Rabu, 30 Desember 2020

(Ngaji of the Day) Tiga Jenis Zakat Pertanian dan Cara Menunaikannya

Ada banyak jenis tanaman pangan. Tanaman pangan yang manshush (tertuang dalam teks syariat) adalah tanaman pangan yang masuk kategori biji-bijian dan bisa disimpan dalam jangka waktu lama. Dengan begitu, maka yang masuk dalam kategori jenis tanaman wajib zakat adalah gandum, padi, jagung, dan jenis kacang-kacangan (al-ful). Adapun untuk jenis tanaman produktif, adalah tanaman yang bisa dimanfaatkan segi buahnya untuk tujuan diperdagangkan. Penekanan pada sisi buah ini dikarenakan asal dari teks syariat (nash), hanya menyebutkan zakat buah (tsimar). Contoh dari tanaman ini adalah kurma dan anggur. Untuk kategori tanaman yang sifatnya manshush ini, para ulama sepakat mengelompokkan zakatnya sebagai zakat pertanian.

 

Apakah sudah cukup sampai di sini? Ternyata tidak. Para ulama berselisih pendapat mengenai pengertian buah di sini. Semisal, tanaman karet, ia masuk kategori tanaman produktif dalam bentuk produksi getah karet. Tanaman sawit, maka hasil produksi berupa buah sawit. Perkebunan Teh, masuk unsur produktifnya berupa daun teh.

 

Karena sebelumnya tidak dijumpai dalam teks, maka teknik penyelesaian zakat dari kelompok tanaman produksi jenis ini, diperselisihkan. Ada yang memutus wajib zakat pertanian, namun ada pula yang memutus sebagai bukan zakat pertanian melainkan dikembalikan pada qashdu li-al-tijarah (niat diperdagangkan)-nya. Jika melihat dari sisi qashdu al-tijarah, maka zakatnya dinamakan zakat perdagangan (tijarah). Insyaallah kita bahas kelak dalam zakat perkebunan. Kali ini kita fokus terlebih dulu pada zakat pertanian.

 

Syariat Islam sebenarnya membagi zakat pertanian berdasar dua kategori lahan. Pertama, lahan tadah hujan (‘atsary), dan kedua lahan irigasi berbayar (dawalib). Namun, berbekal mencermati realitas di masyarakat, ada juga lahan yang di waktu musim penghujan, ia mendapat siraman air hujan dan sudah mencukupi. Namun, ketika musim kemarau, areal itu disirami dengan irigasi berbayar. Berbekal realita ini, maka para ulama memasukkan kategori lahan jenis ketiga, yaitu lahan dari irigasi campuran. Kita akan masuk dalam penjelasan masing-masing.

 

Lahan Tadah Hujan (‘Atsary)

 

Umumnya masyarakat memaknai lahan tadah hujan ini sebagai lahan yang pengairannya hanya mengandalkan air hujan semata atau limpasan air hujan semata (al-saili). Tidak ada sarana irigasi lain selain hal itu. Padahal tidak demikian pengertiannya, sebagaimana yang tertuang di dalam kitab-kitab turats yang mu’tabar.

 

Masuk dalam rumpun lahan pertanian tadah hujan adalah tanah yang pengairannya berada di lokasi yang dekat dengan sungai sehingga akar-akar tanaman budidaya secara langsung menyerap dan mengambil air dari sungai, adalah masuk dalam rumpun lahan tadah hujan.

 

Fiqih membahasakan tanaman seperti ini dengan istilah al-ba’lu. Demikian pula dengan lahan pertanian yang dialiri oleh mata air tidak berbayar (‘adamu al-mu’nati), semua ini adalah masuk kategori tadah hujan. Memang di dalam nash dinyatakan sifat umum dari model siraman ini, dinyatakan sebagai air langit (mau al-sama’) saja. Namun para ulama menangkap illat (alasan dasar hukum) dari air langit ini sebagai irigrasi gratis, tanpa dipungut biaya (‘adamu al-mu’nah). Terhadap tanaman yang memiliki kesamaan illat seperti ini, maka diputuskan besaran wajibnya zakat sebagai 10% dari hasil tanaman, dengan catatan telah mencapai nishab dan haul (Kifayatu al-Akhyar, juz I, halaman 189).

 

Lahan Irigasi Berbayar Fiqih sebenarnya hanya menyatakan konsepsi:

 

إن سقيت بدواليب أو غرب نصف العشر

 

Artinya: “Jika sebuah tanaman diairi dengan menggunakan gayung atau timba yang besar, maka zakatnya setengahnya sepersepuluh (5%)” (Kifayatu al-Akhyar, Juz I, halaman 189).

 

Dawalib memiliki makna dasar berupa gayung atau timba kecil. Artinya, untuk menyirami tanaman, dibutuhkan jerih payah mendatangkan airnya dan menyiramkannya. Andai perlu seorang pekerja untuk mendatangkan, maka pekerja tersebut menghendaki ujrah (upah). Upah masuk dalam rumpun mu’nah (biaya). Adanya biaya ini kemudian dijadikan illat bahwa semua kategori irigasi pertanian yang dilakukan dengan jalan mengeluarkan biaya, adalah masuk rumpun ma suqiyat bi dawalib (areal irigasi berbayar).

 

Qiyas di atas sebenarnya juga berangkat dari sebuah pengertian dalil asal berupa hadits Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

فِيمَا سَقَتِ اَلسَّمَاءُ وَالْعُيُونُ, أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا: اَلْعُشْرُ, وَفِيمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ: نِصْفُ اَلْعُشْرِ. - رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ

 

Artinya: “Setiap areal yang mendapat siraman lagit, mata air, atau tadah hujan, maka zakatnya adalah 10%. Sementara areal yang disirami dengan memakai onta, maka zakatnya adalah 5%” (HR. Bukhari).

 

Alhasil, lahan tanaman yang diperoleh dari lahan irigasi berbayar, bila telah mencapai nishab dan haul, maka kewajiban zakatnya adalah 5%.

 

Lahan Irigasi Campuran

 

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa lahan yang masuk kategori ini, adalah lahan dengan ciri khas irigasinya tergantung pada musim. Pada waktu musim penghujan, ternyata kondisinya cukup dengan siraman air hujan semata. Sementara pada waktu musim kemarau, maka lahan harus diairi dengan menggunakan irigasi berbayar. Nah, bagaimana dengan ketentuan zakatnya? Ini adalah sebuah pertanyaan penting sekali disampaikan.

 

Menurut Syekh Taqiyuddin al-Hushny dalam Kifayatu al-Akhyar, solusi zakatnya adalah dengan ditetapkan dengan jalan taqshith. Taqshith ini dilakukan dengan jalan membandingkannya antara lama areal disirami dengan air hujan, dan disirami dengan air irigasi berbayar. Bila lama bulan antara penghujan dan kemarau adalah sama dalam satu tahunnya (penghujan 6 bulan, kemarau 6 bulan), maka zakat yang bisa dipungut dari areal irigasi campuran ini adalah sebesar 7,5%. Besaran persentase yang sama juga ditetapkan untuk lama musim penghujan dan kemarau yang tidak jelas/tidak diketahui. Suatu misal, pemilik ragu-ragu, berapa lama musim penghujan telah lewat, dan kemarau telah lewat, maka dalam kondisi seperti ini, seluruh hasil tanaman yang diperoleh dari musim penghujan dan kemarau ditotal secara umum, kemudian diambil 7,5%-nya sebagai zakat.

 

Bagaimana bila diketahui lama masing-masing musim? Dalam kondisi seperti ini, maka tata cara penentuan besaran zakat bisa dilakukan dengan cara membandingkannya. Semisal, musim penghujan berlangsung selama 4 bulan. Sementara musim kemarau, berlangsung selama 8 bulan. Maka cara menghitung persentase zakatnya, adalah harus lebih dari 5%, dan kurang dari 10%.

 

Contoh, jika satu tahun tadah hujan harus mengeluarkan zakat sebesar 10%, maka untuk lama 4 bulan irigasi tadah hujan, maka persentase zakatnya adalah sebesar: (4 bulan/12 bulan) x 10% = 3,33%. Untuk 8 bulan irigasi berbayar, maka persentase zakatnya adalah sebesar (8 bulan/12 bulan) x 5% = 3,33 %. Total persentase tadah hujan ditambah total persentase irigasi berbayar = 3.33% + 3.33%, sehingga total 6,66%.

 

Nah, sekarang bikinlah contoh lain, semisal jika lama irigasi hujan selama 8 bulan, dan irigasi berbayar 4 bulan, maka berapa persenkah zakat yang harus dibayarkan? Jika jawaban anda adalah 8,33%, maka jawaban anda adalah benar. Wallahu a’lam bish shawab. []

 

Ustadz Muhamamd Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar