Masyarakat Sipil: Berbasis Agama
Oleh: Azyumardi Azra
Masyarakat Sipil (MS) khususnya LSM advokasi, khususnya di Eropa Timur dan Amerika Latin, melakukan perlawanan terhadap rezim otoritarianisme. MS ini berada dalam posisi oposisional berhadapan konfrontatif dengan kekuasaan politik.
Dalam kajian yang sudah ketinggalan, MS pertama-tama mencakup kelompok pertama NGO atau LSM atau ornop (organisasi non-pemerintah) yang disebut di atas. MS dalam kajian lama juga memasukkan organisasi, asosiasi, atau serikat profesi semacam guru, dosen, atau buruh.
Dalam kenyataannya, di wilayah lain seperti Indonesia, MS tumbuh dan berkembang dalam masa panjang menghadapi sistem politik dan rezim penguasa berbeda.
Kebanyakan MS ini pada masa penjajahan dan pascakemerdekaan adalah ormas berbasis agama, khususnya Islam yang disebut sebagai ‘Islamic-based mass-organization’. Ormas-ormas berdiri dan berkembang sejak dasawarsa awal abad ke-20.
Mereka berkembang dengan jumlah anggota dan kegiatan berbeda satu sama lain di berbagai daerah dan pelosok kepulauan nusantara. Nahdlatul Ulama (NU berdiri 1926) dan Muhammadiyah (berdiri 1912) disebut ormas Islam terbesar pertama dan kedua.
Semua ormas ini sebenarnya memiliki lebih banyak komonalitas dan afinitas daripada perbedaan. Sepanjang sejarahnya, ormas ini tak pernah terlibat konflik panjang dan luas. Memang mereka secara terbuka atau diam-diam berkompetisi memajukan ormas dan jamaah masing-masing.
Berdasarkan Islam dengan usaha untuk meninggikan Islam dan kaum Muslim, ormas-ormas ini terutama bergerak dalam bidang dakwah, pendidikan, pelayanan sosial, dan pengembangan ekonomi.
Namun, penulis Resonansi ini sejak waktu lama berhujah, ormas Islam sekaligus adalah Islamic-based civil society, masyarakat sipil berbasis Islam.
Argumen ini pernah diajukan, misalnya dalam artikel, “Religious-based Civil Society and Anti-Corruption Campaign: The Indonesian Experience in the Creation of Good Governance” dalam Helen James (ed.), Civil Society, Religion and Global Governance (London & New York: Routledge, 2007).
Mengapa ormas Islam termasuk MS? Tidak lain karena MS berbasis Islam dan berperan penting menumbuhkan ‘civic culture’ untuk membentuk ‘civility’ (keadaban) yang perlu bagi demokrasi untuk tumbuh dan berurat berakar.
Ormas-ormas Islam inilah yang pernah disebut antropolog Robert Hefner sebagai ‘civil Islam’, ‘Islam sipil’ atau ‘Islam kewargaan’ atau bahkan juga ‘Islam madani’ sesuai cakupan makna istilah ‘civil’.
Dengan inklusivitas, akomodasi dan toleransinya pada umat beragama lain, ormas ‘civil Islam’ menjadi faktor penting pemeliharaan kohesi sosial, budaya, dan politik.
Sebagai MS, ormas Islam memiliki karakter sesuai definisi ‘civil society’, yaitu independen dari negara, mengatur diri sendiri, mandiri pendanaan. Mereka memainkan peran CS, ‘menjadi jembatan atau mediator di antara negara (rezim penguasa) dengan rakyat akar rumput’.
Dengan karakter seperti itu, MS berbasis Islam juga berdiri di depan dalam upaya pembentukan Indonesia yang demokratis. Sepanjang masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, ormas Islam turut menjadi kekuatan pembendung otoritarianisme—walau tidak sepenuhnya berhasil.
Eksistensi MS berbasis Islam yang dinamis dan bergairah jauh sebelum kemerdekaan NKRI adalah warisan utama Islam Indonesia. Tak banyak negara Muslim lain yang memiliki MS kuat dan dinamis.
Kenyataan inilah yang membuat transisi Indonesia dari otoritarianisme ke dalam demokrasi sejak 1998 berlangsung relatif lancar.
Pada masa awal transisi, pemimpin dua ormas MS menjadi pemimpin puncak Indonesia, Amien Rais, ketua umum PP Muhammadiyah sebagai ketua MPR dan Abdurrahman Wahid, ketua umum PBNU sebagai presiden.
Kini, demokrasi Indonesia berada dalam tahun-tahun awal dasawarsa ketiga. Selama lebih dari dua dekade, demokrasi prosedural, seperti pemilu, pilpres, dan pilkada berjalan reguler dengan aman dan lancar.
Namun jelas, demokrasi lebih daripada pemilu, pilpres, dan pilkada atau lebih daripada sekadar parpol dan lembaga perwakilan rakyat. Demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, disebut banyak lembaga pemantau demokrasi di dalam dan luar negeri mengalami kemerosotan.
Kemunduran itu disebabkan kian berkurangnya kebebasan berekspresi dan beraspirasi, serta semakin terpinggirkannya MS. Terdapat berbagai indikasi munculnya kembali politik otoritarianisme.
Dengan perkembangan demokrasi Indonesia yang tak sesuai harapan itu, kini saatnya MS berbasis agama beserta MS advokasi dan MS profesi merapatkan barisan. Mereka perlu melakukan rejuvenasi dan revitalisasi demokrasi guna membangun Indonesia lebih berkeadaban. []
REPUBLIKA, 10 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar