Suatu ketika Abu Dzar al-Gifari meminta wasiat kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian beliau memberikan wasiat agar Abu Dzar bertakwa kepada Allah dimanapun dan kapanpun ia berada, melakukan perbuatan baik setelah setiap kali mengerjakan perbuatan buruk, dan bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik.
Dalam sebuah riwayat Abu Hurairah disebutkan, ada seorang lelaki yang mendatangi dan meminta wasiat kepada Nabi Muhammad. Ia minta satu wasiat saja agar bisa mengingat dan memikirkannya. Lantas Nabi Muhammad mewasiatinya agar jangan marah. Beliau mengulang wasiat singkatnya itu sebanyak tiga kali.
Pada kesempatan lain, ada seorang Badui yang meminta wasiat agar dirinya bisa masuk surga setelah melakukan wasiat itu. Kata Nabi Muhammad kepada Badui tersebut, jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dirikan shalat wajib lima waktu, tunaikan zakat wajib, dan berpuasa pada bulan Ramadhan. Lelaki Badui itu berjanji akan melakukan apa yang diwasiatkan Nabi itu, tanpa menambahi atau mengurangi barang sedikit pun.
Di hari lainnya, Abdullah bin Yusr mencertikan bahwa ada seorang lelaki mengadu kepada Nabi Muhammad. Menurutnya, syariat Islam sudah sangat banyak. Ia mengaku sudah banyak melakukannya. Namun, dia meminta wasiat kepada Nabi Muhammad tentang satu saja dari syariat Islam yang bisa diandalkannya. Nabi Muhammad pun hanya menjawab singkat.
“Hendaklah lidahmu selalu basah karena berdzikir,” jawab Nabi Muhammad.
Di samping beberapa kisah di atas, tentu masih ada banyak lagi kisah tentang sahabat yang meminta wasiat kepada Nabi Muhammad. Dan menariknya, jawaban yang dikemukakan Nabi Muhammad selalu tidak sama. Lantas apa faktor atau alasan yang mendasari Nabi Muhammad memberikan wasiat yang berbeda-beda kepada para sahabatnya?
Merujuk buku Muhammad Sang Guru (Abdul Fattah Abu Ghuddah, 2015), wasiat yang disampaikan Nabi Muhammad kepada satu sahabatnya dengan sahabat lainnya berbeda karena menyesuaikan dengan kondisi masing-masing peminta wasiat. Maksdunya, jika peminta wasiat itu susah menghapal dan gampang lupa, maka wasiat yang diberikan Nabi Muhammad juga singkat namun mengena. Seperti wasiat kepada lelaki di atas, yaitu ‘Jangan marah.’
Jika peminta wasiat kurang bertakwa kepada Allah, maka Nabi Muhammmad mewasiatinya agar meningkatkan ketakwaannya kepada Allah. Begitupun jika yang meminta wasiat kurang atau tidak berbakti kepada orang tuanya, maka wasiat yang diberikan Nabi Muhammad pasti agar mereka berbakti kepada orang tua. Dan begitulah seterusnya.
Dengan demikian, Nabi Muhammad adalah orang sangat memahami dan mengerti keadaan dan kondisi masing-masing sahabatnya. Sehingga apa yang disampaikan atau diwasiatkan Nabi Muhammad merupakan 'kebutuhan' sang peminta wasiat.
Begitupun ketika Nabi Muhammad mengajarkan suatu ilmu kepada para sahabatnya. Ada ilmu yang disampaikan kepada semua sahabatnya. Juga ada ilmu yang hanya diberikan kepada sahabat tertentu saja. Bukan karena diskriminasi, namun ‘pemilahan’ seperti itu dilakukan Nabi Muhammad berdasarkan keadaan, pemahaman, kecerdasan, dan intelektualitas yang dimiliki para sahabat. []
(Muchlishon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar