Melampaui Tahun Ketakutan
Oleh: Yudi Latif
Hampir sepanjang tahun kehidupan kita diselimuti kabut ketakutan. Gairah dan jelajah rutinitas perayaan hidup mendadak terpuruk dihantui penularan wabah korona. Situasi makin menakutkan tatkala merebaknya virus ”patologi biologis” itu hadir dalam jaringan kehidupan bangsa yang telah terlebih dahulu tercekam oleh penyebaran virus ”patologi sosial”.
Wabah patologi sosial itu ditandai oleh memudarnya rasa saling percaya sesama warga bangsa yang ditimbulkan oleh berbagai kecemasan. Mereka yang marjinal secara kultural cemas akan diskriminasi etnis-budaya-agama-jender.
Mereka yang marjinal secara politik cemas akan ketidaksetaraan akses sumber daya terhadap kekuasaan dan perlakuan hukum. Mereka yang marjinal secara ekonomi cemas akan meluasnya kesenjangan ekonomi serta ketidaksetaraan dalam akses permodalan, kesempatan kerja dan berusaha.
Berbagai bentuk kecemasan itu meletupkan ketegangan saling mendiskreditkan di ruang publik, yang menambah tingkat kepelikan dan kengerian dalam menghadapi penularan Covid-19.
Sebagian dari ketakutan itu memang memiliki dasar obyektivitas yang perlu solusi efektif. Namun, selebihnya sering kali hanya realitas distortif sebagai ”hantu” hiper-realitas yang dibesar-besarkan. Terorisme memang ancaman nyata yang pantas ditakuti. Namun, mencemaskan kemenangan pasangan tertentu sebagai kemenangan pendukung ”khilafah”, atau kemenangan pasangan lain sebagai kebangkitan ”komunisme”, adalah hantu ketakutan yang diciptakan sendiri.
Demokrasi tanpa ”trust”
Seperti diingatkan Martha C Nussbaum dalam The Monarchy of Fear, berbagai gejala ketakutan itu acap kali berkelindan dengan meledaknya emosi kemarahan, pengambinghitaman, dan kecemburuan. Di bawah hantu ketakutan, orang-orang dikategorisasikan secara sewenang-wenang ke dalam bagian dari kelompok kami atau kelompok mereka.
Mereka yang mencoba mengembangkan jalan rasional-imparsial dengan melihat realitas dari berbagai perspektif, sebagai jembatan mediasi konstruktif, dirobohkan dari kedua sisi. Dengan demikian, ”hantu ketakutan kerap kali mencekal semangat deliberasi rasional, meracuni harapan, dan menghambat kerja sama konstruktif bagi masa depan lebih baik”.
Di bawah hantu ketakutan, kesulitan untuk menyelesaikan sumber masalah sering kali menggoda elite dan kubu politik untuk mengambil solusi jalan pintas dengan menciptakan kambing hitam. Yahudi jadi kambing hitam Nazisme, imigran jadi kambing hitam populisme.
Hantu ketakutan juga bisa mengarah pada politisasi hukum oleh suatu tekanan massa yang dijadikan dalih otoritas politik. Hal ini bisa saja mengarah pada perlakuan hukum secara tebang pilih atau secara tak proporsional terhadap seseorang yang dianggap sebagai biang kerok. Dan semakin hukum tak diperlakukan secara proporsional, semakin meluas gejala ketakutan, peng-kutuban, kebencian, dan ketidakpercayaan di masyarakat.
Berbeda dengan sistem pemerintahan monarki di mana kekuasaan berbasis ketundukan mutlak dari rakyatnya, tanpa perlu legitimasi kepercayaan. Dalam demokrasi, baik relasi vertikal (antara pemimpin dan rakyat) maupun secara horizontal (sesama penyelenggara negara dan sesama rakyat) mengandaikan adanya rasa saling percaya.
Demokrasi tanpa trust bisa berbalik arah menuju anarki berujung tirani. Berbagai gejala ketakutan yang menghantui kehidupan publik memudarkan rasa saling percaya di tengah masyarakat. Sebab utama pudarnya rasa saling percaya itu tak bersumber dari ”sisi-permintaan” (demand-side) seperti sering didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, dan kurangnya kesadaran politik.
Sebaliknya bersumber dari ”sisi-penawaran” (supply-side); dari ketidakmampuan aktor-aktor politik membangkitkan kepercayaan rakyat. Sekali ada aktor politik yang dapat dipercaya, optimisme dan kepercayaan warga pada politik kembali menguat.
Menurut Donna Zajonc, dalam The Politics of Hope, untuk membangkitkan politik harapan suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik.
Tahap kedua, mencapai suatu pemimpin yang mendominasi dan memarjinalkan orang lain. Tahap ketiga, peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya, justru membuatnya apatis.
Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan melayani kepentingan publik dengan menerobos batas-batas politik lama.
Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi keteladanan yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama.
Kehadiran pemimpin publik yang sadar pada gilirannya memerlukan dukungan transformasi kelembagaan politik. Desain institusi politik yang menekankan rekrutmen elite kekuasaan pada sumber daya alokatif (kekuatan finansial dan privilese sosial) ketimbang sumber daya otoritatif (kapasitas-karakter) menyempitkan kesempatan orang- orang kapabel tepercaya memainkan peran politik.
Padahal, terdapat sejumlah pengalaman empiris begitu parpol memberikan kesempatan kepada figur kapabel tepercaya untuk diusung jadi pemimpin politik, prestasi kepemimpinannya menggembirakan dan kepercayaan rakyat ke politik pulih kembali.
Untuk memulihkan kepercayaan rakyat pada politik diperlukan lebih dari sekadar pemimpin yang baik, melainkan pemimpin dengan kekhasan eksentrisitas, yang mengindikasikan kekuatan karakter, kebesaran jiwa, dan keliaran visi perubahan. Pemimpin yang tak peduli bagaimana bisa dipilih ulang, melainkan memedulikan bagaimana keterpilihannya dijadikan pintu masuk bagi dekonstruksi dan rekonstruksi tata kelola pemerintahan secara sistemik.
Semua itu memerlukan proses demokratisasi internal dalam parpol berdasarkan prinsip-prinsip meritokrasi dalam semangat kemandirian, persatuan, dan keadilan. Dalam kaitan ini, kita harus belajar dari sejarah dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Setahun sebelum pendulum sejarah revolusi berayun pada 1965, Bung Karno seperti merasakan titik genting yang menghadang bangsa. Pidato kenegaraannya pada hari kemerdekaan 17 Agustus 1964 bertajuk ”Tahun Vivere Pericoloso”, tahun menyerempet bahaya. Seraya mengingatkan tentang ranjau revolusi, ia pun menekankan pentingnya keberanian menghadapi krisis serta kemandirian sebagai fondasi demokrasi.
Tentang sumber ancaman revolusi, ia menuding kekuatan-kekuatan reaksioner dan apa yang disebutnya ”syaitan multiparty system”. Bukannya dia membenci partai politik yang, menurut dia, justru berjasa mempersiapkan dan mengemban revolusi. ”Yang tidak aku sukai,” ujarnya, ”adalah praktek-praktek yang menunggangi partai-partai politik untuk memperkaya diri atau untuk melampiaskan ambisi-ambisi perseorangan yang lobatama.”
Tentang ketahanan menghadapi krisis ia katakan, ”Paceklik 1962 dan Paceklik 1963 tidak membuat Indonesia ambruk ekonomis, apalagi 1964, di mana panen kita di mana-mana berhasil baik, Indonesia tidak akan ambruk!... Bersama-sama Rakyat Indonesia, kita akan pecahkan segala kesulitan-kesulitan itu, bersama-sama kita akan ganyang segala kesulitan-kesulitan itu. That’s what the revolution is for! Justru itulah tugas Revolusi: memecahkan kesulitan-kesulitan, melenyapkan segala rintangan-rintangan.”
Tentang fondasi keberlangsungan demokrasi, ia ingatkan bahwa, ”Untuk membangun satu negara yang demokratis, maka satu ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tak mungkin kita mendirikan negara, tak mungkin kita tetap hidup.” Dan untuk kemandirian ekonomi tersebut, Bung Karno bertekad, ”Sejak 17 Agustus 1964 ini saya menghendaki kita tidak akan membikin kontrak baru lagi pembelian beras dari luar negeri.”
Politik responsive
Resonansi pesan Bung Karno tersebut terasa bergema relevansinya di pengujung 2020, sebagai reinkarnasi ”tahun vivere pericoloso”. Betapa tidak, baru saja bangsa Indonesia mulai pulih dari krisis ekonomi yang lalu dan keluar dari jebakan kelas menengah bawah, seketika muncul krisis ekonomi baru sebagai imbas pandemi Covid-19.
Dalam pada itu, rangkaian pilkada yang berlangsung pada tahun ini, dalam aroma ”syaitan multiparty system” yang boros dan narsistik, dengan iklim kompetisi politik yang mahal, bisa melambungkan ongkos politik yang bisa mengarah pada ledakan korupsi dan perekonomian berbiaya mahal.
Dalam kontras antara keborosan politik dan paceklik perekonomian, mungkinkah demokrasi dikonsolidasikan? Pertanyaan ini mengusik hati karena David Morris Potter pernah menyatakan bahwa demokrasi paling cocok bagi negara-negara yang menikmati surplus ekonomi, dan kurang cocok bagi negara dengan ketidakcukupan ekonomi.
Pernyataan ini bukanlah dalih untuk kembali ke jalan otoritarianisme, melainkan menjadi peringatan bagi para elite politik bahwa dalam krisis ekonomi kerap kali muncul arus balik aspirasi otoritarianisme. Dan untuk mengamankan kelangsungan demokrasi, para elite politik dituntut untuk mengembangkan politik yang lebih bertanggung jawab.
Politik yang responsif senantiasa menyadari bahwa politik bukan sekadar proyek perebutan kekuasaan lewat rutinitas pemilu. Politik responsif adalah politik yang menyadari peran transformatif kekuasaan dalam merealisasikan visi dan misi negara dengan mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesewenang- wenangan mengambil kebijakan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat atas pemerintah.
Perwujudan visi dan misi negara itu berangkat dari realitas sosio-historis Indonesia sebagai masyarakat pascakolonial yang bercorak feodalistis, kapitalistis, kolonialistis, dan imperialistis yang diskriminatif, segregatif, dan represif. Oleh karena itu, proyek emansipasi dan cakupan transformasi sosial dari visi negaranya bersifat multikompleks, meliputi transformasi nasional, politik, ekonomi, sosial dan budaya menuju bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui perwujudan tatanan sosial-politik yang bersifat inklusif.
Singkat kata, untuk mengubah politik ketakutan menjadi politik harapan, kita memerlukan politik pembangunan yang sanggup mengembangkan inklusi budaya, inklusi politik, dan inklusi ekonomi. Untuk itu diperlukan pembangunan tata nilai (mental-spiritual-karakter), tata kelola (institusional-politikal), dan tata sejahtera (material-teknologikal). Pengembangan ketiganya perlu keandalan tiga agen sosial: rezim pendidikan dan pengetahuan, rezim politik-kebijakan, rezim ekonomi-produksi.
Prioritas rezim pendidikan dan pengetahuan adalah membenahi aspek mental-spiritual-karakter dengan memperkuat penanaman nilai-nilai kewargaan inklusif dalam kerangka pendidikan budi pekerti. Budi mengandung arti ’pikiran, perasaan dan kemauan’ (aspek batin); pekerti artinya ’tenaga’ atau ’daya’ (aspek lahir).
Pendidikan budi pekerti mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, dan tekad-kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar, dan indah. Dari sini diharapkan lahir generasi baru Indonesia berakhlak mulia dan kreatif dengan jiwa merdeka.
Prioritas rezim politik-kebijakan adalah menata ulang sistem demokrasi dan pemerintahan dalam kerangka memperkuat persatuan nasional dan keadilan sosial. Untuk itu, berbagai desain institusi demokrasi dan pemerintahan harus ditinjau ulang. Praktik politik tak dibiarkan sekadar perjuangan kuasa demi kuasa, tetapi harus mengemban substansi politik dalam rangka menghadirkan berbagai kebijakan yang andal demi memenuhi visi dan misi negara.
Kebijakan politik harus merespons tantangan perbaikan tata kelola budaya (mental-spiritual-karakter), tata kelola sumber daya material dan teknologi, serta tata kelola demokrasi dan pemerintahan. Untuk itu diperlukan revitalisasi haluan negara sebagai pedoman direktif kebijakan dasar negara.
Prioritas rezim ekonomi-produksi adalah mengembangkan semangat tolong-menolong (kooperatif) dalam perekonomian. Politik anggaran harus lebih berorientasi kesejahteraan umum. Kemampuan negara menguasai dan mengelola kekayaan bersama serta cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus disehatkan.
Mata rantai produksi dari hulu ke hilir jangan sampai terkonsentrasi di satu tangan. Kemakmuran dan pemerataan ekonomi bisa didorong melalui pengembangan kewirausahaan yang dibekali penguasaan teknologi, dengan memprioritaskan pengembangan teknologi berbasis potensi dan karakteristik keindonesiaan.
Daripada kehidupan bangsa terus dibayangi ketakutan dengan gairah saling menyalahkan, lebih baik energi nasional dikerahkan untuk mengatasi akar-akar masalah bangsa. Tiada bangsa yang dikecualikan dari cobaan kehidupan, setiap bangsa yang sintas selalu bisa menemukan sisi positif dalam segala peristiwa bahkan dalam waktu terburuk. []
KOMPAS, 23 Desember 2020
Yudi Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar