Seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan bisnis di sebuah kota terkagetkan oleh suara adzan. Ia terheran dan kebingungan. Bukan adzannya yang membuatnya bingung, tapi waktunya. Saat itu ia sedang bersantap sahur. Dalam hitungannya waktu subuh kurang lebih masih empat puluh lima menit lagi. Karenanya ia terkejut dan bingung ketika tiba-tiba mendengar suara adzan yang berkumandang dari salah satu masjid tak jauh dari warung makan tempatnya bersantap sahur. Ia kebingungan dengan makan sahurnya yang masih tersisa banyak. Bila waktu subuh memang telah masuk maka ia harus menyudahi santap sahurnya. Tapi ia juga masih belum percaya bahwa waktu shalat subuh telah tiba.
Usut punya usut, setelah mendapat penjelasan dari pemilik warung, ia baru paham bahwa di daerah itu sudah lumrah adzan dikumandangkan beberapa puluh menit sebelum masuknya waktu subuh. Dan kelak ketika waktu subuh benar-benar telah masuk akan ada adzan kedua yang dikumandangkan lagi.
Sebagaimana diketahui bahwa adzan disyariatkan sebagai pertanda telah masuk waktu shalat. Selain itu, bila dikaitkan dengan puasa, dikumandangkannya adzan juga menjadi penanda seseorang boleh berbuka ketika telah masuk waktu maghrib dan saat mulainya berpuasa—tidak boleh makan dan minum—saat telah masuk waktu shalat subuh.
Namun demikian tidak jarang seorang Muslim di tempat atau daerah tertentu dibingungkan oleh suara adzan yang dikumandangkan sebelum masuknya waktu shalat subuh, sebagaimana dialami oleh musafir di atas dan mungkin juga oleh banyak orang lainnya. Ini dikarenakan tidak semua daerah memberlakukan adzan yang demikian, bahkan daerah yang memberlakukannya cenderung lebih sedikit.
Lalu apa sebetulnya adzan yang dikumandangan di pagi buta sebelum masuknya waktu shalat subuh? Apakah hal itu sudah ada sejak masa Rasulullah? Bagaimana pula hukum orang yang masih bersantap sahur pada saat adzan tersebut dikumandangkan?
Bila kita pelajari lebih jauh tentang bab adzan, di dalam khadzanah fikih Islam memang disebutkan adanya adzan yang dikumandangkan sebelum masuknya waktu shalat subuh, bukan untuk waktu shalat lainnya. Imam As-Syairazi di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab menuturkan:
ولا يَجُوزُ الْأَذَانُ لِغَيْرِ الصُّبْحِ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ لِأَنَّهُ يُرَادُ لِلْإِعْلَامِ بِالْوَقْتِ فَلَا يَجُوزُ قَبْلَهُ واما الصبح فيجوز ان يؤذن له بَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ
Artinya: “Tidak diperbolehkan untuk selain shalat subuh adzan sebelum masuk waktunya. Karena adzan itu dimaksudkan untuk memberitahu masuknya waktu shalat, maka tidak boleh adzan dilakukan sebelum waktunya. Kecuali shalat subuh maka diperbolehkan adzan dilakukan setelah lewat tengah malam” (Abu Ishak As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, [Beirut: Darul Fikr, 2005], juz I, hal. 78).
Apa yang disampaikan As-Syairazi di atas memberikan pemahaman bahwa untuk shalat dhuhur, ashar, maghrib, dan isya adzan harus dilakukan setelah masuk waktunya, tidak bisa tidak. Sedangkan khusus untuk shalat subuh adzan dapat dilakukan sebelum masuk waktunya namun setelah lewat tengah malam.
Mengapa ada perlakuan berbeda antara shalat subuh dengan shalat-shalat wajib lainnya?
Lebih lanjut As-Syairazi menjelaskan alasan hal tersebut, bahwa ketika masuk waktu shalat subuh orang-orang masih dalam keadaan tidur, bahkan di antara mereka ada dalam keadaan junub dan berhadas. Karenanya dibutuhkan adzan sebelum masuk waktunya agar ada persiapan bagi mereka untuk melakukan shalat subuh. Berbeda dengan shalat-shalat yang lain, di mana saat masuknya waktu shalat orang-orang dalam keadaan terjaga sehingga tidak dibutuhkan persiapan.
Sementara itu, menanggapi hal ini Imam Nawawi di dalam kitab Al-Majmȗ’ Syarhul Muhadzdzab menyampaikan pendapat para ulama di kalangan mazhab Syafi’i, bahwa sunah hukumnya melakukan dua kali adzan untuk shalat subuh, di mana yang pertama dilakukan sebelum terbitnya fajar (sebelum masuk waktu subuh) dan yang kedua setelah terbitnya fajar (setelah masuk waktu subuh). Bila adzan subuh hanya dicukupkan sekali saja, maka bisa dilakukan sebelum atau setelah terbitnya fajar.
Namun demikian adzan subuh yang dilakukan setelah terbitnya fajar lebih utama dari pada yang dilakukan sebelum fajar. Apa yang disampaikan oleh Imam As-Syairazi dan Imam Nawawi di atas—dan tentunya juga para ulama Syafi’iyah yang lain—berdasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا تَأْذِينَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ
Artinya: “Sesungguhnya Bilal beradzan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai mendengar adzannya Ibnu Ummu Maktum” (HR. Imam Muslim).
Dari hadits ini Imam Nawawi menarik satu kesimpulan adanya kebolehan mengumandangkan dua kali adzan untuk shalat subuh, di mana salah satunya dikumandangkan sebelum terbitnya fajar dan satu lagi dikumandangkan setelah terbitnya fajar, yakni pada awal terbit (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhȃj Syarh Shahȋh Muslim ibn Al-Hajjȃj, 2008, jil. IV, juz. VII: 175).
Husain Al-Imrani di dalam kitabnya Al-Bayȃn (2000, II: 62) memberikan sebuah catatan yang kiranya perlu diperhatikan dalam hal adzan subuh sebelum masuk waktunya ini. Menyitir pendapat sebagian ulama Syafi’iyah beliau menuliskan bahwa apabila pada suatu daerah telah berlaku suatu kebiasaan dikumandangkannya adzan subuh setelah terbitnya fajar, maka hal itu tidak memberi ruang bagi seseorang untuk mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar. Ini agar masyarakat setempat tidak terkecoh oleh adzan tersebut.
Sisa pertanyaan berikutnya adalah bagaimana hukum santap sahur yang masih dilakukan setelah adzan pertama dikumandangkan? Apakah santap sahur itu membatalkan puasa karena masih dilakukan setelah adanya kumandang adzan?
Selain hadits di atas Imam Muslim di dalam kitab Shahȋh-nya menuturkan sabda Rasulullah dalam hadits yang lain sebagai berikut:
لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ - أَوْ قَالَ نِدَاءُ بِلَالٍ - مِنْ سُحُورِهِ، فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ - أَوْ قَالَ يُنَادِي - بِلَيْلٍ، لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ وَيُوقِظَ نَائِمَكُمْ
Artinya: “Janganlah adzannya Bilal—atau Rasul berkata ‘panggilannya Bilal’—mencegah seorang di antara kalian dari santap sahurnya. Sesungguhnya Bilal beradzan—atau Rasul berkata ‘Bilal memanggil’—di malam hari agar orang yang sedang shalat malam di antara kalian pulang dan membangunkan orang yang tidur di antara kalian.” (HR. Imam Muslim)
Sabda Rasulullah ini menjelaskan bahwa adzan yang dikumandangkan oleh Bilal (adzan yang pertama) tidaklah menghalangi seseorang untuk terus melanjutkan santap sahurnya, karena sebagaimana penjelasan di atas bahwa adzan pertama tersebut hanyalah untuk mengingatkan masyarakat akan segera datangnya waktu shalat subuh. Mereka yang semalaman melakukan shalat tahajud untuk segera mengakhiri shalatnya dan membangunkan keluarga untuk bersiap shalat subuh.
Mereka yang masih bersantap sahur hendaknya segera mengakhirinya, agar tidak sampai kelewatan masuk pada waktu subuh yang menjadikan puasanya tidak sah, mengingat saat tiba waktu subuh maka orang yang berpuasa tidak lagi diperbolehkan makan dan minum.
Dalam hal ini Imam Nawawi dalam al-Minhȃj Syarh Shahȋh Muslim ibn Al-Hajjȃj memberikan satu kesimpulan yang menegaskan diperbolehkannya makan, minum, bersetubuh, dan lain sebagainya sampai dengan terbitnya fajar.
Dengan demikian, mereka yang masih melakukan santap sahur ketika adzan pertama dikumandangkan masih diperbolehkan untuk meneruskan santap sahurnya dan tidak membatalkan puasa di keesokan harinya. Mengingat awal dilakukannya berpuasa adalah ketika telah terbit fajar yang juga menjadi penanda telah masuknya waktu shalat subuh.
Namun demikian, Imam Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali menghukumi makruh adzan sebelum masuk waktu subuh pada waktu bulan Ramadhan. Ini dikarenakan hal tersebut dapat mengecoh orang yang sedang bersantap sahur sehingga mereka meninggalkan makan sahurnya (Ibnu Qudamah, al-Mughnî, 1968, I: 298). Wallâhu a’lam. []
Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif di kepengurusan PCNU Kota Tegal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar