Rabu, 30 Desember 2020

Azyumardi: Asa Politik 2021

Asa Politik 2021

Oleh: Azyumardi Azra

 

Asa apa yang bisa kita nyalakan di hati dan pikiran menyongsong tahun 2021? Perkembangan dan perbaikan apa di bidang politik yang  mesti dilakukan agar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan  pada 2021 lebih baik daripada 2020?

 

Jika sejarah adalah kontinuitas dan perubahan, perjalanan ke depan kali ini dengan sedikit pahit harus dikatakan tak menjanjikan banyak perbaikan. Banyak  indikator sepanjang 2020 mengisyaratkan lebih banyak terjadi kontinuitas sehingga 2021 boleh jadi tak banyak perubahan besar.

 

Sejarah bukan hanya sekadar pengungkapan kejadian  di masa silam, melainkan juga panduan menuju masa depan lebih baik. Untuk itu, banyak agenda yang bisa dan harus dilakukan.

 

Dalam banyak segi, 2020 ialah Annus horribilis, tahun mengerikan. Ini karena wabah Covid-19 yang memorakporandakan kehidupan  dari aspek kesehatan; ekonomi, sosial-budaya, agama, dan politik. Saat ini, dunia menuju 80 juta kasus terinfeksi Covid-19 dan dua juta korban tewas. Indonesia,  dengan hampir 700.000 kasus infeksi dan lebih dari 20.000 korban meninggal, jadi negara keempat terbanyak terdampak pandemi Covid-19 di daratan Asia setelah India, Turki, dan Iran. Kekacauan akibat pandemi di beberapa bidang di  Indonesia cukup parah.

 

Apakah 2021 dapat menjadi Annus mirabilis, tahun cerah membawa kebahagiaan, bagi RI di tengah masih merajalelanya Covid-19? Jelas  sulit meski tak mustahil. Walau 2021 belum bisa jadi tahun membahagiakan, perjalanan ke arah itu patut dilakukan. Untuk itu, pejabat publik   beserta elite politik  nasional dan lokal perlu melakukan berbagai langkah serius.

 

Pertama, Presiden Joko Widodo mesti mengonsolidasikan pemerintahannya.  Tanpa peningkatan kinerja kabinet, asa publik bisa tambah layu. Memasuki tahun kedua masa bakti kedua, kian kuat keraguan publik apakah Presiden Jokowi bisa meninggalkan legacy optimal jika kinerja kabinet tidak maksimal.

 

Jauh sebelum Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari  Batubara ditangkap KPK, telah banyak imbauan dari berbagai pihak agar Presiden me-reshuffle kabinet. Presiden Jokowi lama sekali bergeming. Setelah berbulan-bulan, perombakan kabinet akhirnya dilakukan; enam tokoh diangkat jadi menteri baru. Rejuvenasi kabinet ini perlu dihargai walau masih parsial. Seharusnya reshuffle dilakukan  komprehensif.

 

Menteri-menteri baru cukup menjanjikan. Namun,  masih ada sejumlah menteri (lama) yang semestinya di-reshuffle karena kinerja tak memuaskan. Karena itu, masih menjadi tanda tanya apakah kabinet yang telah direjuvenasi ini bisa menciptakan momentum konsolidasi pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin untuk meningkatkan kinerjanya.

 

Pemerintah juga perlu mengambil langkah bersama DPR  guna kembali mengonsolidasikan demokrasi. Langkah ini mendesak karena demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami kemerosotan dari ’full democracy’ jadi ’flawed democracy’. Pemerintah perlu memulihkan kembali kebebasan sipil.

 

Pembatasan kebebasan sipil mesti dihilangkan; jika ada warga yang menyalahgunakan kebebasan sipil, bisa ditempuh langkah hukum tanpa mengebiri kebebasan sipil dengan menggunakan berbagai UU dan ketentuan ”karet”. Pemerintah juga perlu memulihkan kembali masyarakat sipil sebagai salah satu pilar pokok demokrasi. Pemerintah sepatutnya menghentikan praksis politik yang mengabaikan masyarakat sipil.

Jika asa Indonesia 2021 adalah Annus mirabilis, pemerintah patut meninggalkan praksis politik persekongkolan dengan DPR. Pemerintah dan DPR perlu tidak lagi mengesahkan RUU tanpa mendengar aspirasi publik dan masyarakat sipil seperti terjadi dalam perubahan UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja.

 

Indonesia 2021 juga memerlukan rejuvenasi dan penguatan kembali kohesi sosial. Secara terbuka ataupun di bawah permukaan, friksi  antarwarga cenderung meningkat beberapa tahun terakhir. Keadaan ini tidak kondusif untuk pemeliharaan kohesi sosial-politik dan integrasi bangsa.

 

Di satu segi, kohesi sosial muncul di antara warga saat  pandemi Covid-19. Banyak anggota masyarakat dan ormas mengumpulkan dana filantropi guna membantu warga terdampak. Bantuan berupa pelindung diri, obat-obatan, bahan pokok, juga gawai dan pulsa untuk pembelajaran jarak jauh. Ini aktualisasi kohesi sosial yang tetap kuat.

 

Namun,  kohesi sosial-politik sangat terganggu peningkatan kegaduhan di masyarakat akibat penyebaran hoaks, fitnah, provokasi, pencemaran nama baik, dan adu domba. Meski publik terlihat tenang-tenang saja,  banyak gejolak di bawah permukaan yang  mengancam kohesi sosial.

 

Gejolak laten itu sewaktu-sewaktu bisa muncul. Ini terlihat pada kasus kerumunan massa berlanjut kegaduhan dan kekerasan di antara massa ormas Islam tertentu dengan polisi. Letupan pembelaan terhadap pimpinannya yang ditahan polisi terjadi di Jabodetabek dan sempat  meluas ke beberapa kota kecil.

 

Peristiwa terakhir ini juga meningkatkan sentimen terkait ”ketidakadilan” politik dan hukum yang mengendap dalam jiwa  sebagian warga. Persepsi tentang ”pisau keadilan” yang tajam pada pihak tertentu dan tumpul pada pihak lain terus mewabah merusak kohesi sosial-politik.

 

Oleh karena itu, asa RI 2021 dan tahun seterusnya juga adalah penegakan keadilan. Masyarakat dan pakar, jika bicara tentang keadilan, biasanya menyangkut keadilan hukum dan keadilan ekonomi. Jika keadilan dalam kedua bidang itu tidak diusahakan sungguh-sungguh oleh pemerintah, dampaknya adalah kerapuhan kohesi sosial-politik yang laten mengoyak integrasi nasional.

 

Asa Indonesia 2021 sebagai Annus mirabilis, walau menghadapi banyak tantangan, bukan tidak mungkin diwujudkan. Jika berbagai tantangan tadi dapat dijawab dengan kemauan politik tulus dan kerja keras ikhlas, asa itu sedikit banyak bisa terwujud. []

 

KOMPAS, 24 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar