Rabu, 02 Desember 2020

(Hikmah of the Day) Ketika Nabi Musa Menampar Malaikat Maut

Di antara watak yang dimiliki Nabi Musa ‘alaihissalam adalah memperlakukan orang lain secara spontan sesuai dengan kepribadiannya. Tak mengherankan ketika malaikat maut datang kepadanya dalam wujud seorang pria yang akan mencabut nyawanya, Nabi Musa ‘alaihissalam langsung menampar muka sang malaikat hingga bola matanya pecah. Kemudian, Allah pun memberikan dua pilihan kepadanya: apakah akan beralih ke hadirat-Nya atau tetap berada di dunia beberapa lama lagi hingga malaikat maut kembali datang menjemput nyawanya. Namun, Nabi ‘alaihissalam memilih untuk segera bersanding di sisi Tuhannya dan meninggalkan kepenatan dan hiruk-pikuk kehidupan dunia. Maka Allah mengabulkan doanya untuk didekatkan dengan Tanah Suci (Baitul Maqdis) sejauh lemparan batu. Konon, kuburannya pun berada di sana.

 

Selengkapnya, kisah itu dapat disimak dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

 

جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ. فَقَالَ لَهُ: أَجِبْ رَبَّكَ قَالَ فَلَطَمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَفَقَأَهَا، قَالَ فَرَجَعَ الْمَلَكُ إِلَى اللهِ تَعَالَى فَقَالَ: إِنَّكَ أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَكَ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ، وَقَدْ فَقَأَ عَيْنِي، قَالَ فَرَدَّ اللهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى عَبْدِي فَقُلْ: الْحَيَاةَ تُرِيدُ؟ فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْحَيَاةَ فَضَعْ يَدَكَ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ، فَمَا تَوَارَتْ يَدُكَ مِنْ شَعْرَةٍ، فَإِنَّكَ تَعِيشُ بِهَا سَنَةً، قَالَ: ثُمَّ مَهْ؟ قَالَ: ثُمَّ تَمُوتُ، قَالَ: فَالْآنَ مِنْ قَرِيبٍ، رَبِّ أَمِتْنِي مِنَ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ، رَمْيَةً بِحَجَرٍ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَاللهِ لَوْ أَنِّي عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ، عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ

 

Artinya: Malaikat maut datang kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dan berkata, “Penuhilah panggilan Tuhanmu!” Namun spontan Musa menampar mata malaikat hingga bola matanya terpecah. Akhirnya, malaikat maut kembali kepada Allah dan menyampaikan, “Sesungguhnya Engkau telah mengutusku menemui hamba yang tidak menginginkan kematian. Akibatnya, mataku terpecah.” Kemudian, Allah segera mengembalikan penglihatannya dan berfirman, “Kembalilah kepada hamba-Ku dan sampaikan padanya, apakah engkau terus menginginkan kehidupan? Jika engkau masih menginginkannya, letakkanlah tanganmu pada punggung sapi jantan. Satu bulu yang tertutupi tanganmu, maka engkau akan hidup satu tahun.” Musa bertanya, “Lalu apa setelah itu?” Allah menjawab, “Tetaplah engkau akan meninggal.” Musa berkata lagi, “Wahai Tuhanku, sekarang kupilih kematian itu dalam waktu dekat.” Kemudian Nabi Musa menyampaikan keinginannya, “Matikanlah aku dekat Tanah Suci (Baitul Maqdis) sedekat lemparan batu.” Terakhir, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menambahkan, “Demi Allah, andai aku berada di sisinya, niscaya akan aku perlihatkan kepada kalian kuburannya berada di pinggir jalan, tepatnya pada gundukan pasir.”

 

Dalam hadits di atas disampaikan bahwa Allah mengutus malaikat maut kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dalam wujud seorang pria. Dia meminta Nabi untuk memenuhi panggilan-Nya. Melalui malaikat, Allah juga menyampaikan bahwa ajalnya sudah dekat dan saat kematiannya akan segera tiba. Namun, sebagai sosok yang tegas, tidaklah mengerankan jika begitu didatangi malaikat, Nabi Musa ‘alaihissalam langsung menampar wajah malaikat tersebut hingga matanya terpecah. Maksudnya mata di sini adalah mata malaikat yang kala itu datang dalam wujud seorang pria. Sebab, jika bukan dalam wujud manusia, pasti Nabi ‘alaihissalam tidak akan bisa menamparnya.

 

Akhirnya, malaikat maut kembali kepada Allah dan mengadukan tamparan Nabi Musa ‘alaihissalam yang dialaminya. Maka, Allah segera mengembalikan penglihatannya dan memerintah untuk kembali menemui Nabi Musa ‘alaihissalam guna meminta meletakkan tangannya di atas punggung sapi jantan. Kemudian, ia menghitung bulu-bulu sapi yang tertutup tangannya. Setiap bulu yang tertutup dihitungnya sebagai tambahan usia satu tahun. Walhasil, tambahan usianya sebanyak bulu sapi yang tertutup tersebut. Namun, Nabi ‘alaihissalam tidak mengambil tambahan usia itu. Andai ia melakukannya, niscaya ia masih hidup hingga sekarang ini.

 

Namun, begitu dikabarkan bahwa setelah tambahan usianya itu tetaplah kematian, Nabi Musa ‘alaihissalam memilih kematian dalam waktu dekat. Sebab, tidaklah para nabi, rasul, dan orang-orang saleh berada di sisi Allah kecuali lebih baik dan lebih kekal.

 

Jika arwah para syuhada diserupakan dengan burung-burung yang terbang di taman surga, memakan buah-buahnya dan meminum air sungai yang ada di dalamnya, berlindung di bawah lampu-lampu yang bergantung di bawah langit ‘Arasy al-Rahmân, maka kehidupan para nabi dan rasul di sana tentu lebih dari itu. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana keeadaan Musa ‘alaihissalam jika masih hidup hingga hari ini? Ia akan terus mendapat ujian dan beban hidup. Artinya, keberadaannya di dunia sebagai negeri ujuan dan kehancuran tidak akan lebih baik ketimbang keberadaaannya di surga dan rahmat Allah bersama para nabi dan rasul yang lain.

 

Namun, sebelum kematian, Nabi Musa ‘alaihissalam memohon kepada Allah agar nyawanya dicabut dekat Tanah Suci (Baitul Maqdis) hingga sedekat lemparan batu.

 

Permohonan itu menunjukkan betapa cintanya Sang Nabi kepada Tanah Suci. Bahkan, dikubur pun ingin di dekatnya. Tetapi, Nabi ‘alaihissalam tidak meminta Allah agar mencabut nyawanya tepat di dalam tanah suci itu, sebab dirinya tahu bahwa Allah mengharamkan tanah tersebut pada generasi yang dijatuhi balasan atas ketidaktaatan mereka kepada Allah saat diperintah untuk memasukinya. Malahan mereka berkata, Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja, (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 24). Akibatnya, Allah menetapkan, mereka tersesat di padang Sinai selama empat puluh tahun.

 

Allah pun mengabulkan permohonan Nabi Musa ‘alaihissalam. Rasulullah shalallahu ‘alaihis wasallam mengabarkan bahwa kuburannya berada di Tanah Suci Baitul Maqdis, tepat di serambinya yang ada pada gundukan pasir. Ditambahkan dalam riwayat itu, andai berada di sana, beliau pasti telah memperlihatkannya kepada para sahabat.

 

Pesan dan pelajaran penting dari kisah di atas adalah:

 

  1. Hadits di atas menunjukkan kepada kita bahwa sebelum dicabut nyawa, para nabi selalu diberikan pilihan: apakah memilih tambahan hidup, ataukah memilih segera berpulang ke rahmat Allah, sebagaimana halnya Nabi Musa ‘alaihissalam. Bahkan, berkenaan dengan hal ini, ‘Aisyah pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berucap saat sakit terakhirnya, “Ya Allah, kupilih al-Rafîq al-Alâ (surga).” Dari ucapan itu, ‘Aisyah tahu bahwa al-Rafîq al-‘Alâ itu lebih baik, makanya beliau memilih itu.

 

  1. Para malaikat mampu menunjukkan diri dalam wujud manusia. Tak terkecuali saat menemui Nabi Musa ‘alaihissalam.

 

  1. Kematian itu sesuatu yang pasti dan tak bisa ditolak. Andai di antara kita ada yang selamat darinya, tentu para nabi dan rasul juga sudah selamat.

 

  1. Tingginya kedudukan Nabi Musa ‘alaihissalam sampai-sampai mampu menampar malaikat maut hingga bola matanya terpecah. Andai bukan karena kedudukan Nabi Musa ‘alaihissalam di sisi Allah, niscaya malaikat maut akan melakukan pembalasan berat kepadanya.

 

  1. Kuburan Nabi Musa ‘alaihissalam berada di Tanah Suci Baitul Maqdis. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri telah memberi tahu keberadaan kuburannya. Bahkan, beliau menyebutkan beberapa tanda keberadaan tersebut, yaitu di samping jalan, tepat pada gundukan pasir.

 

  1. Nabi Musa ‘alaihissalam menginginkan kuburannya berada dekat dengan tanah yang penuh berkah. Karena itu, tidak ada salahnya jika ada seseorang yang juga ingin meninggal di tanah yang penuh berkah itu.

 

  1. Tanah Suci dimaksud memiliki batasan-batasan yang telah diketahui. Nabi Musa ‘alaihissalam pun meminta kepada Allah untuk mendekatkan dirinya pada tanah itu sedekat lemparan batu. Tetapi demikian, jenazahnya dikuburkan di luar tanah tersebut. (Lihat: Umar Sulaiman al-Asyqar, Shahih al-Qashash al-Nabawi, [Oman: Darun Nafais], 1997, Cetakan Pertama, hal. 97).

 

Wallahu a’lam.

 

[]

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar