Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, makan sambil berdiri pada situasi tertentu juga dilakukan masyarakat seperti dalam menikmati jamuan perkawinan sebagian kalangan. Bagaimana dengan keterangan agama perihal ini? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Purnama/ Batam
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Ulama berbeda pendapat mengenai masalah makan sambil berdiri ini. Sebagian ulama melarang praktik demikian berdasarkan hadits riwayat Muslim berikut ini:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا قَالَ قَتَادَةُ فَقُلْنَا فَالْأَكْلُ فَقَالَ ذَاكَ أَشَرُّ أَوْ أَخْبَثُ
Artinya, “Dari sahabat Anas RA, dari Nabi Muhammad SAW bahwa ia melarang seseorang meminum sambil berdiri. Qatadah berkata. Kami bertanya, ‘Kalau makan bagaimana?’ Rasul menjawab, ‘Itu lebih buruk atau lebih keji,’” (HR Muslim).
Sedangkan sebagian ulama membolehkan praktik makan sambil berdiri. Ulama ini menyatakan praktik makan sambil berdiri tidak diharamkan. Mereka mendasarkan pandangannya pada hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah berikut ini:
عن ابن عمر قال كنا نأكل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نمشي ونشرب ونحن قيام
Artinya, “Dari sahabat Ibnu Umar RA, ia bercerita, ‘Kami makan di masa Rasulullah sambil berjalan. Kami minum sambil berdiri,’” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Imam An-Nawawi salah satu ulama yang membolehkan makan sambil berdiri. Ia memaknai larangan praktik makan sambil berdiri pada hadits riwayat Imam Muslim sebagai praktik yang menyalahi keutamaan (khilaful afdhal atau khilaful aula), bukan larangan makruh apalagi haram.
وأما الأكل فإن كان لحاجة فجائز وإن كان لغير حاجة فهو خلاف الأفضل ولا يقال إنه مكروه وثبت في صحيح البخاري من رواية ابن عمر رضي الله تعالى عنه أنهم كانوا يفعلونه وهذا مقدم على ما في صحيح مسلم عن أنس أنه كرهه
Artinya, “Adapun makan (sambil berdiri), jika dilakukan karena suatu hajat, maka itu boleh. Tetapi jika tidak ada hajat sama sekali, maka tindakan itu menyalahi yang utama dan tidak disebut makruh. Hal itu telah tetap pada Shahih Bukhari (mungkin maksudnya At-Tirmidzi dan Ibnu Majah-pent.) dari riwayat sahabat Ibnu Umar RA bahwa para sahabat nabi melakukannya (makan sambil berdiri). Riwayat ini didahulukan daripada riwayat dalam Shahih Muslim dari sahabat Anas RA bahwa ia menyatakan makruh,” (Imam An-Nawawi, Fatawal Imam An-Nawawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2018 M/1439 H], halaman 73).
Kendati demikian, untuk mengakomodasi kedua dalil ini, makan sebaiknya dilakukan sambil duduk sebagai praktik yang dianjurkan karena lebih dekat pada keutamaan, keafdhalan, atau aula.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar