Selasa, 15 Desember 2020

(Ngaji of the Day) Makmum Ragu Sudah Baca al-Fatihah atau Belum, Bagaimana Seharusnya?

Ketika menjalankan shalat, baik wajib ataupun sunnah, baik sendirian ataupun berjamaah, sebagai imam maupun makmum, menurut mazhab Syafi’i, masing-masing orang harus membaca Surat al-Fatihah dalam setiap rakaatnya karena ia merupakan salah satu rukun qauli yang harus dibaca dengan standar minimal mushalli (orang shalat) sendiri bisa mendengarkan suaranya sendiri.

 

Mungkin sebagian orang pernah mengalami tidak dalam konsentrasi penuh ketika menjadi makmum shalat. Ketika imam sudah ruku’, makmum baru tersadar dari lamunannya, dan masih dalam keadaan berdiri. Saat hendak menyusul ruku’-nya imam, tiba-tiba makmum muncul keragu-raguan apakah sudah benar-benar membaca Surat al-Fatihah atau belum. Bagaimana sikap yang seharusnya ia lakukan?

 

Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Nihayatuz Zain menyatakan:

 

من شكّ قبل رُكُوعه وَبعد رُكُوع إِمَامه هَل قَرَأَ الْفَاتِحَة أم لَا فَيجب عَلَيْهِ التَّخَلُّف لقراءتها وَيغْتَفر لَهُ ثَلَاثَة أَرْكَان طَوِيلَة

 

Artinya: “Barangsiapa yang ragu saat ia belum melaksanakan ruku’, namun imamnya sudah terlanjur ruku’, apakah dia tetap harus membaca al-Fatihah atau tidak? (Jawabnya), maka dia harus menahan shalatnya dahulu (dalam keadaan berdiri), ia diberi toleransi sampai tiga rukun panjangnya imam” (Syekh Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut: Darul Fikr], hlm. 125).

 

Pernyataan Syekh Nawawi di atas mengisyaratkan bahwa makmum yang ragu sudah membaca al-Fatihah atau belum, hukumnya dianggap belum membaca al-Fatihah. Dalam masalah keragu-raguan, fiqih selalu mengambil titik paling aman. Jika ada pertanyaan sudah membaca al-Fatihah atau belum? Secara legal formal fiqih pasti akan menjawab “belum”. Sama seperti orang yang dengan jelas sudah melakukan wudhu, lalu ia ragu-ragu sudah batal atau belum, maka jawabnya adalah belum batal. Contoh lain, jika ada orang jelas-jelas sudah batal wudhunya, berikutnya ia ragu-ragu sudah wudhu atau belum, jawabnya belum wudhu.

 

Jadi apabila tentang keraguan antara “sudah” atau “belum” membaca al-Fatihah, maka dimenangkan adalah “belum”. Pijakan ini sesuai dengan kaidah:

 

الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ

 

Artinya: “Pada dasarnya, suatu hal itu tetap berada pada status sebelumnya” (Jalaludin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, [DKI: 1990], hlm. 51).

 

Aturan baku sebelumnya, seorang makmum dilarang mendahului dan tertinggal dengan gerakan imam sebanyak dua rukun berturut-turut. Namun karena muncul permasalah tentang ragu seperti di atas, makmum tertinggal sampai tiga kali rukun yang panjang secara berurutan. Menurut sebagian ulama, dalam shalat terdapat klasifikasi rukun pendek dan rukun panjang. Rukun panjang adalah target utama rukun shalat, sedangkan rukun pendek adalah pemisah antara rukun panjang satu dengan rukun panjang yang lain. Ringkasnya, rukun panjang yang sebagai target utama shalat adalah ruku’ dan sujud. Adapun i’tidal hanya sebagai pemisah antara ruku’ dan sujud yang pertama. Begitu pula duduk di antara dua sujud, dia hanya sebagai pemisah antara sujud pertama dengan sujud kedua. Dengan demikian, ruku’ dan sujud masing-masing adalah rukun panjang (thawil) sedangkan i’tidal dan duduk di antara dua sujud adalah rukun pendek (qashir).

 

(قوله: فكانا) أي الجلوس والاعتدال. (وقوله: قصيرين) أي ركنين قصيرين.

 

Artinya: “Maka keduanya (duduk dan i’tidal), keduanya merupakan rukun yang pendek. (Abu Bakar bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi, I’anatuth Thalibin, [Darul Fikr, 1997], juz 1, hlm. 195.

 

Melalui penjelasan kitab I’anatuth Thalibin, dapat diketahui bahwa makmum yang ragu sudah membaca al-Fatihah atau belum, sedangkan imamnya sudah terlanjur ruku’, ia diberi kesempatan untuk tertinggal tiga rukun panjangnya imam. Dalam hal ini, makmum masih berdiri, imam sudah melampauinya melaksanakan (1) ruku’, (2) sujud yang pertama, dan (3) sujud yang kedua. Berarti makmum yang membaca al-Fatihah pada masalah ini, waktunya diberi kelonggaran sampai imam melakukan sujud yang kedua. Apabila saat makmum membaca al-Fatihah tadi melebihi durasi toleransi, misalnya sampai imam berdiri untuk melakukan rakaat berikutnya, maka shalatnya makmum menjadi batal karena terlalampau jauh tertinggal. Solusinya, jika terpaksa tidak cukup waktu, makmum bisa niat memisahkan diri dengan imam apabila dirasa waktunya tidak cukup. Yang penting tidak membatalkan shalat di tengah-tengah begitu saja.

 

Selanjutnya, bagaimana jika keraguan makmum perihal sudah membaca al-Fatihah tersebut muncul ketika makmum terlanjur sudah ruku’, imamnya juga sudah ruku’?

 

Jika makmum ragu-ragu ketika ia sudah terlanjur ruku’ ke belakang, makmum harus mengikuti shalatnya imam. Setelah imam salam, ia baru mengganti rakaat sejumlah yang ia ragukan sudah baca al-Fatihah atau belum. Syekh Nawawi melanjutkan dalam kitabnya:

 

فَإِن كَانَ ذَلِك بعد رُكُوعه وركوع إِمَامه لم يجز لَهُ الْعود إِلَى الْقيام بل يُوَافق إِمَامه ويتدارك بعد سَلام الإِمَام مَا فَاتَهُ

 

Artinya: “Apabila keraguan makmum tersebut muncul setelah ia sudah ruku’ dan imamnya juga sudah ruku’, maka bagi makmum dilarang balik lagi berdiri untuk membaca al-Fatihah, namun ia harus menjalankan shalat sesuai imamnya, kemudian setelah imam selesai, ia menambah rakaat sesuai hitungan jumlah berapa rakaat yang ia ragukan.” (Syekh Nawawi, Nihayatuz Zain¸ hlm. 51)

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makmum yang ragu—apakah ia sendiri sudah membaca atau belum—ia dihukumi belum membaca. Apabila keraguannya ini muncul sebelum ia ruku’, maka ia tetap harus membaca al-Fatihah dengan toleransi waktu harus selesai sampai imam sujud kedua. Apabila keraguannya keluar ketika ia sudah posisi ruku’, ia harus mengikuti gerakan imam, lalu setelah imam salam, ia mengganti rakaat yang ia ragukan bacaan fatihahnya. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar