Rabu, 23 Desember 2020

(Ngaji of the Day) Hukum Mengajar Al-Qur'an di Dalam Masjid dalam Kondisi Haid

Masjid didirikan sebagai pusat dakwah dan pendidikan Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW. Dalam perkembangannya, tidak hanya orang dewasa yang belajar di masjid, tetapi juga anak-anak. Pengajarnya pun tidak hanya terdiri atas laki-laki, tetapi juga perempuan seiring tren penempatan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) di dalam masjid dengan berbagai alasan.

 

Fenomena ini menyisakan masalah fiqhiyyah bagi muslimah di Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi'i, yang mengharamkan perempuan haid masuk dan berdiam di dalam masjid. Lalu bagaimana dengan ustadzah TPQ yang sedang haid yang harus mengajar di dalam masjid? Haruskah ia cuti selama haid atau adakah solusi fiqihnya?

 

Mayoritas ulama mazhab empat mengharamkan orang yang sedang junub dan perempuan yang sedang haid untuk masuk ke dalam masjid berdasarkan Surat An-Nisa' ayat 43 dan hadits berikut:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا، وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ، إِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

 

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jangan kalian melakukan shalat dalam keadaan mabuk sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan; (jangan pula kalian menghampiri masjid) dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja sehingga kalian mandi. Jika kalian sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapat air, tayamum dengan debu yang baik (suci). Sapulah muka dan tangan kalian. Sungguh Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An-Nisa’ ayat 43).

 

Adapun berikut ini adalah hadits yang dikutip oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Kitab Bulughul Maram min Adillatil Ahkam.

 

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُب. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ

 

Artinya, “Dari Sayidah Aisyah RA, sungguh Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan haid dan orang yang junub,” (HR Abu Dawud. Ibnu Khuzaimah menshahihkannya).

 

Lalu bagaimana dengan guru TPQ yang sedang haid namun punya jadwal mengajar di masjid?

 

Berkaitan permasalahan ini pakar fiqih bermazhab Maliki kota Sfax atau Shafaqis Tunisia, Abul Hasan Al-Lakhmi (wafat 478 H) berpendapat, perempuan haid boleh masuk ke dalam masjid asalkan benar-benar menjaga darahnya, tidak menetes, atau mengotori masjid.

 

Menjelaskan hal ini, Abu Abdillah Al-‘Abdari (wafat 897 H) mencatat:

 

وَأَجَازَ ابْنُ مَسْلَمَةَ دُخُولَهُ مُطْلَقًا فَأَلْزَمَهُ اللَّخَمِيُّ الْحَائِضَ مُسْتَثْفِرَةً

 

Artinya, “Ibnu Maslamah membolehkan orang junub masuk ke dalam masjid secara mutlak. Kemudian Al-Lakhmi menetapkan hukum tersebut bagi orang haid dengan kondisi mustatsfirah (benar-benar menjaga darahnya tidak menetes atau mengotori masjid),” (Al-‘Abdari, At-Taju wal Iklil li Mukhtasharil Khalil, [Beirut, Darul Fikr: 1398 H], juz I, halaman 317).

 

Pengertian kata “mustatsfirah” merujuk pada wanita yang memakai izar (kain bawah semacam jarit) kemudian menarik ujungnya ke belakang melewati tengah-tengah kedua kakinya (selangkangannya) dan menjahit atau mengikatnya di bagian tengah belakang kainnya. (Abul Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayisil Lughah, [Beirut, Darul Fikr: 1399 H/1979 M], juz I, halaman 381).

 

Dari sini penjelasan Imam Al-Lakhmi ini, dapat dipahami bahwa, yang terpenting bagi wanita haid adalah menjaga agar darahnya tidak menetes, merembes, atau mengotori masjid. Bila demikian, semisal wanita haid memakai pembalut yang benar-benar mampu menahan rembesan darah haid dibolehkan masuk masjid. Validitas pendapat Al-Lakhmi ini dapat dikonfirmasi dalam kitab fiqih mazhab Maliki lainnya, semisal Kitab Mawahibul Jalil karya Al-Hatthab Ar-Ru’yani (902-954 H/1497-1547 H) yang menjelaskannya sebagai berikut:

 

وَقَالَ اللَّخْمِيُّ اخْتُلِفَ فِي دُخُولِ الْحَائِضِ وَالْجُنُبِ الْمَسْجِدَ. فَمَنَعَهُ مَالِكٌ وَأَجَازَهُ زَيْدُ بْنُ أَسْلَمْ إِذَا كَانَ عَابِرِ سَبِيلٍ. وَأَجَازَهُ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ جُمْلَةً. وَقَالَ: لَا يَنْبَغِي لِلْحَائِضِ أَنْ تَدْخُلَ الْمَسْجِدَ لِأَنَّهَا لَا تَأْمَنُ أَنْ يَخْرُجَ مِنَ الْحَيْضَةِ مَا يُنَزَّهُ عَنْهُ الْمَسْجِدُ، وَيَدْخُلُهُ الْجُنُبُ لِأَنَّهُ يَأْمَنُ ذَلِكَ. قَالَ: وَهُمَا فِي أَنْفُسِهِمَا طَاهِرَانِ سَوَاءً. وَعَلَى هَذَا يَجُوزُ كَوْنُهُمَا فِيهِ إِذَا اسْتَثْفَرَتْ. انتهى

 

Artinya, “Al-Lakhmi berkata, berkaitan dengan masuknya wanita haid dan orang junub ke dalam masjid, hukumnya diperselisihkan. Imam Malik mencegahnya. Sedangkan Imam Zaid bin Aslam membolehkannya ketika hanya lewat. Muhammad bin Maslamah membolehkannya secara umum. Ia berkata, ‘Wanita haid hendaknya tidak masuk ke dalam masjid karena tidak ada jaminan haidnya—yang semestinya masjid terbersihkan darinya—keluar darinya. Sedangkan orang junub boleh memasukinya karena terhindar dari kemungkinan seperti itu.’ Al-Lakhmi berkata, ‘Wanita haid dan orang junub itu sama-sama suci. Berdasarkan hal ini, mereka berdua sama-sama boleh berada di dalam masjid, yaitu ketika wanita haid tersebut benar-benar menjaga darahnya tidak menetes atau mengotori masjid (semisal dengan pembalut yang berkualitas). (At-Tharablusi/Al-Hathab, Mawahibul Jalil li Syarh Muhtashar Khalil, [tanpa keterangan kota, Darul ‘Alam Al-Kutub: 2003 M/1423 H], juz I, halaman 551-552).

 

Walhasil, pendapat Al-Lakhmi tersebut dapat menjadi solusi bagi para ustadzah TPQ atau lainnya yang sedang haid namun punya jadwal mengajar di dalam masjid. Dengan mengikuti pendapat tersebut, ia boleh untuk tetap mengajar Al-Qur’an meskipun lokasi kelasnya berada di dalam masjid, asalkan benar-benar menjaga darah haidnya tidak mengotori masjid.

 

Pun demikian, bila pengajarnya banyak dan masih memungkinkan bagi ustazdah yang sedang haid untuk cuti atau absen terlebih dahulu hingga selesai haidnya, maka lebih baik baginya untuk tidak mengajar terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perbedaan pendapat ulama sesuai kaidah fiqih, “Al-Khuruj minal khilaf mustahabb.” Wallahu a’lam. []

 

Ustadzah Dalliya HQ, Pengasuh Pesantren Fasihuddin Pasirputih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar