Rabu, 02 Desember 2020

(Ngaji of the Day) Siapa yang Menyusun Urutan Surat-surat dalam Al-Qur’an?

Urutan surat dalam Al-Qur’an yang kita jumpai sekarang telah melewati proses penertiban yang tidak mudah. Dapat dimaklum bahwa Al-Qur’an adalah sumber nomor wahid bagi umat Islam dalam pengambilan hukum-hukum, dan lebih dari itu, ia adalah pedoman hidup kita semua.

 

Terkait pembahasan tentang penertiban surat-surat ini, kita akan menemukan istilah tawqifi dan ijtihadi. Tawqifi berarti berdasarkan tuntunan dari Nabi langsung, adapun ijtihadi berarti berdasarkan ijtihad dan usaha para sahabat Nabi dalam menentukan urutan-urutan ini.

 

Ada tiga pendapat mengenai penertiban surat-surat dalam Al-Qur’an. Pertama, berpendapat bahwa urutan surat-surat dalam Al-Qur’an semuanya bersifat ijtihadi. Kedua, semuanya bersifat tawqifi. Ketiga, sebagian tawqifi, sebagian ijtihadi. Kita akan membahas satu persatu pendapat tadi, serta dalil dan sanggahannya.

 

Semuanya Ijtihadi

 

Pertama, urutan surat-surat dalam Al-Qur’an bersifat ijtihadi dari para sahabat Nabi. Pendapat ini dinisbatkan kepada jumhur ulama (mayoritas ulama), di antaranya Imam Malik dan al-Qadhi Abu Bakar. Ibnu Faris mengatakan, terdapat dua proses dalam  penghimpunan Al-Qur’an. Pertama, urutan surat Al-Qur’an, ini diserahkan pada sahabat, Kedua, penghimpunan ayat dalam surat Al-Qur’an, ini ditentukan oleh Nabi langsung.

 

Ada dua alasan yang mendasari pendapat yang pertama ini. Pertama, mushaf yang dimiliki para Sahabat berbeda-beda urutannya sebelum masa kekhalifahan Utsman radliyallahu ‘anh, meskipun mereka mengurutkan surat-surat di dalamnya berdasarkan apa yang mereka dapatkan dari Nabi. 

 

Beberapa mushaf yang berbeda itu di antaranya milik Ubay bin Ka’ab, yang mana didahului dengan surat al-Fatihah, kemudian al-Baqarah, kemudian an-Nisa`, kemudian Ali Imran, kemudian al-An’âm. Mushaf Ibnu Mas’ud yang diawali dengan surat al-baqarah, kemudian an-Nisa`, kemudian Ali Imran, dan seterusnya. Mushaf Ali yang urutannya sesuai dengan surat yang turun pada Nabi , yaitu diawali dengan Iqra`, kemudian al-Mudattsir, kemudian Qâf, kemudian al-Muzammil, kemudian al-Lahhab, kemudian at-Takwir, dan seterusnya.

 

Dalil kedua, yaitu riwayat dari Ibnu Asytah dari jalur Ismail bin ‘Abbas, dari Hibban bin Yahya, dari Abu Muhammad al-Qurasyi:

 

أَمَرَهُمْ عُثْمَانُ أَنْ يُتَابِعُوا الطِّوَالَ فَجَعَلَ سُوْرَةَ الْأَنْفَالِ وَسُوْرَةَ التَّوْبَةِ فِي السَّبْعِ وَلَمْ يُفَصَّلْ بَيْنَهُمَا بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

 

“Utsman memerintahkan para sahabat untuk mengikuti surat Sab’u at-Thiwal (tujuh surat yang panjang), kemudian Utsman menjadikan surat al-Anfal dan at-Taubah pada urutan ketujuh dengan tanpa memisahkan keduanya dengan basmalah. Kemudian al-Qurasyi berkata:

 

قلت لعثمان ما حملكم على أن عمدتم إلى الأنفال وهي من المثاني وإلى براءة وهي من المئين فقرنتم بينهما ولم تكتبوا بينهما سطر {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} ووضعتموها في السبع الطوال؟

 

“Aku mengatakan pada Utsman, apa yang membawamu untuk menyatukan surat al-Anfal yang mana ia tergolong surat al-Matsâni dengan surat al-Barâ`ah (at-Taubah) sedangkan ia dari golongan surat al-Mi`un, kemudian engkau meletakan keduanya dalam Sab’u ath-Thiwal.” 

 

Kemudian Utsman menjawab: “Pernah turun beberapa surat Al-Qur’an kepada Rasulullah, dan Beliau, apabila turun ayat kepadanya, memanggil sebagian sahabat yang menulis Al-Qur’an dan mengatakan, “Letakanlah ayat-ayat ini dalam surah yang disebutkan di dalamnya ayat ini dan itu.” 

 

“Dan surat al-Anfal termasuk dari surat-surat awal yang turun di Madinah, adapun at-Taubah termasuk yang terakhir turunnya. Kisah yang terdapat dalam surat al-Anfal mirip dengan yang ada di at-Taubah, maka aku mengira surat al-Anfal bagian dari at-Taubah. Hingga Rasulullah wafat, dan belum menerangkan pada kami hal tadi, karena itulah aku gabung keduanya, dan tidak aku tuliskan Basmalah di antara keduanya, serta aku letakan keduanya dalam Sab’u ath-Thiwal.”

 

Terdapat beberapa sanggahan terhadap pada pendapat ini. Di antaranya adalah, bahwa perbedaan yang terdapat dalam mushaf para sahabat, itu terjadi sebelum mereka mengetahui bahwa surat-surat dalam Al-Qur’an urutannya secara tawqif.

 

Semuanya Tauqifi

 

Kedua, urutan surat-surat dalam Al-Qur’an semuanya tawqifi dari Rasulullah sebagaimana urutan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalil yang dipegang oleh ulama yang berpendapat demikian, yaitu para sahabat bersepakat atas mushaf pada masa Utsman, di mana ketika itu semua mushaf yang berbeda sudah dilenyapkan agar tak terjadi fitnah di kalangan Muslim.

 

Selain itu, mereka juga memiliki riwayat yang menguatkan pendapat mereka. Di antaranya: 

 

فقال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: "طرأ علي حزب من القرآن فأردت ألا أخرج حتى أقضيه" فسألنا أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قلنا: كيف تحزبون القرآن؟ قالوا: نحزبه ثلاث سور وخمس سور وسبع سور وتسع سور وإحدى عشرة سورة وثلاث عشرة وحزب المفصل من ق حتى نختم

 

Rasulullah bersabda pada kami, “Telah turun kepadaku hizb (bagian) Al-Qur’an, sehingga aku tidak ingin keluar sampai selesai.” (Aus bin Hudzaifah) berkata, “Kami bertanya kepada para sahabat Rasulullah , ‘Bagaimana kalian membagi pengelompokan Al-Qur’an?’ Mereka menjawab, ‘Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan hizb Al-Mufashshal yaitu dari surat Qaf sampai akhir’.” (HR Ahmad)

 

Riwayat ini menunjukan bahwa penertiban surat-surat dalam Al-Qur’an telah ada pada zaman Rasulullah . Namun kendati demikian, pendapat ini pun memiliki beberapa sanggahan. Di antaranya, bahwa riwayat yang mereka gunakan terkait urutan surat tidak terjadi pada semua surat, namun hanya sebagiannya saja. Maka tak dapat disimpulkan juga bahwa urutan surat-surat dalam Al-Qur’an semuanya tawqifi.

 

Sebagian Ijtihadi Sebagian Tauqifi

 

Ketiga, urutan surat-surat dalam Al-Qur’an sebagian tawqifi, sebagian ijtihadi. Sebagaimana yang dituturkan al-Qadhi Abu Muhammad bin ‘Athiyyah, “Sesungguhnya kebanyakan surat-surat dalam Al-Qur’an sudah diketahui urutannya pada masa Nabi, seperti surat Sab’u ath-Thiwal, dan al-Mufasshal. Adapun selainnya, urutannya kemungkinan diserahkan kepada generasi selanjutnya.”

 

Pengarang kitab Manahil al-‘Irfan, az-Zarqâni berpendapat bahwa pendapat ketiga ini lebih utama, karena ia melihat kedua pendapat awal, yakni dalil yang mereka gunakan berindikasi sebagiannya ijtihadi, sebagiannya tawqifi. Hanya saja di sini terjadi perbedaan pendapat mengenai mana saja surat-surat yang tawqifi, dan mana saja yang ijtihadi. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar