Senin, 28 Desember 2020

Alissa Wahid: Ibu Bangsa

Ibu Bangsa

Oleh: Alissa Wahid

 

Dalam forum British Muslim Conference 2020, mantan Dubes Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik menceritakan kesan pertamanya akan kehidupan kaum Muslim di Indonesia. Malik tercengang menyaksikan perempuan-perempuan berjilbab lalu lalang mengendarai sepeda motornya di berbagai kota.

Saat menyaksikan tilawah Al Quran dilantunkan oleh seorang perempuan Muslim dalam peringatan Nuzulul Quran di Istana Negara, Malik kembali merevisi pandangan umum masyarakat Barat bahwa perempuan Muslim tidak bisa hadir dalam panggung-panggung publik.

 

Ini mengingatkan saya pada rombongan pertukaran mahasiswa dari Amerika Serikat beberapa tahun lalu yang mengunjungi Fatayat NU dan Nasyiatul Aisyiah, lalu berefleksi bahwa perempuan-perempuan Muslim di Indonesia ternyata hadir penuh dalam kehidupan bermasyarakat. Berbeda dengan stereotip yang mereka miliki sebelumnya tentang perempuan dalam masyarakat mayoritas Muslim.

 

Bagi saya dan barangkali seluruh bangsa Indonesia, ini fenomena keseharian, sehingga saya tidak pernah membayangkan bahwa ini adalah sesuatu yang istimewa. Jelas, tradisi hadir bermasyarakat ini bukanlah hal baru di bumi Nusantara.

 

Kita mengenal Laksamana Keumalahayati sebagai pemimpin armada kapal perang Aceh di abad ke-17. Ada pula jejak Dewi Sartika, Kartini, Nyi Ageng Serang, Rohana Kudus, dan banyak perempuan Indonesia yang kita akui kepeloporan dan kepemimpinannya di ruang publik.

 

Di dalam kalangan masyarakat Muslim yang sering dituduh menempatkan perempuan ”di ruang dalam” pun, Indonesia mencatatkan tradisi yang berbeda. Setidaknya di acara-acara Nahdlatul Ulama, saya selalu menyaksikan pembagian tempat duduk yang sebaris setara antara bagian hadirin dan hadirat. Area peserta perempuan tidak diletakkan di belakang, tetapi di samping peserta laki-laki.

 

Tahun 2019 dalam acara konferensi besar Silaturahmi Bu Nyai Nusantara, saya menyaksikan doa dibacakan oleh Nyai Sesepuh, sedangkan para hadirin kiai dan tokoh laki-laki mengamini dengan penuh khidmat. Begitu pun dalam berbagai acara lainnya. Tidak tampak sentimen bahwa laki-laki harus lebih berkuasa atas perempuan.

 

Sejak kecil saya menyaksikan para Nyai tidak hanya mengurus rumah tangga sang Kiai, tetapi aktif mengelola pondok-pondok pesantren dengan ratusan sampai ribuan santri mukim. Para Nyai ini juga sibuk memberikan pengajian di berbagai tempat terbuka serta mengembangkan berbagai inisiatif di dalam maupun luar pondok pesantren.

 

Nyai Khoiriyah, putri Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, bahkan mendirikan dan memimpin pondok pesantrennya sendiri setelah berpengalaman mendirikan madrasah perempuan di Mekkah.

 

Lahir dan besar di keluarga besar KH Wahid Hasyim membuat saya tidak pernah tahu persoalan ketidakadilan jender sampai saya berkenalan dengan terminologi tersebut di bangku kuliah di Fakultas Psikologi UGM.

 

Ini karena para perempuan dalam keluarga ini sangat aktif dalam kehidupan masyarakat dan dihormati sebagai manusia yang utuh dengan semua potensinya. Peran para laki-laki dalam keluarga ini juga cukup terasa di dalam rumah tangga, sehingga kesetaraan terjadi bukan hanya dalam peran publik, tetapi juga ruang domestik.

 

Nenek, Nyai Solichah Wahid Hasyim, adalah seorang politisi yang berpengaruh di DPR RI dan dihormati para kiai. Beliau juga memimpin Muslimat NU mengelola berbagai program pelayanan masyarakat seperti Balai Kesehatan Ibu Anak, TK dan PAUD, serta majelis taklim di seluruh Indonesia. Begitu juga Ibunda Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid yang tidak pernah berhenti bekerja di berbagai ruang publik.

 

Apakah semua ini menandakan bahwa ruang bagi perempuan dan keadilan jender sudah terwujud ideal di Indonesia? Tentu saja tidak. Faktanya, masih banyak praktik yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih lemah dan tidak setara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara.

 

Ini semakin dipersulit dengan meningkatnya ultrakonservatisme agama dalam masyarakat, seperti maraknya praktik nikah siri yang terlindungi oleh negara.

 

Akses terhadap pendidikan belum juga seimbang sehingga banyak perempuan tidak dapat mengembangkan potensi diri secara maksimal. Perkawinan anak masih marak terjadi. Angka kematian ibu juga masih sangat tinggi. Kekerasan terhadap perempuan meningkat terus, sedangkan perlindungan masih minimal. Bahkan, upaya penguatan perlindungan terhadap perempuan melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pun masih diganjal oleh DPR.

 

Aspirasi perempuan belum sebanding dengan aspirasi laki-laki dalam pengembangan kebijakan, program, dan layanan masyarakat. Menariknya, cara pandang serupa menjadi pemicu dilaksanakannya Kongres Perempuan Indonesia beberapa pekan setelah Sumpah Pemuda tahun 1928. Di tanggal 22 Desember itu, 600 perempuan dari berbagai perhimpunan di Nusantara berkumpul. Dengan serius, mereka membincangkan upaya meningkatkan derajat perempuan dan upaya meningkatkan kiprah perempuan dalam gerakan bangsa masa itu.

 

Tanggal ini kemudian ditetapkan Bung Karno sebagai Hari Ibu, yang menimbulkan diskursus sampai saat ini.

 

Sebagian kaum intelektual dan pegiat gerakan keadilan jender menolak istilah Hari Ibu tersebut karena lebih dekat dengan istilah Mother’s Day, yang menjadi hari penghargaan kepada ibu biologis kita. Walaupun peran ibu biologis diamini sebagai sebuah peran yang fundamental, penyebutan Hari Ibu dicemaskan menimbulkan pemaknaan yang menyempit dalam konteks peran domestik.

 

Padahal, tanggal 22 Desember berasal dari semangat khidmat berbangsa, di mana para perempuan menyelami peran dan sumbangsihnya bagi bangsa dan negara Indonesia, bukan hanya bagi anak-anaknya di rumah.

 

Di zaman ketika secara global kepemimpinan perempuan menemukan momentumnya, kita perlu memaknai ulang Hari Ibu. Bukan hanya sebatas Hari Ibu dalam peran keluarga, tetapi sebagai Hari Ibu Bangsa, yang merawat anak-anak bangsa dan kehidupan bangsa. Dengan penghargaan ini, niscaya khidmah perempuan akan makin kuat.

 

Selamat Hari Ibu Bangsa. []

 

KOMPAS, 20 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar