarjîh. Di level ini contohnya banyak seperti Râfi’i, Nawâwî, Ibn Hajar al-Haitamî, dan Syamsuddîn al-Ramlî. Kalau di mazhab Hanafi, di level ini ada Ibn Nujaîm, al-Sarkhasî, Ibn Humâm, dan al-Thahâwi. Di mazhab Mâlikî: al-Ma’zarî, Ibn Rusyd, Ibn al-Arabî, dan al-Qarâfî. Di mazhab Hanbalî: Abu Ya’lâ, Ibn Qudâmah, Abu al-Khatîb, dan al-Qâdhî Alâ’uddîn. Level di bawah mujtahid mazhab adalah ulama, yang mengikuti metode dan pendapat Imam dan para ulama mazhabnya.

 

Adakah Mazhab Syâfi’iyah?

 

Mazhab hanya dinisbatkan kepada pendiri mazhab, yaitu imam yang mencapai mujtahid muthlaq. Jadi, tidak ada mazhab Syâfi’iyah, yang ada adalah mazhab Syâfi’î. Apakah mungkin Syâfi’iyah bertentangan dengan Syâfi’î? Bertentangan dalam ushûl dan kaidah istinbâth tidak mungkin. Kalau itu terjadi, berarti orang telah keluar dari mazhab Syâfi’î.

 

Tetapi, berbeda pendapat dalam perkara cabang mungkin saja. Kenapa? Pertama, Imam Syâfi’î tidak maksum. Kedua, pendapat Imam Syâfi’î dinamis. Sewaktu di Baghdad, beliau menelurkan qaul qadim. Selepas pindah ke Mesir, beliau menelurkan qaul jadid. Masing-masing qaul ini dibela oleh pengikutnya. Pendapat hukum Syâfi’î di Bagdad diikuti dan dikembangkan murid-muridnya seperti Ibrâhîm ibn Khâlid al-Kalbî, Husan ibn Alî al-Karâbisî, Hasan ibn Muhammad al-Za’farânî, dan Ahmad ibn Hanbal. Nama terakhir ini kelak mendirikan mazhab sendiri. Pendapat hukum Syâfi’î di Mesir diikuti dan kembangkan murid-muridnya seperti al-Buwaithî, al-Muzannî, Rabî’ ibn Sulaimân al-Murâdî, dan Rabî’ ibn Sulaimân al-Jîzî.

 

Selain dinamis, pendapat Syafi’i dalam suatu masalah seringkali tidak tunggal. Saya akan kutipkan pernyataan Abu Zahrah dalam buku Al-Syâfi’î: Hayatuhû wa ‘Ashruhû wa Ârâ’uhû wa Fiqhuhû (Beirut: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1979), h. 375:

 

«ذكرنا فى صدر كلامنا عن فقه الشافعى أنه يروى له أحيانا في المسألة الواحدة أقوال مختلفة فى حكمها ، وأنه هو قد ينص على قولين في المسألة الواحدة وقد يتركهما من غير ترجيح ، وقد يرجح أحدهما على الآخر، وقد يروى اصحابه مع القولين اللذين ينص هو عليهما قولا ثالثاً ، بل إن ترجيحه قد يختلف ، فقد يرجح بعض الاراء ، وقد يرجع على ذلك الترجيح فيرجح غيره

 

“Telah kami sebut pendapat kami di awal tentang fikih Syâfi’î bahwa terkadang dari Syâfi’î diriwayatkan banyak pendapat atas satu masalah. Adakalanya dia menyampaikan dua pendapat pada satu masalah tanpa tarjîh, adakalanya men-tarjîh satu pendapat atas pendapat lain. Adakalanya para pengikutnya meriwayatkan dua pendapat dengan menyertakan pendapat ketiga, tetapi tarjîh-nya berbeda. Kadangkali sebagian pendapat di-tarjîh dan ditinjau ulang dengan men-tarjîh pendapat lain.”

 

Seiring perkembangan zaman, nisbat kepada Syâfi’î semakin luas sekaligus beragam. Ada dua faksi besar yang sama-sama bernisbat kepada Syâfi’î: faksi Irak dan faksi Khurâsan. Tokoh faksi Irak, antara lain, al-Mâwardî, penulis kitab al-Hâwi al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzannî dan Abu Ishâq al-Shirâzî, penulis kitab al-Muhadzzab. Tokoh faksi Khurâsan, antara lain, Abû Muhammad al-Juwainî, bapaknya Imam al-Haramain al-Juwaini, penulis kitab al-Tabshirah fi al-Fiqh dan al-Tadzkirah.

 

Upaya mengkompromikan dua kubu dilakukan oleh Imam al-Haramain Abû al-Ma’âlî al-Juwainî dan muridnya, imam al-Ghazâlî. Langkah sintesis mencapai puncaknya oleh imam Râfi’î dan imam Nawâwî. Keduanya dikenal sebagai Syaikhani. Para ulama Syâfi’iyah menyatakan, qaul dalam Mazhab Syâfi’î yang dipegangi adalah pendapat yang disepakati oleh Râfi’î dan Nawâwî. Keduanya berhasil menyaring (التنقيح) dan men-tarjîh pendapat-pendapat Imam Syâfi’î. Dalam al-Majmû’, al-Nawâwî menyatakan, mazhab Syâfi’î yang valid adalah qaul jadîd. Qaul qadîm, yang didukung nash, tetap sah diikuti, diamalkan, dan dirujuk sebagai fatwa hukum, kecuali yang bertentangan dengan qaul jadîd (al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 1, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011: 521).

 

Jika pendapat Râfi’î berbeda dengan Nawâwî, qaul yang dipegangi adalah pendapat Nawâwî. Jika pendapat Nawâwî di satu kitabnya berbeda dengan pendapatnya di kitabnya yang lain, qaul yang dipegangi adalah pendapat Nawâwî yang paling mutakhir, dengan urutan: al-Majmû’, al-Tahqîq, al-Tanqîh, Rawdhat al-Thâlibîn, dan Minhâj al-Thâlibîn. Menurut Ibn Hajar al-Haitamî dan Syamsuddîn al-Ramlî, pendapat Nawâwî dalam Minhâj al-Thâlibîn adalah qaul mutakhir yang dipegangi jika pendapat Nawâwî saling bertentangan. Keduanya menulis syarah untuk kitab Minhâj, berjudul Tuhfat al-Muhtâj dan Nihâyat al-Muhtâj. Satu syarah lagi ditulis oleh Khatîb Syarbînî berjudul Mughnî al-Muhtaj. Bagaimana jika al-Haitamî dan al-Ramlî berbeda pendapat? Sebagian ulama menyatakan, qaul yang dipegangi adalah pendapat Ibn Hajar al-Haitamî. Ada juga juga yang menyatakan sebaliknya (Muhammad Sulaimân al-Kurdî, al-Fawâid al-Madaniyah fî man Yuftâ bi Qaulihî min Aimmat al-Syâfi’iyah, 2011: 59-60).

 

Alhasil, tidak ada mazhab Syâfi’iyah, yang ada adalah mazhab Syâfi’î. Bermazhab tidak berarti membebek, karena bermazhab itu berarti mengikuti manhaj-nya, atau qaul-nya, atau dua-duanya. Dalam mazhab Syâfi’î banyak dinamika, karena pendapat Imam Syâfi’î dalam satu kasus tidak tunggal. Ini jawaban bagi dai salafi yang bilang mayoritas Muslim Indonesia bermazhab Syâfi’iyah, bukan Syâfi’î. Penggalan video-nya dikirim oleh sahabat dan senior saya, Mas Hanif Dhakiri. Saya tahu, Mas Hanif minta saya memberi tanggapan. Meski awalnya tidak berniat menanggapi, tetapi karena yang minta senior yang saya hormati, saya tanggapi dengan meluruskan pendapat dai salafi ini yang gagal paham soal mazhab. Karena dasar pengertiannya soal mazhab saja salah, contoh-contoh yang diberikannya seperti mengucapkan niat, tahlilan, dzikir jahar ba’da salat, dan lain-lain tidak perlu ditanggapi karena pendapat dia dalam hal itu memang betul: betul-betul ngawur! []

 

M Kholid Syeirazi, Sekretaris Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar