Rabu, 30 Desember 2020

Nasaruddin Umar: Membaca Trend Globalisasi (26) Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Pola Migrasi Umat

Membaca Trend Globalisasi (26)

Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Pola Migrasi Umat

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Umat ideal (khaira umah) di masa depan semakin sulit diprediksi. Selain kriteria juga muncul fenomena deteritorialisasi umat. Perkembangan terakhir umat Islam tidak lagi terkonsentrasi di salah satu negara saja tetapi menyebar dan membaur dengan umat-umat lain. Dalam kondisi seperti ini seudah barang tentu memerlukan kriteria baru di dalam merupaskan konsep khaira ummah.

 

Kecenderungan terakhir pola migrasi umat yang sangat cepat dan luas. Perkembangan sains dan teknologi, terutama di sektor transportasi dan didukung pertumbuhan ekonomi umat yang semakin baik, mengharuskan pemimpin umat untuk mengantisipasi sejumlah kemungkinan yang mungkin tidak pernah ditemukan di dalam lintasan sejarah. Pola migrasi umat selama dua dekade terakhir menimbulkan wajah baru dunia Islam. Mereka secara besar-besaran melakukan eksodus ke negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan Asia Selatan. Mereka eksodus karena krisis politik, ekonomi, dan sosial di negerinya, terutama di era pasca 'Badai Gurun' (Arab Spring). Banyak di antara mereka terpaksa hijrah ke negara-negara tujuan yang bisa menampungnya untuk menyelamatkan diri sambil mencari lahan kehidupan baru.


Menurut Murad W. Hofmann, mantan Direktur Informasi NATO, dalam bukunya "Religion on the Rise, Islam in the Third Millennium", akan memberikan dampak hegemoni sosial-politik dunia, mengingat Islam adalah sistem ajaran yang menuntut loyalitas kepada penganutnya. Menurut Hofmann, pola migrasi komunitas Islam agak berbeda dengan komunitas lain. Secara fisik komunitas muslim berada di negara lain, bahkan sudah menjadi warga negara (citizen) atau pemegang green card, tetapi loyalitas terhadap negara asalnya masih tetap tinggi. Hal itu disebabkan karena ikatan keagamaan paling dominan. Mereka membayar pajak di negeri barunya tetapi masih membayarkan zakat harta, infaq, shadaqah, dan belanja-belanja keagamaan lainnya ke negeri asalnya. Ziarah ke maqam leluhur dan guru-guru spiritual tetap rutin dilaksanakan. Sebagian juga masih membangun rumah di negeri asal termasuk dana yang dikumpulkan diinvestasikan ke negeri asalnya. Mereka masih sangat terikat dengan negara asalnya, karena tokoh-tokoh keagamaan kharismatik dari negerinya tetap dijalin. Bahkan secara periodik tokoh spiritual itu didatangkan ke negeri baru ini untuk memberikan pencerahan.


Migran muslim di negara-negara barat kini sudah lahir generasi kedua atau ketiga. Mereka masih tetap dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam. Dari manapun dan dimanapun komunitas Islam itu berada selalu menciptakan lingkungan sosial unik karena Mereka memiliki simbol-simbol perekat (melting pot) berupa masjid, halal food, pendidikan dasar keagamaan untuk anak-anak mereka, dan majlis taklim untuk para orang tua. Persaudaraan sesame umat Islam dari manapun asalnya sangat akrab satu sama lain di negeri barunya. Mereka bersama-sama membangun sekolah atau madrasah untuk melestarikan generasi muslim ideal. Mereka juga menjalin komunikasi dalam bentuk media sosial sehingga antara satu sama lain sangat akrab. Keakraban mereka terutama dapat terlihat seusai menjalankan ibadah-ibadah ritual seperti shalat Jum'at, majlis ta'lim, kerja bakti, dll.


Dapat dicontohkan, hari-hari raya keagamaan juga sangat intensif mempertemukan antara sesame komunitas muslim. Misalnya hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha sering menjadi ajang pertemuan antar keluarga muslim. Mereka menyelenggarakan shalat 'Id bersama. Dalam bulan Ramadhan ada kegiatan rutin yang disebut buka bersama shalat tarawih berjamaah, sahur dan tadarrusan bersama. Di negeri orang kadang-kadang keakraban satu sama lain lebih terasa, sekalipun berasal dari negara yang berbeda. Solidaritas keagamaan ini memungkinkan adanya kemudahan hidup di negeri orang karena bagaimanapun ukhuwah Islamiyah selalu hidup di dalam napas keislaman umat Islam, bahkan terjadi kecenderungan mualaf semakin menjadi fenomena di dunia Barat saat ini.
[]

 

DETIK, 02 September 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar