Mazhab Hanbali didirikan dengan menisbahkan pemikiran kepada manhaj fiqih Ahmad bin Hanbal. Dalam ketentuan aqad musaqah, tampaknya versi Mazhab Hanbali ini sesuai dengan pendapat Imam Syafii dalam qaul qadimnya. Mungkin, ini pengaruh dari relasi guru dan murid, yang mana Imam Ahmad bin Hanbal merupakan periwayat fiqih manhaji Imam Syafii dengan qaul qadimnya ketika ia masih tinggal di Baghdad.
Begitu pula dengan qaul qadim Mazhab Syafi'i. Tampaknya qaul qadim memiliki
keserupaan dengan Mazhab Hanafi. Walhasil, relasi guru murid antara Imam Syafii
dan ulama Hanafiyah, tampak kentara sekali dalam poin ini. Kita telusuri dulu,
bagaimana aqad musaqah versi Mazhab Hanbali ini?
Sebagai tolok ukur dari Mazhab Hanbali, kita ambil maraji' salah satu pengamal
mazhab tersebut, yaitu Ibnu Qudamah. Di dalam Al-Mughny libni Qudamah,
disampaikan bahwa:
وَأَمَّا
الْحَنَابِلَةُ، وَفِي الْمَذْهَبِ الْقَدِيمِ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ فَيَلْتَقُونَ
مَعَ الْحَنَفِيَّةِ بِصِحَّةِ الْمُسَاقَاةِ فِي سَائِرِ الأَْشْجَارِ، دُونَ
غَيْرِهَا، وَاشْتَرَطُوا أَنْ تَكُونَ الأَْشْجَارُ مُثْمِرَةً وَثَمَرُهَا
مَقْصُودٌ كَالْجَوْزِ وَالتُّفَّاحِ وَالْمِشْمِشِ
Artinya, "Menurut kalangan Hanabilah, dan pendapat yang tertuang dalam qaul qadim Imam Syafii, keduanya bertemu dengan konsep Hanafiyah dalam memandang keabsahan akad musaqah untuk semua jenis tanaman kategori pohon, tidak untuk selainnya. Mereka sama-sama menetapkan syarat, bahwa pohon ini harus berjenis pohon buah. Kategori pohon buah yang dimaksud di sini adalah seperti pohon pala, apel dan aprikot," (Ibn Qudamah, Al-Mughny libni Qudamah, [Damaskus, Dárul Fikr: tt], juz III, halaman 393).
Dalil yang dipergunakan oleh kalangan Hanabilah adalah hadits dengan sanad Ibnu
Umar radhiyallahu anhuma:
أعطى
النبي صلى الله عليه وسلم خيبر اليهود: أن يعملوها ويزرعوها، ولهم شطر ما يخرج
منها
Artinya, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan akad musaqah
dengan kaum Yahudi ahli Khaibar, yaitu: agar mereka mengelolanya, menanaminya,
dan bagi mereka bagi hasil sebesar bagian tertentu dari hasil panen
tanaman," (HR Bukhari dengan Nomor Hadits 4002).
Diksi 'â-ma-la di dalam hadits ini merunjuk pada pengelolaan akad musaqah pada
jenis tanaman buah. Oleh karena itu pula, akad musâqah dalam mazhab Hanbali
juga sering disebut dengan istilah akad mu'âmalah. Kedua istilah itu terbentuk
karena kebiasaan penyebutan akad musâqah oleh penduduk Khaibar sebagai
akad muâmalah.
Ibnu Qudamah lebih lanjut menjelaskan bahwa:
فَأَمَّا مَا لاَ ثَمَرَ لَهُ مِنَ الشَّجَرِ كَالصَّفْصَافِ وَالْحَوَرِ وَنَحْوِهِمَا، أَوْ لَهُ ثَمَرٌ غَيْرُ مَقْصُودٍ كَالصَّنَوْبَرِ وَالأَْرْزِ فَلاَ تَجُوزُ الْمُسَاقَاةُ عَلَيْهِ لأَِنَّهُ لَيْسَ بِمَنْصُوصٍ عَلَيْهِ وَلاَ فِي مَعْنَى الْمَنْصُوصِ
Artinya: "Adapun pohon yang tidak memiliki buah, seperti pohon shafshaf
(Dedalu/Gandarusa), Aspen (Genus Populus), dan sejenisnya, atau pohon yang
memiliki buah, namun buahnya tidak bisa dimanfaatkan (sehingga bukan menjadi
bagian pokok yang dituju lewat akad bagi hasil musaqah), misalnya seperti
cemara, padi-padian, maka tidak boleh mempergunakan akad musaqah dalam
muamalahnya, sebab pohon itu bukan termasuk yang manshush (ditetapkan oleh
nash), atau memiliki manfaat yang semakna dengan pohon yang manshush."
((Ibn Qudamah, Al-Mughny libni Qudamah, [Damaskus, Dárul Fikr: tt], juz III,
halaman 394).
Adapun alasan ('illat) yang dipergunakan oleh kalangan Hanabilah lewat
pernyataan Ibn Qudamah adalah sebagai berikut:
وَلأَِنَّ
الْمُسَاقَاةَ إِنَّمَا تَكُونُ بِجُزْءٍ مِنَ الثَّمَرِ، وَهَذَا لاَ ثَمَرَةَ
لَهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مِمَّا يُقْصَدُ وَرَقُهُ كَالتُّوتِ وَالْوَرْدِ،
فَالْقِيَاسُ يَقْتَضِي جَوَازَ الْمُسَاقَاةِ عَلَيْهِ؛ لأَِنَّهُ فِي مَعْنَى
الثَّمَرِ وَلأَِنَّهُ نَمَاءٌ يَتَكَرَّرُ كُل عَامٍ وَيُمْكِنُ أَخْذُهُ
وَالْمُسَاقَاةُ عَلَيْهِ بِجُزْءٍ مِنْهُ فَيَثْبُتُ لَهُ مِثْل حُكْمِهِ
Artinya, "Karena akad musaqah hanya bisa diterapkan pada jenis pohon buah, maka untuk jenis pohon tanpa buah, namun tujuan produksi pohon tersebut adalah diambil daunnya, semisal daun cherry, atau bunganya, pada bunga mawar, maka qiyas bisa diterapkan untuk kebolehan akadnya karena alasan, 1) daun dan bunga menempati maqam buah (sama-sama menjadi tujuan produksinya), 2) dapat berproduksi secara berulang kali setiap tahunnya, dan 3) bisa ditetapkan kadar bagian masing-masing. Walhasil, hukum akad musaqah dengan obyek tanaman produksi berupa daun atau bunga hukumnya menjadi tsubut atau tetap," (Ibn Qudamah, Al-Mughny libni Qudamah, [Damaskus, Dárul Fikr: tt], juz V, halaman 394).
Simpulan dari kajian akad musaqah versi mazhab hanbali ini adalah:
1. Akad musaqah hanya bisa diterapkan pada tanaman yang berumur panjang dan berjenis tanaman buah atau yang semakna dengan buah, seperti diproduksi untuk diambil daunnya atau bunganya. Dengan demikian, karet yang diambil getahnya juga dapat diqiyaskan dengan daun dan buah.
2. Tanaman terdiri atas jenis tanaman menahun dan dapat
berproduksi secara berulang.
3. Meski suatu tanaman dapat memproduksi buah, tetapi apabila
buah tersebut bukan yang dituju dalam proses produksi, maka tanaman tersebut
bukan termasuk jenis tanaman yang bisa diambil akad musaqah.
4. Meski tanaman itu dapat berproduksi secara berulang,
tetapi bila tanaman tersebut bukan tanaman menahun, maka ia bukan termasuk
jenis tanaman yang dapat diambil akad musaqahnya.
5. Meski suatu tanaman berusia menahun, namun karena habis
sekali panen saja, maka tanaman itu bukan termasuk jenis yang bisa diambil akad
musaqahnya. Wallahu a’lam bis shawab. []
Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU
Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar