Kebebasan dan Kecemasan
Oleh: Yudi Latif
Kabut kecemasan mengepung dunia, menyulut sentimen primordial di berbagai belahan bumi. Api permusuhan dan penyingkiran ”yang berbeda” mewabah, bahkan di tengah pandemi Covid-19 yang merundung segala bangsa, agama, ideologi, dan perekonomian.
Arus globalisasi membuka rongga kebebasan ruang publik dan intensitas perjumpaan lintas peradaban. Kebebasan dan perjumpaan melambungkan banyak harapan. Tingginya harapan pada kenyataannya tidak selalu sejalan dengan pemenuhan ekspektasi keadilan. Jarak lebar antara kebebasan dan keadilan itulah yang melahirkan kecemasan dan kekerasan.
Dalam konteks Indonesia, Orde Reformasi melahirkan momentum keterbukaan ruang publik. Hal ini ditandai penguatan kembali hak-hak sipil, kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi.
Meski demikian, nilai-nilai demokrasi tidak bisa ditegakkan dengan mudah di tengah kuatnya budaya feodalisme, rendahnya tingkat pendidikan, lebarnya kesenjangan ekonomi, dan lemahnya supremasi hukum. Pengembangan demokrasi dan reformasi politik tanpa dukungan tertib hukum dan keadilan sosial-ekonomi sering kali dibarengi dengan konflik sosial, disintegrasi, dan kekerasan etno-religius.
Dengan kata lain, penguatan demokrasi menghendaki adanya kebebasan yang bersejalan dengan keadilan. Dalam sistem politik otoritarian, ancaman utama terhadap kebebasan muncul dari negara. Dalam sistem demokratis, ancaman itu justru muncul dari kekuatan-kekuatan masyarakat, dalam bentuk fanatisme komunalistik.
Fanatisme merupakan antipoda dari masyarakat sipil karena menolak rasionalitas, persamaan kewargaan, dan pemerintahan hukum (konstitusional) sebagai bantalan vital demokrasi. Kelompok-kelompok mapan yang mengalami kemunduran, serta kelas menengah baru yang mobilitas vertikalnya ”terganjal” kerap mengembangkan fanatisme dengan memperlihatkan sikap ”iri” (resentment) terhadap kebebasan, perbedaan, dan modernisasi.
Namun, fanatisme tidaklah muncul tanpa akar. Ia muncul akibat terganggunya basis-basis keadilan dan distorsi komunikasi dalam ruang publik. Berdasarkan pengalaman lintas negara, banyak kekerasan dan konflik sosial terjadi akibat ketidakadilan (baik nyata maupun perseptual) dalam alokasi sumber daya, penyerobotan lahan kehidupan, dan deprivasi sosial, baik dalam relasi domestik maupun internasional.
Ketidakadilan dan ketercerabutan sosial-ekonomi ini diperparah pelumpuhan daya komunikatif-interaktif dalam ruang publik karena penundukan sistem nilai kebajikan hidup bersama (lifeworld) oleh dunia sistem kapitalisme.
Keadilan hukum terganggu ketika warga negara diberi perlakuan yang berbeda atau tak diberi perlindungan oleh negara atas hak-hak sipil-politik dan hak-hak ekonomi-sosial-budayanya. Jika warga negara gagal memperoleh perlindungan dari negara, secara alamiah mereka akan mencari perlindungan dari sumber-sumber yang lain. Sumber-sumber alternatif ini bisa dalam bentuk fundamentalisme keagamaan, tribalisme-etnosentrisme, premanisme, dan koncoisme.
Keadilan ekonomi terganggu manakala perluasan ruang partisipasi di bidang politik tidak seiring dengan perluasan partisipasi di bidang ekonomi. Di Indonesia, pergeseran ke arah sistem politik demokratis yang membawa serta gelombang aspirasi neoliberal dalam perekonomian terjadi ketika tradisi negara kesejahteraan masih lemah.
Penetrasi kapital dan kebijakan propasar di tengah perluasan korupsi serta lemahnya regulasi negara memberi peluang bagi merajalelanya ”predator-predator” ekonomi raksasa yang secara cepat memangsa pelaku-pelaku ekonomi menengah dan kecil. Ekspansi kepentingan predator besar ini tak hanya berhenti pada dunia usaha, tetapi juga menyusup ke soal perumusan perundang-undangan, bahkan sampai pada pemilihan pejabat pemerintah di daerah. Kesenjangan ekonomi melebar yang menyulut kecemburuan sosial.
Dengan demikian, untuk mencapai demokrasi substantif, kebebasan di ruang publik harus dikelola secara dewasa. Kebebasan harus digunakan secara bertanggung jawab dalam rangka ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Konsolidasi demokrasi di Indonesia akan berhasil jika kita mampu mengelola tuntutan kebebasan yang bersejalan dengan keadilan. Jika keduanya tak berjalan berkelindan, ancaman yang akan kita hadapi tidak saja soal disintegrasi sosial, tetapi juga akan hancurnya kerekatan sosial dalam masyarakat.
Apabila kerekatan sosial hancur, akan tumbuh social distrust sehingga kelompok yang satu dengan yang lainnya akan saling curiga, bermusuhan atau bahkan, yang paling mengerikan, adanya upaya untuk saling meniadakan. Dalam situasi demikian, mimpi buruk Hobbesian berupa ”perang semua lawan semua” (war of all against all) bisa menjadi kenyataan. Dengan ini, kita sadar betapa pentingnya melakukan refleksi diri, membuka hati penuh cinta untuk yang lain. []
KOMPAS, 17 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar