Rabu, 02 Desember 2020

Azyumardi: Masyarakat Sipil dan Demokrasi

Masyarakat Sipil dan Demokrasi

Oleh: Azyumardi Azra

 

Masyarakat sipil (MS) dalam sedikitnya dua dasawarsa terakhir, secara global mengalami kemunduran. Penilaian ini disampaikan banyak lembaga pemantau dan penguat demokrasi, baik di tingkat internasional maupun regional dan nasional.

 

Dampak kemunduran MS itu, terlihat dalam berbagai aspek kehidupan khususnya demokrasi, dinamika politik umumnya. Kemunduran MS juga terlihat dalam advokasi sosial, budaya, ekonomi, dan agama yang selama ini menjadi medan kiprahnya.

 

Kemunduran MS berkelindan dengan kemerosotan demokrasi. Sudah banyak perbincangan berbagai forum di tingkat nasional dan internasional tentang kemunduran demokrasi sejak awal milenium 21 khususnya.

 

Dalam kajian dan perbincangan itu terungkap berbagai faktor kemunduran demokrasi sekaligus MS. Sepanjang pertengahan November 2020, pembicaraan di kalangan publik Indonesia bukan hanya terbatas pada kemunduran demokrasi.

 

Media sosial di Tanah Air secara luas mengedarkan karya best seller Steven Levitsky & Daniel Ziblatt berjudul How Democracies Die (2018). Mereka juga mengedarkan terjemahan bahasa Indonesia.

 

Levitsky dan Ziblatt berhujah, demokrasi bisa merosot atau bahkan menjurus pada kematian karena beberapa alasan, misalnya, jika toleransi politik memudar dengan adanya pihak yang menolak hasil pemilu bersih dan jujur.

 

Jika legitimasi politik oposisi—termasuk masyarakat sipil—diabaikan, dan ketika pihak eksekutif, legislatif,  dan yudikatif bersekongkol mengabaikan lembaga birokrasi negara dan pihak oposisi berupa kekuatan politik atau kekuatan sosial kemasyarakatan, termasuk MS.

 

Selain itu, demokrasi bisa mati jika ada agenda politik terbuka atau tersembunyi menumpuk kekuasaan di tangan eksekutif melalui ‘permainan konstitusional’ tertentu.

 

Demokrasi juga bisa menuju kematian jika kepincangan ekonomi di antara golongan masyarakat terus berlanjut, bahkan memburuk karena kebijakan pemerintah yang tidak adil. Terakhir, demokrasi bisa makin mundur dan menuju kematian ketika segrasi politik berdasarkan agama, ras, dan daerah tercipta serta meluas.

 

Semua gejala kemerosotan yang bisa menyebabkan kematian demokrasi kian tak memberikan tempat pada MS. Dalam hal ini, MS mengalami marginalisasi dan periferalisasi atau makin dipinggirkan.

 

Dalam kenyataannya, bukan hanya MS bahkan publik dan warga umumnya, cenderung semakin diabaikan mereka yang memegang kekuasaan puncak (the ruling power).

 

Padahal, MS merupakan bagian sangat penting dalam adopsi, pengembangan, dan konsolidasi demokrasi secara berkelanjutan. Para ahli hampir sepenuhnya sepakat, MS adalah salah satu pilar utama bagi tegaknya demokrasi.

 

Peranan MS dalam adopsi dan konsolidasi demokrasi, terlihat jelas dalam pengalaman Indonesia ketika transisi dari otoritarianisme Orde Baru sejak 1998.

 

Liberalisasi politik dan transisi Indonesia menuju demokrasi pada masa ini, berlangsung relatif lancar dan aman berkat MS Indonesia yang aktif dan dinamis. Hasilnya, sejak masa itu demokrasi menjadi ‘satu-satunya permainan di tempat kita’ di Tanah Air Indonesia.

 

Keadaan ini berbeda dengan banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika. Dalam banyak kasus, seperti paling jelas terlihat dalam kebangkitan gelombang demokrasi melalui ‘Arab Spring’ sejak akhir 2010.

 

Meski bergelombang besar, demokrasi gagal mendapat tempatnya di Dunia Arab. Alasan kegagalan itu sederhana. Di banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim itu, tak banyak MS yang sangat diperlukan agar demokrasi bisa tumbuh dan terkonsolidasi.

 

Boleh jadi, di dalam masyarakat ada benih-benih MS yang sayang tidak bisa tumbuh karena terus disiangi dan dipotong rezim penguasa otoritarian.

 

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan MS atau ‘civil society’? Secara terminologi, MS dalam peristilahan internasional biasa disebut civil society (CS). Dalam wacana publik Indonesia, ‘civil society’ selain diterjemahkan sebagai MS, juga disebut ‘masyarakat madani’ atau ‘masyarakat kewargaan’.

 

Meski dalam bahasa Inggris hanya adalah istilah tunggal ‘civil society’, terjemahan dalam bahasa Indonesia tadi mengandung konotasi masing-masing.

 

‘Masyarakat sipil’ berkonotasi ‘kumpulan warga berkeadaban’, sedangkan ‘masyarakat madani’ mengandung makna ‘kumpulan warga yang bertamaddun’, dan ‘masyarakat kewargaan’ adalah ‘kumpulan warga, bukan elite politik atau penguasa’.

 

Meski konotasinya bisa sedikit berbeda-beda, peran civil society tetap penting. Eksistensinya sangat dibutuhkan agar demokrasi tetap terkonsolidasi. []

 

REPUBLIKA, 26 November 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar