Jumat, 18 Desember 2020

(Ngaji of the Day) Akad Musaqah dan Jenis Tanamannya dalam Mazhab Hanafiyah dan Malikiyah

Musaqah dilihat dari definisinya memiliki pengertian menyerahkan pohon kurma atau anggur kepada seseorang agar dikelola dan disirami serta melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga agar tetap baik selama pertumbuhannya dengan perjanjian bahwa sebagian dari hasilnya akan diberikan kepada pengelola dan sebagian lainnya milik pemilik kebun.


Sebenarnya akad ini sama saja dengan akad muzara’ah. Bedanya terletak pada konteks penyerahan. Jika musaqah, yang diserahkan adalah berupa pohon yang sudah ditanam dan siap untuk dirawat. Sementara itu untuk muzara’ah, penyerahan masih berupa benih yang masih harus disemaikan dan disiapkan untuk penanamannya.


Adapun hasilnya, sama-sama dibagi menjadi dua, yaitu sebagian untuk pemilik, dan sebagian lainnya untuk pengelola. Muzara’ah dan mukhabarah memiliki konsep yang sama, hanya beda jenis tempat menanamnya. Muzara’ah memiliki jenis tanah berupa lahan basah, sementara mukhabarah lebih tepatnya merupakan jenis tanah ladang atau tadah hujan.


Sampai di sini, harap para pembaca bisa mencermatinya. Sementara waktu, kita konsentrasi pada penerapan akad musaqah.

 

Sebagaimana definisi di atas, musaqah berfokus pada penyerahan obyek tanaman yang sudah siap rawat dan siap dikelola. Tanaman ini berupa jenis tanaman menahun, seperti digambarkan dalam definisi, yaitu berupa tanaman kurma dan anggur, dalam hal ini para ulama semua sepakat akan kebolehannya. Namun, ketika permasalahan ini dikembangkan, yakni apakah akad ini hanya berlaku untuk kedua jenis tanaman itu, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.


Pertama, Mazhab Hanafi

 

Kalangan Hanafiyah bersepakat bahwa akad musaqah boleh diterapkan untuk semua jenis tanaman, baik jenis tanaman buah atau bukan. Menurut kalangan ini, akad musaqah tetap sah berlaku untuk kedua jenis tanaman tersebut.


Tidak ada ketentuan harus berupa jenis tanaman khusus dan tanaman tertentu. Bahkan termasuk jenis tanaman yang tidak diambil berupa hasil buahnya semacam karet, atau getah kina. Atau jenis tanaman yang hanya dimanfaatkan kayunya saja, semisal pohon jati, mahoni, sengon, dan sejenisnya. Seluruhnya bisa masuk akad ini.


Yang menarik dari pendapat kalangan hanafiyah adalah, bahkan akad musaqah tidak harus berupa tanaman menahun. Jenis tanaman berumur pendek pun juga bisa dijadikan obyek akad musaqah, seperti mentimun, semangka, tomat dan sejenisnya.


Ketika ditanya, lantas bagaimana cara membedakan antara akad musaqah dan akad muzaraah jika akad ini juga berlaku untuk jenis tanaman berusia pendek?


Mereka menjawab sebagai berikut:

 

وَالرِّطَابُ كَالْقِثَّاءِ وَالْبِطِّيخِ وَالرُّمَّانِ وَالْعِنَبِ وَالسَّفَرْجَل وَالْبَاذِنْجَانِ (1) فَإِنْ سَاقَى عَلَيْهَا قَبْل الْجُذَاذِ، كَانَ الْمَقْصُودُ الرَّطْبَةَ فَيَقَعُ الْعَقْدُ عَلَى أَوَّل جَزَّةٍ، وَإِنْ سَاقَى بَعْدَ انْتِهَاءِ جُذَاذِهَا كَانَ الْمَقْصُودُ هُوَ الْبَذْرَ، فَيَصِحُّ الْعَقْدُ بِاعْتِبَارِ قَصْدِ الْبَذْرِ، كَمَا يَقْصِدُ الثَّمَرَ مِنَ الشَّجَرِ، وَهَذَا إِنَّمَا يَتَحَقَّقُ إِذَا كَانَ الْبَذْرُ مِمَّا يُرْغَبُ فِيهِ وَحْدَهُ


Artinya, “Ruthab (kurma hijau) diserupakan untuk mentimun, semangka, anggur, buah pir, terong. Jika akad musaqah pada jenis-jenis tanaman tersebut sebelum siap dipetik, maka yang dituju dengan akad tersebut adalah menyerupai akad musaqah anggur hijau (bagi hasilnya dibagi menjadi dua, sebagian untuk pemilik dan sebagian untuk pengelola, ditambah hak pengelola atas kepemilikan pohon). Dengan demikian, akad (bagi hasilnya) juga disesuaikan menurut awal kali tanaman tersebut diserahkan. Namun, bila tanaman tersebut diserahkan setelah siap dipetik, maka yang dituju dari akad tersebut adalah benih semata. Dengan kata lain, sahnya akad adalah bergantung pada pertimbangan maksud dari penyebar benih, sebagaimana maksud dari pemilik pohon yang sudah berbuah atas penyerahan pohon tersebut kepada pengelola (pengelola tidak memiliki hak atas pohon). Hal ini tampak jelas pada praktik akad musaqah dengan jenis tanaman yang hanya khusus disukai buahnya,” (Al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, 23771).


Menurut kalangan Hanafiyah, cara membedakan antara akad musaqah dan muzara’ah dengan obyek tanaman berupa jenis tanaman usia pendek, adalah dengan melihat sisi penyerahannya. Jika diserahkan sebelum siap panen, maka akadnya adalah musaqah. Jika tanaman diserahkan setelah siap panen, maka akadnya adalah muzara’ah dengan cara bagi hasil berupa hasil buahnya saja.


Kedua, Menurut Malikiyah

 

Menurut kalangan Malikiyah, dilihat dari pohonnya, maka pohon yang bisa dijadikan obyek akad musaqah ada dua dua.

 

Pertama, adalah jenis pohon yang memiliki pokok batang yang bersifat tetap. Dalam hal ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam akad musaqah. Pertama, jenis tanaman yang diperkenankan hanya jenis tanaman buah-buahan dan bisa berbuah setiap tahunnya, dan tanaman tersebut sudah siap berbuah.


Untuk itu, menurut Malikiyah, akad musaqah tidak sah dilakukan pada tanaman yang masih belum siap buah, meski pun dari jenis tanaman buah-buahan.


مِنْ شُرُوطِ الْمُسَاقَاةِ: أَنَّهَا لاَ تَصِحُّ إِلاَّ فِي أَصْلٍ يُثْمِرُ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُ مِنْ ذَوَاتِ الأَْزْهَارِ وَالأَْوْرَاقِ الْمُنْتَفَعِ بِهَا كَالْوَرْدِ وَالْيَاسَمِينِ


Artinya, “Sebagian dari syarat musaqah adalah sungguh akad ini tidak sah kecuali berlaku atas tanaman yang sudah berbuah atau yang semakna dengan buah, misalnya bunga, atau daun yang manfaatnya memang dikhususkan untuk daun dan bunga tersebut. Misalnya bunga mawar dan melati,” (Al-Mausu’atul Fiqhiyyah, 23771-23772).


Kedua, sebagaimana harus berupa tanaman buah-buahan atau yang semakna dengan buah, tidak sah pula akad musaqah ini berlaku atas tanaman buah yang sekali petik langsung habis, salah satunya buah pisang.


Bila pohon pertama pisang sudah dipetik, biasanya akan tumbuh tunas baru di sampingnya sehingga membuat pengelola harus bekerja ekstra kembali untuk membuahkannya.


Kedua, jenis tanaman yang tidak memiliki pokok yang bersifat tetap. Yang masuk jenis tanaman kategori ini adalah tanaman timun-timunan dan tanaman umur pendek. Menurut kalangan Malikiyah, akad ini sah berlaku atas jenis tanaman tersebut dengan catatan:


1. Akad dilakukan setelah tanaman tersebut ditanam.


2. Akad dilaksanakan sebelum tanaman tersebut masak di pohon.


3. Pemilik tanah dan tanaman bisa turut serta menentukan cara pengelolaan tanaman tersebut.


4. Jenis tanaman bukan termasuk jenis yang sekali petik langsung habis. Buah muncul dari pohon yang baru dan bukan pohon yang pertama kali dirawat.


5. Jenis tanaman mudah mati jika tidak dikelola dengan benar.

 

[]

 


Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar