Orang-Orang Baik dalam Hidup Ini
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Saya belum tentu orang baik, tetapi cukup banyak orang baik dari berbagai lapisan, golongan, dan agama yang memperkaya kepekaan kerohanian saya. Saya tak akan menyebut nama mereka, kecuali yang terbaru saja dialami yang menyebabkan mata saya berkaca-kaca dalam keharuan.
Pada sekitar pukul 11.00 WIB, 22 November 2020, Prof DR Dr Nyoman Kertia, S.PD.-K.R dari Fakultas Kedokteran UGM, diantar Ketua RW 016 Perum Nogotirto, Yogyakarta, mendatangi kediaman saya dengan menyetir sendiri.
Apa yang terjadi? Karena masih takut dengan kedatangan tamu dalam suasana Covid-19 ini, saya hanya menerimanya dari jendela, sesuatu yang sebenarnya tidak patut. Tetapi, Prof Nyoman sangat paham dalam membaca kekhawatiran saya itu.
Ketua RW lalu membantu Prof Nyoman meletakkan sebuah bungkusan di teras rumah. Setelah dibuka istri saya, ternyata isinya macam-macam: obat-obat herbal, buah, masker, dan lain-lain.
Karena belum punya nomor WA Prof Nyoman, saya mohon Dr Ariffuddin, Sp.OT dari RS PKU Gamping, Yogyakarta, membantu untuk mencarikannya. Hanya dalam tempo 33 menit, alamat WA itu telah saya terima.
Dengan alamat ini, saya segera mengontak Prof Nyoman. Maka terjadilah pembicaraan mengharukan batin saya (ditulis lengkap sesuai kaidah ejaan baru bahasa Indonesia).
Saya: “Profesor, saya wajib mohon maaf karena saat profesor ke rumah tidak dipersilakan masuk. Maklumlah seorang berusia 85 tahun terasa rentan hadapi Covid-19. Matur nuwun sanget, Prof Nyoman terlalu baik kepada saya, herbal dan buah diantar sendiri. Saya tidak bisa membalas budi mulia profesor.” Kiriman WA saya, pukul 13.30.
Tak lama kemudian, pukul 15.38, Profesor Nyoman membalas: “Assalamu'alaikum ww. Semoga Buya dan Ibu selalu sehat serta dalam rahmat dan hidayah-Nya. Saya tiga malam lalu mimpi, Buya mendatangi saya. Dahi Buya berkerut meskipun Buya tampak sangat tenang. Buya berkata perlahan dengan wajah agak sedih pada saya: ‘Saya sudah tua Pak Nyoman. Lalu Buya menghilang’. Saya merasa sangat terharu, saat bangun saya mencucurkan air mata. Pada umur Buya yang begitu uzur, masih begitu banyak tugas berat yang harus Buya jalani. Itulah sebabnya tadi (mumpung hari Minggu), saya menyiapkan obat herbal antirematik yang saya ambil dari pabrik obat saya, vitamin peningkat imun dari apotek saya, masker KN-95, dan lain-lain. Lalu saya tanyakan di mana ndhalem Buya, syukur tadi langsung diantar Pak RW. Buya adalah panutan saya, saya merasakan sebagai pengganti ayah saya yang sudah berpulang. Semoga berkenan menerima sekadar buah tangan wujud bakti saya pada Buya. Semoga Buya dan Ibu selalu sehat. Matur sembah nuwun.”
Pukul 16.07, saya balas: “Saya belum tentu orang baik, tapi saya merasakan Profesor Nyoman berhati halus. Nuwun sanget."
Pada 16.56, Profesor Nyoman membalas lagi yang menyebabkan saya tersanjung terlalu tinggi, “Saya merasakan, Buya adalah orang yang telah mampu mengatasi dirinya, sebab sepemahaman saya, ketika orang telah mampu mengatasi dirinya maka tidak akan ada lagi yang mampu mengatasinya kecuali Tuhan itu sendiri. Semoga Allah SWT selalu memberkati Buya.”
Saya katakan terlalu tinggi, karena saya jauh dari posisi yang dibayangkan itu. Sepanjang ingatan saya, baru sekali bertemu Profesor Nyoman di pesawat Garuda Yogyakarta-Jakarta tahun lalu.
Saya bersyukur karena sahabat Hindu Bali ini selalu ingat saya sampai-sampai jadi buah mimpi yang mengesankan itu. Profesor Nyoman bukan orang sembarangan. Di UGM dia punya nama dan posisi terhormat.
Hasil penelitiannya di bidang obat-obat herbal, dipatenkan dan dikenal secara nasional. Sebagai profesor, sahabat kita ini tak jarang diminta menguji calon doktor, seperti di Fakultas Kedokteran UI dan Universitas Udayana, Bali.
Mengapa artikel seperti ini harus saya tulis? Sebagai seorang yang sudah lanjut usia, kedatangan Profesor Nyoman ke rumah dengan segala buah tangannya, bagi saya punya makna sangat dalam.
Semakin pahamlah saya, perbedaan dalam keyakinan tak boleh jadi sekat dalam mempererat persaudaraan sejati antarmanusia karena kemanusiaan itu tunggal adanya. Rumusan saya yang sudah dikenal luas tentang persaudaraan adalah: “Bersaudara dalam perbedaan, berbeda dalam persaudaraan.”
Rumusan ini saya bawa ke mana-mana. Buahnya sangat luar biasa: terciptanya persahabatan lintas batas dengan radius luas sekali, sekalipun kadang disalahpahami teman seiman.
Rupanya, Profesor Nyoman punya getaran batin yang sama dengan saya sehingga dia datang ke rumah, dengan menyopiri sendiri setelah bermimpi tentang saya yang sudah tua renta. Seperti tersebut di atas, dalam hidup ini banyak orang baik yang saya jumpai.
Kebaikan mereka belum tentu bisa saya imbangi. Semua itu, pasti punya tempat tersendiri dalam kamus hidup saya yang takkan pernah terlupakan. Selamat berkarya tanpa henti, Profesor Nyoman Kertia.
Obat herbal untuk sendi telah mulai saya gunakan. Matur nuwun sanget! []
REPUBLIKA, 24 November 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar