Kamis, 01 Oktober 2020

Jusuf Kalla: Pilihan Menyelamatkan Rakyat

Pilihan Menyelamatkan Rakyat

Oleh: M Jusuf Kalla

 

Saya ingin memulai artikel ini dengan sebuah pertanyaan asasi: mengapa kita harus menyelenggarakan pemilihan kepala daerah? Jawabannya sangat sederhana.

 

Kita ingin agar rakyat menentukan siapa yang menjadi pemimpin mereka dan pemimpin itulah yang membuat program dan kebijakan agar rakyat bisa hidup aman, sejahtera, adil, kesehatan terjaga, mengurangi risiko kematian, mengenyam pendidikan yang baik, dan sebagainya.

 

Namun, kalau dalam proses pemilihan pemimpin itu sudah jelas-jelas justru membuat rakyat bisa sakit, bahkan meninggal, buat apa kita mendesakkan keinginan menyelenggarakan pemilihan tersebut.

 

Dalam konteks inilah saya ingin bicara. Kita diperhadapkan dengan pilihan sangat pelik: mendahulukan kesehatan dan keselamatan jiwa atau pemilihan kepala daerah? Bila kita menggunakan pendekatan pilihan rasional, maka semua akan memilih kesehatan dan keselamatan jiwa. Angka orang yang tertular di dunia dan Indonesia kian hari kian naik.

 

Belum ada gelagat penyurutan. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman, anggota KPU Pramono Ubaid Thantowi, serta Ketua KPU Sulawesi Selatan Faisal Amir sudah dinyatakan positif. Mereka ini penanggung jawab penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

 

Pemilihan umum kepala daerah sudah ditunda dari bulan September tahun 2020 menjadi Desember 2020. Ada 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang bakal menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Menyaksikan masa pendaftaran beberapa waktu lalu, dengan mudah kita prediksi bahwa akan terjadi lonjakan (kluster) orang yang terinfeksi karena tidak disiplin menegakkan protokol kesehatan.

 

Ide pemilihan kepala daerah serentak berawal ketika saya masih memimpin Partai Golkar sekian tahun silam. Ada lebih 500 kabupaten/kota dan 34 provinsi di negeri kita. Jika masing-masing menyelenggarakan pemilihan di waktu yang berlainan, maka dalam satu minggu, kita pasti menyelenggarakan pemilihan kepala daerah sebanyak dua kali karena jumlah hari setahun hanya 365, lalu masa jabatan kepala daerah lima tahun.

 

Saya katakan, apakah kehidupan bangsa kita hanya berbicara tentang kepala daerah tiap hari? Kapan membangun dan berbuat sesuatu yang lain. Lalu, diputuskanlah bahwa pemilihan kepala daerah secara serentak dibagi dua. Yang kita akan selenggarakan dalam waktu dekat ini adalah salah satu dari bagian itu.

 

Tahapan krusial

 

Tahapan pemilihan yang paling penuh risiko adalah kampanye. Semua calon akan berpotensi melanggar protokol demi meraih suara sebanyak banyaknya. Kalau bukan calonnya yang menggunakan berbagai kiat untuk itu, maka para pendukung yang melakukannya. Setelah itu, hari pencoblosan di mana kerumunan tidak bisa dihindari sebab para pemilih harus berjejer antre menunggu giliran mencoblos.

 

Juga, aspek logistik: kertas suara, pulpen atau alat lain yang dipakai mencoblos, tinta penanda telah mencoblos, bilik suara, dan sebagainya, semua bisa menjadi media penularan Covid-19.

 

Tahapan berikutnya, perhitungan suara. Pasti para saksi resmi atau pendukung para calon akan berdesak-desakan menyaksikan tahapan ini karena ingin memastikan calon mereka tidak kalah atau dicurangi. Bisa jadi juga, karena ketakutan dengan Covid-19, para saksi dan pendukung tersebut tidak mau menyaksikan jalannya perhitungan suara.

 

Tetapi, setelah ada hasil yang keluar, pihak yang kalah ramai-ramai mengklaim dicurangi dan menganggap hasil pemilu di tempat pemungutan suara (TPS) itu harus diulangi. Ini yang saya khawatirkan sekali. Dalam tahap ini, aspek transparansi dan legitimasi pemilihan kepala daerah, jadi taruhan utama.

 

Sekarang, masalah Covid-19. Hingga kini belum ada vaksin dan obat untuk menanganinya. Yang bisa kita lakukan hanyalah menghindarinya dengan cara: membersihkan tangan sesering mungkin, menjaga jarak satu sama lain, dan memakai masker. Menjaga jarak inilah yang paling pelik dalam seluruh tahapan pemilihan yang kita punyai. Artinya, kemungkinan terjadinya penularan virus dalam proses tersebut sangat tinggi.

 

Masalahnya, kampanye adalah media para calon untuk mengemukakan gagasan, program, dan cara untuk mengimplementasikannya. Bila aturan kampanye super ketat sehingga tak bisa jadi sarana untuk itu semua, maka pemilu hanya seremonial demokrasi belaka.

 

Direktur Eksekutif Indobarometer M Qodari menyebutnya sebagai bom waktu. Masalahnya, pada Desember tahun ini, justru tingkat penyebaran Covid-19 kian menjadi dan meluas. Sekarang saja sudah ditemukan, di antara sekian banyaknya calon kepala daerah, sudah 60 orang yang dinyatakan positif terinfeksi Covid-19.

 

Pilih menunda pemilihan

 

Bagaimana dengan negara lain? Hingga kini ada 71 negara yang menunda pemilu (baik tingkat lokal maupun nasional untuk eksekutif atau legislatif). Semuanya karena masalah Covid-19.

 

Yang perlu juga mendapatkan perhatian adalah partisipasi rakyat di tengah pandemi ini. Kita bisa mengujinya dengan melihat apa yang terjadi. Pada tahun 1918 di Amerika Serikat, misalnya, terjadi influensa yang melanda seluruh negeri itu. Saat itu diselenggarakan pemilu, dan hanya 40 persen rakyat yang menggunakan hak pilihnya.

 

Selama pandemi Covid-19 ini, kita ambil contoh di Queensland, Australia, diselenggarakan pemilu pada tanggal 28 Maret 2020. Jumlah pemilih hanya 77,3 persen dari sebelumnya 83 persen. Di Australia, memilih itu sifatnya wajib dan bagi yang tidak melakukannya akan diberi sanksi denda. Orang Australia lebih memilih kena denda daripada terinfeksi Covid-19.

 

Pemilihan lokal di Perancis juga pada Maret 2020, jumlah pemilih hanya 44,7 persen dari 63 persen sebelumnya. Di awal penyebaran Covid-19, diselenggarakan pemilu di Iran, jumlah pemilih hanya 40 persen, terendah sejak Revolusi Iran pada tahun 1979.

 

Angka statistik ini jelas menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara penyakit yang merebak dan membahayakan, dan khususnya penyebaran Covid-19 sekarang, dengan persentase jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya.

 

Tujuan setiap pemilu, apa pun levelnya, adalah mengajak rakyat berpartisipasi dalam proses pemilihan pemimpin. Legitimasi pemimpin banyak ditentukan oleh jumlah rakyat yang memilihnya. Legitimasi ini berkaitan dengan wibawa untuk memimpin dan menjalankan program-program dari sang pemimpin.

 

Maka, jalan yang terbaik, demi kepentingan rakyat, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah seharusnya ditunda hingga tahun depan setelah vaksin ditemukan dan benar-benar efektif mencegah penyebaran Covid-19. Kita bisa menyelenggarakannya di bulan Juni 2021.

 

Memaksakan sesuatu yang jelas-jelas secara rasional membahayakan kehidupan rakyat bukan hanya nekat, tetapi fatal. Semua proses politik, tujuan mulianya adalah untuk kemaslahatan rakyat. Bukan memudaratkan rakyat.

 

Lagi pula, pada umumnya daerah yang menyelenggarakan pemilihan tersebut memiliki kepala daerah yang masa jabatannya baru habis pada tahun depan. Jadi, tidak perlu gelisah bahwa akan terjadi kekosongan pemerintahan terlampau lama. Toh, bisa mengangkat pelaksana tugas, dan selama ini mekanisme tersebut selalu berjalan baik.

 

Aspek legal penundaan

 

Dari aspek legalitas, menunda pemilihan kepala daerah lagi sangat sederhana. Pasal 120 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah jelas mengatakan bahwa dalam hal adanya, antara lain, bencana alam atau non-alam yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan atau pemilihan serentak tidak dapat dilakukan, maka dilakukan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan.

 

Untuk melaksanakan itu, Pasal 122A perppu tersebut mengatakan, atas persetujuan bersama antara KPU, pemerintah, dan DPR, pemilihan kepala daerah tersebut bisa dilakukan. Tidak perlu lagi merevisi undang-undang.

 

Khusus Covid-19, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional, sudah jelas bisa menjadi acuan penundaan pemilihan kepala daerah karena Covid-19 masuk kategori bencana nasional.

 

Kata orang bijak, apa pun yang kita semua lakukan, yang tertinggi nilainya adalah berbuat untuk keselamatan rakyat. Bukan sebaliknya. []

 

KOMPAS, 21 September 2020

M Jusuf Kalla | Wakil Presiden RI Periode 2004-2009 dan 2014-2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar