Di tengah masyarakat, umumnya shighat yang dipakai untuk ijab seorang wali atau wakilnya adalah:
أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ فُلَانَةَ بِنْتَ فُلَان
Shighat ini biasa diterjemahkan, “Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Fulanah binti Fulan....”
Sementara qabul nikahnya biasa dipakai:
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا لِنَفْسِيْ بِالْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ
Di masyarakat, shighat ini diterjemahkan, “Saya terima nikah dan kawinnya Fulanah binti Fulan dengan mahar tersebut ….”
Sayangnya, shighat yang berlaku tersebut diragukan keabsahannya oleh sebagian kalangan. Alasannya karena ucapan wali/wakilnya “ankahtuka wa zawwajtuka” (saya nikahkan dan kawinkan engkau) menurut pemahaman pihak ini mengesankan bahwa yang dinikahkan bukan mempelai wanita, tetapi mempelai pria, karena kata kerja ankahtu (saya nikahkan) tertuju kepada dlamir mukhathab (mempelai pria), padahal menurut syariat yang dinikahkan adalah mempelai wanita.
Pihak tersebut menyatakan bahwa shighat ijab nikah yang benar mestinya, “Saudara Fulan, saya nikahkan denganmu Fulanah....”
Demikian pula shighat penerimaan nikah oleh mempelai pria juga disangsikan keabsahannya. Argumennya adalah bahwa kalimat “Saya terima nikah dan kawinnya Fulanah....” mengesankan perempuan menikahi laki-laki. Menurutnya, terjemahan qabul nikah yang tepat mestinya, “Saya terima menikahinya,” atau “Saya terima nikah dengan....” Shighat terakhir ini menurutnya dapat menjauhkan kesan bahwa perempuan menikahi laki-laki.
Benarkah anggapan itu? Apakah shighat yang lazim dipakai masyarakat mengakibatkan batalnya akad nikah?
Sesungguhnya, shighat nikah yang berlaku di masyarakat sudah sah secara fiqih dan tidak membatalkan pernikahan. Bahkan, shighat itu sudah bertahun-tahun dipakai dalam setiap akad pernikahan yang memakai bahasa Indonesia. Dan hampir tidak ada kiai atau ulama yang mengingkarinya. Seandainya keliru, tentu mereka sudah mengingatkannya.
Yang pertama berkaitan dengan shighat ijab yang dipermasalahkan. Kejanggalan ini sesungguhnya bertentangan dengan tatanan bahasa atau gramatika Arab yang sudah masyhur dan dibakukan oleh para ulama.
Dalam ucapan ankahtuka wa zawwajtuka (saya nikahkan dan kawinkan engkau ...) terdapat kalimat fi’il ankahtu yang memiliki dua maf’ul (objek). Maf’ul pertama dlamir mukhathab “ka” (engkau), yaitu mempelai pria. Maf’ul kedua adalah “Fulanah,” tepatnya nama mempelai wanita.
Dalam tata bahasa Arab (nahwu), fi'il (kata kerja) yang memiliki dua maf’ul memiliki dua kondisi. Ada yang wajib mendahulukan salah satu maf’ul-nya, ada pula yang boleh menyebutkannya secara bebas, sehingga di antara dua maf’ul yang ada tidak disyaratkan tertib.
Para ulama nahwu menjelaskan, kondisi yang wajib mendahulukan maf’ul terjadi bila terdapat keserupaan antara maf’ul yang secara makna berkedudukan sebagai subjek (fa’il filma’na) dengan maf’ul-nya. Contohnya seperti:
أَعْطَيْتُ زَيْدًا عَمْرًا
Artinya, “Saya memberikan Zaid kepada ‘Amr.”
Dalam kalimat di atas, Zaid memiliki kedudukan sebagai maf’ul (objek) dari dlamir mutakallim (aku), sekaligus menjadi subjek dari kata ‘Amr secara makna. Kemudian, ‘Amr juga berkedudukan sebagai objek dari dlamir mutakallim (aku) sekaligus subjek dari kata Zaid.
Pemahaman kalimat di atas adalah Zaid sebagai pihak yang mengambil ‘Amr, yaitu objek yang diterimakan subjek kepada Zaid.
Dalam contoh di atas tidak diperbolehkan mengakhirkan Zaid dari ‘Amr, sebab akan mengakibatkan ketidakjelasan antara pihak yang menerima dan objek yang diterimakan.
Bila tidak ada keserupaan sebagaimana penjelasan di atas, maka boleh mengakhirkan atau mendahulukan di antara kedua maf’ul. Contohnya:
أَعْطَيْتُ الثَّوْبَ زَيْدًا
Artinya, “Saya memberikan pakaian kepada Zaid.”
Boleh juga dibalik:
أَعْطَيْتُ زَيْدًا الثَّوْبَ
Artinya, “Saya memberi Zaid pakaian.”
Dalam contoh ini, maf’ul yang berkedudukan sebagai subjek jelas dan bisa dibedakan dengan objek yang diterimakan. Zaid sebagai subjek penerima, sedangkan pakaian sebagai objek yang diterimakan kepadanya. (Lihat: al-Imam Ibnu ‘Aqil, Syarh Alfiyyah Ibni Malik, juz II, hal. 153).
Shighat ijab nikah yang berlaku di masyarakat selama ini, baik berbahasa Arab maupun terjemahannya, termasuk ke dalam penjelasan ini. Pakaian pada contoh di atas jelas menjadi objek yang diterimakan, sedangkan Zaid adalah penerimanya. Demikian halnya dalam shighat ijab nikah. Subjek penerimanya adalah mempelai pria, sedangkan objek yang diberikan kepada mempelai pria ialah mempelai wanita.
Selain itu, sighat-nya juga bisa dibalik:
أَنْكَحْتُ وَزَوَّجْتُ فُلَانَةَ إِيَّاكَ
Artinya, “Saya nikahkan dan kawinkan Fulanah dengan engkau.”
Boleh pula diucapkan:
أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ فُلَانَةَ
Artinya, “Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Fulanah.”
Dalam bahasa Indonesia, kalimat “Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Fulanah,” dan terjemahan shighat ijab sebagaimana yang diusulkan, “Saudara Fulan, saya nikahkan denganmu Fulanah,” tidak memiliki perbedaan signifikan. Semua orang memahami bahwa shighat ijab memberi pengertian yang dinikahkan adalah perempuan, bukan laki-laki.
Yang kedua adalah shighat qabul nikah qobiltu nikahaha wa tazwijaha (saya terima nikah dan kawinnya Fulanah). Shighat ini dijelaskan hampir seluruh literatur fiqih. Misalnya kitab Minhaj al-Thalibin atau kitab-kitab yang lain, hampir semuanya menyebutkan contoh shighat penerimaan nikah dengan kalimat tersebut.
Redaksi qabiltu nikahaha (aku terima nikah dengan Fulanah) ditafsirkan oleh Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami dengan qabiltu inkahaha (aku menerima dinikahkan dengan Fulanah). Meskipun disampaikan dalam bentuk kalimat nikahaha, tetapi maknanya inkahaha, yaitu shighat mashdar dari ankaha-yunkihu-inkahan. Syaikh Ibnu Hajar tidak mempermasalahkan contoh shighat qabul nikah yang disampaikan oleh Imam an-Nawawi dalam Matan Minhaj at-Thalibin tersebut, meski secara lahiriyah shighat qabiltu nikahaha terdapat kejanggalan, namun beliau tidak menyalahkannya, justru lebih memilih ta’wil (mengarahkan kepada pemahaman makna yang benar).
Bahkan menurut riwayat Imam Al-Ajuri, redaksi nikahaha itu dipakai sebagai shighat qobul Sayyidina ‘Ali radliyallahu ‘anhu ketika menikahi Sayyidah Fatimah radliyallahu ‘anha. Disebutkan bahwa Sayyidina ‘Ali radliyallahu ‘anhu menyatakan qabul nikahnya dengan redaksi radlitu nikahaha (aku rida menikah dengan Fathimah).
Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami juga menegaskan:
(وَقَبُولٌ: بِأَنْ يَقُولَ الزَّوْجُ تَزَوَّجْتُ أَوْ نَكَحْتُ أَوْ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا) بِمَعْنَى إنْكَاحِهَا لِيُطَابِقَ الْإِيجَابَ وَلِاسْتِحَالَةِ مَعْنَى النِّكَاحِ هُنَا إذْ هُوَ الْمُرَكَّبُ مِنْ الْإِيجَابِ وَالْقَبُولِ كَمَا مَرَّ وَرَوَى الْآجُرِّيُّ أَنَّ الْوَاقِعَ مِنْ عَلِيٍّ فِي نِكَاحِ فَاطِمَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - رَضِيت نِكَاحَهَا
Artinya, “Shighat qabul seperti ucapan suami “saya menikahi, atau saya terima nikahnya” dalam arti “menerima dinikahkan dengan mempelai perempuan.” Pemaknaan tersebut agar selaras dengan shighat ijab, juga karena tidak mungkin kata nikah ini diartikan dengan makna sesungguhnya. Sebab arti nikah adalah meliputi ijab dan qabul. Imam al-Ajuri meriwayatkan shighat qabul yang diucapkan Sayyidina ‘Ali radliyallahu ‘anhu adalah “saya rela menikahi Fatimah.” (Lihat: Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 7, hal. 218)
Dari referensi tersebut dapat kita pahami bahwa perbedaan kecil dalam redaksi penerimaan nikah tidak menjadi masalah. Demikian pula kesan-kesan yang dikhawatirkan dalam redaksi “saya terima menikahi Fulanah,” dapat ditepis dengan mengarahkan kalimat tersebut kepada pemaknaan yang benar.
Sehingga terjemahan “saya terima nikah dan kawinnya Fulanah,” memberi pengertian “saya terima dinikahkan dengan Fulanah.” Jadi meski redaksinya memakai kalimat “nikah dan kawinnya Fulan,” namun yang dikehendaki adalah arti “dinikahkannya Fulanah oleh wali kepadaku.”
Demikian pula tidak ada perbedaan yang tajam antara shighat “saya terima nikah dan kawinnya Fulanah” dan redaksi qabul nikah yang diusulkan “saya terima untuk menikahinya/saya terima nikah dengan ....” Sebab, semua kalimat itu memiliki maksud yang sama, yaitu menerima pernikahan mempelai wanita yang diserahkan oleh pihak wali.
Argumen lain adalah semua bentuk shighat yang diucapkan dalam bahasa non-Arab, sepenuhnya disesuaikan dengan keumuman yang berlaku. Apa pun bentuk kalimatnya, sepanjang memiliki arti menikahkan dan menerima pernikahan, hukumnya sah.
Al-Imam as-Suyuthi menegaskan:
إنَّمَا يَتَجَاذَبُ الْوَضْعُ وَالْعُرْفُ فِي الْعَرَبِيِّ، أَمَّا الْأَعْجَمِيُّ فَيُعْتَبَر عُرْفُهُ قَطْعًا إذْ لَا وَضْعَ يُحْمَل عَلَيْهِ.
Artinya, “Tarik ulur antara makna asli dengan ‘urf hanya ada dalam bahasa Arab. Sedangkan dalam bahasa non-Arab, yang dipertimbangkan adalah ‘urf menurut kesepakatan ulama, karena tidak ada makna asli yang menjadi tolak ukur.” (Lihat: al-Imam as-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hal.95).
Walhasil, ijab dan qabul nikah dengan terjemahan yang berlaku di masyarakat sesungguhnya tetap sah secara fiqih karena dua alasan. Pertama, shighat tersebut masih dapat diarahkan kepada pemaknaan yang benar. Kedua, yang menjadi standar untuk shighat berbahasa non-Arab adalah setiap kalimat yang lazim dipakai untuk memberi arti menikahkan dan menerima pernikahan, apa pun bentuk kalimatnya. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar