Senin, 07 Desember 2020

Satrawi: Keberagamaan Minus Kemaslahatan Publik

Keberagamaan Minus Kemaslahatan Publik

Oleh: Hasibullah Satrawi

 

Pandemi Covid-19 tak ubahnya ujian bagi semua dan terkait dengan semua, tak terkecuali pola keberagamaan masyarakat. Melalui ujian Covid-19, terang terlihat pola keberagamaan sebagian masyarakat Indonesia yang masih cenderung mengedepankan kemaslahatan pribadi (mashlahah fardi) dibandingkan kemaslahatan publik (mashlahah ammah).

 

Sebagai contoh, walaupun sudah diimbau oleh para pemuka agama agar menjalankan ibadah di rumah masing-masing (untuk mencegah potensi penularan Covid-19), sebagian masyarakat masih tetap bersikeras melakukan ibadah berjemaah di rumah ibadah. Selain karena ada alasan hukum di balik ibadah berjemaah di rumah ibadah (seperti shalat Jumat dalam Islam yang berhukum wajib), juga karena adanya keuntungan yang lebih besar (pahala) bila melakukan ibadah berjemaah di rumah ibadah.

 

Karena itu, anjuran agar melakukan ibadah di rumah masing-masing nyaris tak berjalan sebagaimana diharapkan, baik pada saat-saat PSBB diberlakukan secara ketat pada awal pandemi dan terlebih sekarang setelah PSBB diperlonggar.

 

Padahal, dilihat dari perspektif kemaslahatan publik, melakukan ibadah berjemaah di rumah ibadah (pada masa pandemi) bisa dipahami sebagai bentuk mengedepankan kemaslahatan pribadi dibandingkan kemaslahatan publik. Karena keuntungan banyak (pahala) yang ada di balik pelaksanaan ibadah di rumah ibadah bersifat pribadi.

 

Artinya, pahala-pahala itu akan didapat dan dinikmati oleh yang bersangkutan secara pribadi. Sementara potensi penularan Covid-19 melalui ibadah berjemaah di rumah-rumah ibadah mengancam kemaslahatan dan kesehatan publik. Dalam konteks seperti ini, terang benderang pola keberagamaan sebagian masyarakat bersifat minus kemaslahatan publik.

 

Pribadi tapi bukan egois

 

Adalah benar bahwa sasaran norma (mukhatab) dari agama adalah pribadi-pribadi, bukan keluarga atau kelompok. Bahkan, pada akhirnya hal-hal yang bersifat keagamaan (khususnya terkait pengalaman ketuhanan) bersifat privasi dan tak bisa dimengerti secara sejati kecuali oleh yang bersangkutan dengan Tuhannya.

 

Dengan kata lain, hal-hal yang bersifat keagamaan pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi-pribadi. Dosa seseorang tidak akan ditanggung atau dipertanggungjawabkan kepada orang lain. Pun demikian sebaliknya, pahala orang lain tak akan diberikan kepada orang lain, baik orang lain tersebut dalam arti orangtua, anak, saudara, istri, suami, ataupun keluarga inti lainnya.

 

Namun, keterkaitan atau pertanggungjawaban agama yang bersifat pribadi sebagaimana di atas tak berarti sebuah egoisme; mau masuk surga atau mau selamat sendiri. Sebaliknya, sentuhan dan pertanggungjawaban agama yang bersifat pribadi diharapkan menyentuh sisi terdalam sekaligus paling dasar dari kehidupan ini.

 

Karena pada akhirnya ”kehidupan pribadi bahkan privasi” seseorang menjadi fundamen bagi lingkup kehidupan yang lebih besar, dimulai dari kehidupan keluarga, kehidupan bernegara, atau bahkan kehidupan antarnegara-bangsa dalam konteks global. Baik atau buruknya kehidupan keluarga akan sangat ditentukan oleh kualitas kehidupan pribadi-privasi di dalamnya.

 

Pun demikian kehidupan bernegara akan sangat ditentukan oleh kehidupan keluarga yang ada di dalamnya. Begitu seterusnya hingga dalam lingkup kehidupan antarnegara-bangsa dalam konteks global.

 

Oleh karena itu, melalui sentuhan elemen paling dalam sekaligus paling dasar (pribadi-privasi) agama mengharapkan tercapainya perbaikan-perbaikan dalam kehidupan masyarakat di lingkaran terdekat (pribadi-keluarga) hingga lingkaran terjauh (antarnegara-bangsa secara global).

 

Sebagai contoh, dalam konteks lingkaran terdekat (pribadi-keluarga), Al-Quran menegaskan ”Wahai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka....” (QS At-Tahrim [66]: 6). Sementara dalam konteks yang lebih besar (antanegara-bangsa secara global), Al Quran menegaskan visi kerahmatan universal, wama arsalnaka illa rahmatan lil’alamin (tidak aku utus Engkau—Muhammad—kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta, QS Al-Anbiya [21]: 107).

 

Dalam konteks seperti ini, perbaikan-perbaikan ataupun ajaran-ajaran luhur agama yang ditujukan kepada pribadi-pribadi sesungguhnya bersifat antara. Dengan kata lain, nilai-nilai itu diharapkan bisa menjadi perbuatan di tingkat pribadi-pribadi sebelum akhirnya menjadi kebaikan kolektif di tingkat masyarakat yang lebih luas, mulai dari tataran keluarga, bermasyarakat, kehidupan bernegara, bahkan kehidupan umat manusia secara universal. Singkat kata, agama berawal dari kemaslahatan pribadi untuk mencapai kemaslahatan publik hingga kerahmatan universal.

 

Persoalannya adalah pola keberagamaan sebagian masyarakat belakangan justru berhenti di titik tujuan pertama; kemaslahatan pribadi. Inilah yang bisa menjelaskan kenapa sebagian umat beragama tetap melakukan pelbagai macam kegiatan ibadah ataupun aktivitas keagamaan secara umum di ruang publik walaupun potensi penyebaran Covid-19 masih sangat tinggi dan mengancam kemaslahatan publik dan kesehatan bersama.

 

Alih-alih, logika keagamaan-fatalistik tak jarang digunakan untuk melanjutkan pola keberagamaan yang minus kemaslahatan publik; bahwa semuanya sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di kelompok agama tertentu, tetapi bersifat umum hampir di seluruh agama, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun.

 

Padahal, yang menjadi kewajiban bagi manusia justru adalah usahanya. Takdir adalah kuasa Tuhan. Namun, usaha adalah kewajiban manusia. Sejatinya manusia menyelesaikan kewajibannya terlebih dahulu sebelum menyebut semuanya sebagai takdir Tuhan.

 

Menuju kemaslahatan publik

 

Kemaslahatan publik mendapatkan perhatian yang sangat besar dari agama. Dalam Al Quran, contohnya, penyebutan istilah ”orang-orang beriman” (allazina amanu) selalu dibarengi dengan istilah ”amal saleh atau kebajikan” (wa ’amilus solihat). Hal ini bisa dijadikan sebagai dalil bahwa keimanan yang bersifat individual (kemaslahatan pribadi) sejatinya harus dilanjutkan menuju amal kebajikan yang bersifat sosial (kemaslahatan publik) dan memuncak pada kerahmatan universal.

 

Ibnu Taimiyah, salah satu ulama terkemuka pada abad pertengahan (1263-1328), menegaskan bahwa Imam Ahmad bin Hambal (salah satu dari empat imam mazhab terkemuka dalam hukum Islam) pernah ditanya tentang dua sosok yang lebih pantas untuk menjadi pemimpin (konteksnya peperangan), yaitu antara yang ahli ibadah (saleh) tetapi tidak mengetahui tentang tata kelola pemerintahan (taktik dan strategi perang) dengan orang yang ahli pemerintahan tetapi tidak ahli ibadah (thaleh).

 

Menurut Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad lebih memilih orang yang ahli pemerintahan (walaupun tidak ahli ibadah) untuk dijadikan sebagai pemimpin daripada orang yang ahli ibadah (tapi tidak ahli dalam pemerintahan). Alasan yang digunakan oleh Imam Ahmad untuk menguatkan pandangannya di atas sangat relevan dengan urgensi kemaslahatan publik yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini. Yaitu bahwa ibadah seseorang hanya akan kembali kepada yang bersangkutan. Sementara dampak buruk kebijakan seseorang akan dirasakan oleh masyarakat banyak (As-Siyasah As-Syar’iyyah fi Ishlâhi Ar-Râ’îy wa Ara’iyah, tanpa tahun).

 

Dalam konteks beribadah di tempat ibadah (ataupun aktivitas keagamaan lain di ruang publik) pada masa pandemi seperti sekarang, segala keuntungan (termasuk pahala) dari kegiatan tersebut hanya akan kembali pada diri orang yang bersangkutan (kemaslahatan pribadi). Sementara kemungkinan penularan virus dari akibat kegiatan ini akan berdampak buruk terhadap masyarakat luas.

 

Oleh karena itu, melakukan ibadah di rumah ibadah ataupun aktivitas keagamaan lain di ruang publik pada masa pandemi seperti sekarang bisa dipahami sebentuk pengutamaan kemaslahatan pribadi daripada kemaslahatan publik (sebagaimana telah disampaikan di atas).

 

Dalam hemat penulis, kemaslahatan publik harus mengalami proses pengarusutamaan dalam tradisi keberagamaan masyarakat ke depan. Mengingat kemaslahatan publik pada akhirnya menjadi salah satu tujuan pokok dari agama-agama.

 

Dalam tradisi hukum Islam, contohnya, kemaslahatan publik menjadi salah satu semangat utama. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya kaidah hukum yang dibangun di atas semangat pengarusutamaan kemaslahatan publik dibandingkan kemaslahatan yang lebih kecil, seperti kemaslahatan pribadi. Kaidah-kaidah ini tentu dibangun di atas landasan Al Quran dan hadis Nabi sebagai sumber utama dalam hukum Islam.

 

Oleh karena itu, pengarusutamaan kemaslahatan publik harus dijadikan sebagai tujuan sekaligus kerja sama agama-agama ke depan. Hingga agama bukan melulu tentang kebaikan personal yang bergerak ke dalam, melainkan dan sejatinya bisa menjadi kebaikan publik yang bergerak ke luar hingga pada tataran global. []

 

KOMPAS, 28 November 2020

Hasibullah Satrawi | Penulis adalah Alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir. Warga NU Biasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar