Selasa, 01 September 2020

(Ngaji of the Day) 3 Hal Dasar yang Dilakukan Rasulullah di Madinah

3 Hal Dasar yang Dilakukan Rasulullah di Madinah

 

Senin, 22 September 622 M menjadi hari yang bersejarah bagi umat Islam. Hari dimana Rasulullah tiba di Madinah dalam rangka hijrah, setelah menempuh perjalanan berpuluh hari dari Makkah. Bak kedatangan ‘sang juru selamat’, Masyarakat Madinah menyambut Rasulullah dengan penuh suka cita. Maklum, Madinah dihuni masyarakat yang beragam. Mulai dari beda suku, etnis, hingga agama. Sehingga mereka kerap kali berperang. Kedatangan Rasulullah di Madinah diharapkan bisa menjadi penengah atau pemersatu diantara mereka.

 

Betul saja, dalam beberapa sumber sejarah disebutkan bahwa Rasulullah berhasil membangun kota Yatsrib yang biasa-biasa saja menjadi kota Madinah yang berperadaban dan diperhitungkan di jazirah Arab. Selama beberapa waktu –sebelum suatu kelompok di Madinah menghianatinya, Rasulullah juga berhasil membangun masyarakat yang majemuk hidup dalam harmoni dan damai. 

 

Sebagaimana diuraikan dalam buku Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad saw., setidaknya ada tiga hal dasar yang dilakukan Rasulullah pada fase Madinah. Tiga hal dasar itu sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Madinah sehingga mereka hidup aman, tenteram, saling menghargai, dan dalam kesejahteraan. Pertama, menjadikan masjid sebagai pusat semua kegiatan (center of activities). Usai tiba di Madinah, Rasulullah membangun sebuah masjid, Masjid Nabi (Nabawi). Masjid ini memiliki bangunan yang sangat sederhana; atapnya dari daun pohon kurma, pilarnya dari batang pohon kurma, lantainya kerikil dan berpasir, dan bangunannya dari batu bata.

 

Akan tetapi, bangunan itu bukan sekedar bangunan biasa. Sebuah bangunan yang menjadi penanda kebangkitan peradaban Islam. Karena Rasulullah memfungsikan masjid ini untuk semua kegiatan. Mulai dari mengajarkan ajaran Islam, hikmah, proses belajar mengajar baca-tulis hingga menyusun strategi perang atau politik. Semua diadakan di Masjid Nabi, bukan hanya untuk shalat saja. Singkatnya, Rasulullah menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan dan pembinaan umat.

 

Kedua, membangun persaudaraan antar sesama Muslim (ukhuwah islamiyah). Pada fase Madinah, ada dua kelompok umat Islam yakni kaum Muhajirin (umat Islam Makkah yang hijrah ke Madinah) dan kaum Anshar (umat Islam yang asli penduduk Madinah). Rasulullah mempersaudarakan mereka satu persatu, satu Muhajirin dengan satu Anshar. Rasulullah juga selalu menegaskan bahwa sesama Muslim itu bersaudara. 

 

Tidak lain, ini dilakukan Rasulullah untuk memperkuat solidaritas dan kohesivitas sosial antar sesama umat Islam. Sehingga mereka tidak mudah bertikai dan berperang, sebagaimana watak Arab Jahiliyah. Bagi seorang Muslim, persaudaraan bukan saja didasarkan pada darah, tapi juga keimanan yang sama. 

 

Ketiga, membangun persaudaraan dengan umat agama lain (ukhuwan insaniyah). Rasulullah sadar betul bahwa Madinah memiliki masyarakat yang majemuk. Ada umat Islam, ada umat Nasrani, ada umat Yahudi, dan yang lainnya. Untuk membangun sebuah kota yang kuat dan damai, tidak ada jalan bagi Rasulullah kecuali ‘mempersatukan’ masyarakat yang berbeda itu. 

 

Akhirnya Rasulullah mencetuskan sebuah kesepakatan bersama, Piagam Madinah (Constitution of Medina). Piagam ini menjadi titik temu (kalimatun sawa’) bagi masyarakat Madinah yang beragam. Dengan Piagam Madinah, Rasulullah berhasil mempersatukan masyarakat Madinah yang selama itu tidak mungkin dipersatukan. Piagam Madinah menjadi konstitusi pertama dalam membangun masyarakat yang bhineka berdasarkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan bersama. 

 

Tiga pondasi dasar itulah yang dilakukan Rasulullah selama fase Madinah. Sehingga Madinah menjadi sebuah kota yang berperadaban dan diperhitungkan di jazirah Arab pada saat itu. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar