Surat At-Taubah terdiri atas 129 ayat. Surat kesembilan ini dinamai juga “Bara’ah” karena surat ini diawali dengan kata “bara’ah.” Surat At-Taubah cukup istimewa. Ia tidak didahului oleh lafal basmalah atau “bismillahir rahmanir rahim.” Ulama memberikan sejumlah penjelasan perihal fenomena ini.
Syekh Muhammad Ali As-Shabuni dalam tafsirnya menyinggung sekilas perihal
bismillah. Ia mengatakan bahwa Allah membuka Surat Al-Fatihah dan semua surat
dalam Al-Qur’an kecuali Surat At-Taubah dengan ayat “bismillahir rahmanir
rahim” untuk memberikan petunjuk bagi umat Islam untuk mengawali ucapan dan
tindakan mereka dengan nama Allah. (Syekh Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwatut Tafasir, [Jakarta,
Darul Kutub Al-Islamiyah: 1999 M/1420 H], cetakan pertama, juz I, halaman 23).
Hal ini dimaksudkan untuk mengharapkan bantuan dan taufik-Nya. Ini yang
membedakan juga dari kaum pagan Makkah yang mengawali aktivitas dengan menyebut
nama berhala dan thagut mereka,
“Ya latta, Uzza, Syi’ib, Hubbal,” dan seterusnya. (As-Shabuni, 1999 M: 23).
Syekh Wahbah Az-Zuhayli menjelaskan singkat kenapa “bismillah” tidak mengawali
Surat At-Taubah. Ia mengatakan bahwa fenomena itu tidak dapat dipisahkan dari
konten Surat At-Taubah itu sendiri yang berkaitan dengan peperangan, yaitu
Perang Tabuk dan setelahnya.
ثم يقرأ الإنسان البسملة بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (1) وهي آية فاصلة بين السّور القرآنية، ونزلت مع كل سورة كما ورد عن ابن عمر رضي اللّه عنهما، ولم توضع في أول سورة التّوبة (براءة) بأمر الوحي لأن هذه السورة نزلت في الحرب والجهاد والبراءة من المشركين بعد غزوة تبوك
Artinya, “Seseorang kemudian membaca ‘Bismillahir rahmanir rahim.’ Bismillah merupakan ayat
pemisah antarsurat dalam Al-Qur’an. Bismillah
turun bersama setiap surat sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar RA kecuali pada
Surat At-Taubah (Bara’ah)
berdasarkan perintah wahyu. Pasalnya, Surat At-Taubah turun mengenai
peperangan, jihad, dan pelepasan diri dari orang-orang musyrik setelah perang
Tabuk,” (Syekh Wahbah Az-Zuhayli,
At-Tafsirul Wasith, [Beirut, Darul Fikr: 1422 H], cetakan pertama).
Syekh Jalaluddin dalam Tafsirul
Qur’anil Azhim atau Tafsirul
Jalalain mengatakan bahwa Surat At-Taubah turun di Madinah kecuali
dua ayat terakhir. Dua ayat terakhir pada Surat At-Taubah diturunkan di Kota
Makkah. Surat ini terdiri atas 129 ayat. Ia diturunkan setelah Surat Al-Maidah.
Lafal “bismillah,” kata Tafsirul
Jalalain, tidak dicatat di awal surat ini karena Rasulullah SAW
tidak memerintahkannya demikian sebagaimana dikutip dari riwayat Al-Hakim. Ia
meriwayatkan dari Sayyidina Ali bahwa “bismillah” itu mengandung keamanan dan
kedamaian. Sedangkan surat ini memerintahkan untuk mencabut gencatan senjata
terhadap kaum musyrikin.
Karena peperangan bersebarangan dengan kandungan yang terdapat dalam
“bismillah,” penulisan Surat At-Taubah tidak diawali dengan “bismillah.”
Ada juga riwayat lain–seperti ditulis oleh Imam Al-Qurthubi dalam
tafsirnya–menyebutkan bahwa penulisan Surat At-Taubah tanpa basmalah karena sebagian
sahabat berselisih pendapat perihal kedudukan surat ini. Sebagian mereka
menganggap surat ini sebagai lanjutan dari Surat Al-Anfal atau bagian dari
Surat Al-Anfal sehingga sebagai lanjutan penulisan surat ini tidak perlu
diawali dengan basmalah. Sedangkan sebagian sahabat mengatakan bahwa At-Taubah
merupakan surat tersendiri di luar Surat Al-Anfal.
Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya juga menyebutkan riwayat lain yang menjelaskan
fenomena ini. Riwayat itu menyebutkan bahwa basmalah
memang tidak ditulis di awal Surat At-Taubah karena basmalah mengandung rahmat Allah berupa
perdamaian. Sedangkan Surat At-Taubah turun perihal orang-orang munafik saat
itu.
Menurut keterangan Sayyidina Utsman, Rasulullah SAW hingga wafatnya tidak pernah menjelaskan apapun perihal kedudukan Surat At-Taubah. Al-Qurthubi mengutip keterangan Ibnul Arabi yang berpendapat, fenomena ini menunjukkan bahwa qiyas sebagai dasar agama.
Menurut Ibnul Arabi, apa yang dilakukan oleh Sayyidina Utsman dan para pemuka
sahabat dengan cara menganalogikan (analogi) Surat At-Taubah dan Surat Al-Anfal
hanya karena kemiripan konten di dalamnya (konten perang) perihal penyusunan
urutan surat dalam AL-Qur’an. Sekali lagi perlu diketahui bahwa Al-Anfal adalah
surat kedelapan. Sementara At-Taubah adalah surat kesembilan.
Pendapat yang shahih, kata Al-Qurthubi sebagaimana dikatakan oleh Al-Qusyairi,
Surat At-Taubah ditulis tanpa basmalah
karena Jibril AS membawa turun surat itu demikian adanya.
Adapun penjelasan pertama yang dikemukakan oleh Al-Qurthubi terkait ini ialah
tradisi bangsa Arab. Bangsa Arab yang terdiri atas pelbagai kabilah memiliki
tradisi korespondensi yang baik sebagai maklumat politik, pakta, piagam, atau
kesepakatan sejenis. Dalam perjanjian yang berujung pada kerja sama atau gencatan
senjata, mereka mengawali suratnya dengan basmalah. Tetapi ketika membatalkan
perjanjian, mereka menulis suratnya tanpa basmalah.
Tradisi ini berlanjut ketika Surat At-Taubah turun sebagai perintah pembatalan perjanjian dengan kaum musyrikin Makkah karena mereka terlebih dulu melanggar perjanjian. Sayyidina Ali yang diutus oleh Rasulullah kepada kaum musyrikin membacakan Surat At-Taubah ini tanpa basmalah terlebih dahulu di hadapan mereka. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar