Selasa, 15 Desember 2020

Azyumardi: Menghidupkan Demokrasi

Menghidupkan Demokrasi

Oleh: Azyumardi Azra

 

Kenapa perlu ”menghidupkan” atau merejuvenasi demokrasi? Apakah demokrasi tak hidup lagi? Bukankah demokrasi adalah sistem politik paling dominan di dunia sehingga sulit dipercaya bisa mati?

Belakangan ini di Tanah Air berkembang wacana tentang ”demokrasi telah mati”. Terjadi percakapan dan perdebatan hangat di kalangan akademisi, politisi, dan pejabat pemerintah tentang isu ini. Wacana ”kematian demokrasi” membangkitkan euforia di kalangan figur, organisasi, atau kelompok yang menolak demokrasi karena alasan tertentu. Jika demokrasi mati, mereka beranggapan ada peluang adopsi sistem politik lain.

 

Sejak demokrasi diadopsi sebagai sistem politik di kian banyak negara, para penolak demokrasi umumnya mengajukan sistem politik otoritarianisme. Sistem ini  bisa berdasar sekularisme atau teokrasi.

 

Wacana tentang ”kematian  demokrasi” juga seolah memperkuat posisi mereka yang skeptis terhadap demokrasi. Kalangan skeptis tak yakin demokrasi bisa fungsional dan efektif untuk membangun kesejahteraan ekonomi, kemajuan sosial budaya, dan peradaban warga.

 

Kelompok skeptis yang menolak otoritarianisme dan teokrasi menganjurkan sistem politik alternatif. Bagi mereka, alternatifnya adalah totalitarianisme dengan sistem partai politik tunggal atau satu partai politik dominan. Republik Rakyat China adalah contoh sukses one party system. Sering pemimpin negara demokrasi tergoda mengikuti model RRC dalam cara tertentu.

 

Mempertimbangkan wacana dan gerakan yang berkembang,  eksponen demokrasi di Indonesia penting memahami  apa sebenarnya yang dimaksud dengan ”kematian demokrasi”. Selanjutnya, perlu juga dipahami dari segi mana dan bagaimana proses ”kematian demokrasi”.

 

Kajian cermat subyek ini seyogianya mendorong pendukung dan penegak demokrasi melakukan segala sesuatu yang perlu untuk mencegah demokrasi terjerumus ke dalam kematian. Sungguh berbahaya; berbagai ekspresi kebebasan juga bakal menghilang jika demokrasi mati.

 

Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya guna  menjaga demokrasi tetap hidup. Perlu pemulihan kepercayaan pada demokrasi sebagai sistem politik yang mengandung lebih sedikit mudarat dibandingkan dengan sistem politik lain, seperti otoritarianisme, teokrasi, dan totalitarianisme.

 

Semua rekomendasi ini amat penting dalam konteks Indonesia. Sudah banyak penilaian  lembaga  otoritatif di dalam atau luar negeri tentang keadaan demokrasi Indonesia. Pandangan mereka dapat menjadi rujukan dalam mengukur perkembangan demokrasi Indonesia.

 

Mereka hampir senada menyatakan demokrasi Indonesia mundur sejak empat tahun terakhir atau lebih. Memang, demokrasi Indonesia belum terjerumus dalam ”kematian”.  Namun, kian banyak pertanda terus surutnya kehidupan dan vitalitas demokrasi Indonesia.

 

Sekali lagi, perlu pemahaman proporsional tentang ”kematian demokrasi” yang kini muncul; yang antara lain dipicu oleh beredarnya kembali buku dua guru besar politik Universitas Harvard, Amerika Serikat, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die (2018). Meski sejak awal penerbitan sudah beredar juga di Indonesia, baru belakangan buku ini jadi perbincangan publik.

 

Sebenarnya cukup banyak literatur sebelum karya Levitsky dan Ziblatt yang berbicara tentang ”kematian demokrasi”. Salah satu yang terpenting adalah karya John Keane, The Life and Death of Democracy (2009). Karya ini membahas secara komprehensif pasang naik dan surut demokrasi seabad terakhir.

 

Keane berargumen, sejarah demokrasi penting dipahami untuk membangun demokrasi lebih genuine di masa sekarang. Lewat sejarah, bisa  digali faktor yang membuat demokrasi maju ataupun mundur. Lewat sejarah pula pemimpin demokrasi dan eksponen demokrasi dapat menghindari jebakan dan godaan yang dapat menjauhkan negara-bangsa dari demokrasi. Meski ada pasang dan surut, demokrasi tak pernah benar-benar mati.

 

Meski judul buku Levitsky dan Ziblatt berbunyi Bagaimana Demokrasi Mati, keduanya tidak bermaksud secara harfiah, menyebut demokrasi ”sudah tidak bernapas lagi”. Mereka hanya menjelaskan ”demokrasi dapat mati” karena dibonsai pemimpin negara demokrasi.

 

Ada beberapa negara yang pemimpinnya sedang membawa demokrasi ke sakratulmaut. Mereka termasuk Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump, Hongaria di bawah Perdana Menteri Viktor Orban, Rusia di bawah Vladimir Putin, dan Turki di bawah Recep Tayyip Erdogan.

 

Bagaimana demokrasi bisa mati? Menurut Levitsky dan Ziblatt, kematian demokrasi disebabkan kebangkitan otoritarianisme yang menggunakan demokrasi. Tidak mudah mencegah munculnya pemimpin dalam proses demokrasi yang kemudian mengesampingkan demokrasi dengan menerapkan otoritarianisme.

 

Berdasarkan perilaku politik  Trump, Levitsky dan Ziblatt mendaftar empat indikator otoritarianisme. Pertama, menolak atau berkomitmen lemah pada ketentuan demokrasi, misalnya dengan membatalkan konstitusi, mendukung cara inkonstitusional, seperti kudeta; dan menolak legitimasi pemilu. Kedua, menolak legitimasi lawan politik; menuduh oposisi terlibat subversi atau kriminalitas atau menjadi agen asing sehingga tidak layak ikut dalam proses politik.

 

Ketiga, menoleransi atau mendorong kekerasan lewat penggunaan kelompok paramiliter, geng, atau preman. Mendorong mereka melakukan kekerasan terhadap oposisi. Keempat, membatasi kebebasan lawan politik dan masyarakat sipil yang mereka sebut ”kebablasan” dan menerapkan pembatasan media.

 

Tidak ada jalan pintas untuk terus menjaga demokrasi tetap hidup secara lebih otentik dan genuine. Levitsky dan Ziblatt juga tidak memberikan jalan keluar mencegah ”kematian” demokrasi di tangan pemimpin otoritarian.

 

Dalam konteks Indonesia, meski mengalami kemunduran, demokrasi jelas tidak tergantikan dengan sistem politik lain. Indonesia beruntung dengan banyaknya masyarakat sipil yang, walau dimarjinalisasikan, tetap bertahan dan dinamis. Kekuatan masyarakat sipil  sudah tertanam kuat dalam kehidupan warga selama puluhan dasawarsa. Saat rezim terus berganti, masyarakat sipil terus menjaga dan menghidupkan demokrasi.

 

Pekan depan, Rabu (9/12/2020), di tengah terus meningkatnya kasus Covid-19, Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah yang cukup masif. Apakah pilkada ini bisa menghidupkan demokrasi?

 

Pertanyaan itu tidak mudah dijawab. Namun, demokrasi jelas lebih dari sekadar pilkada dan pemilu reguler. Demokrasi juga memerlukan kebebasan berekspresi dan beraspirasi dengan masyarakat sipil sebagai bagian integral dari proses politik. Inilah yang juga perlu terus diperjuangkan masyarakat sipil. []

 

KOMPAS, 3 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar