Timur dan
Barat di Era Globalisasi* – Bagian 2
Oleh: M. Quraish Shihab
Apa yang dikemukakan sebelum ini adalah sikap Islam terhadap penyembah berhala. Adapun
terhadap penganut agama-agama samawi, maka mari kita simak maksud firman-Nya
dalam QS. al-Hajj [22]: 40.
Sekiranya
Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian manusia yang
lain, tentulah telah dirobohkan oleh para penindas biara-biara Nasrani, dan
gereja-gereja, serta sinagog-sinagog, yakni tempat-tempat peribadatan orang
Yahudi dan masjid-masjid, yang merupakan tempat-tempat di dalamnya banyak
disebut nama Allah. Tetapi Allah tidak menghendaki roboh-robohnya tempat-tempat
peribadatan itu. Sambil bersumpah, Allah berfirman: Sesungguhnya Allah pasti
menolong orang yang menolong agama dan nilai-nilai-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa sehingga tidak ada yang dapat mengalahkan
dan menghalangi kehendak-Nya.
Ayat ini
mengisyaratkan bahwa dibenarkannya pembelaan terhadap penganiayaan yang
bermaksud, antara lain agar wujud tempat ibadah kaum Nasrani dan Yahudi tetap
bersinambung dan berdampingan keberadaannya di samping masjid-masjid tempat
ibadah kaum Muslim.
Allah
juga menegaskan bahwa: Sesungguhnya Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan
berlaku adil, bahkan memberi sebagian hartamu kepada siapa pun yang tidak
memerangi kamu menyangkut agama dan tidak juga mengusir kamu dari tumpah darah
kamu (QS. al-Mumtahanah [60]: 8).
Sungguh
tuntunan ini telah dipraktikkan dengan sangat baik oleh Nabi Muhammad saw.,
antara lain dapat disimak melalui janji beliau kepada kaum Nasrani di Najran.
Janji tersebut menyatakan:
Najran
dan kelompoknya serta semua penganut agama Nasrani di seluruh dunia berada
dalam perlindungan Allah dan pembelaan Muhammad Rasulullah menyangkut harta
benda, jiwa dan agama mereka, baik yang hadir (dalam pertemuan ini) maupun yang
gaib, termasuk juga keluarga mereka, tempat-tempat ibadah mereka, dan segala
sesuatu yang berada dalam wewenang mereka―sedikit atau banyak.
Saya
berjanji melindungi pihak mereka dan membela mereka, gereja dan tempat-tempat
ibadah mereka serta tempat-tempat pemukiman para rahib dan pendeta-pendeta
mereka, demikian juga tempat-tempat suci yang mereka kunjungi. Saya juga
berjanji memelihara agama mereka dan cara hidup mereka, di mana pun mereka
berada, sebagaimana pembelaaan saya kepada diri dan keluarga dekat saya serta
orang-orang Islam yang seagama dengan saya karena saya telah menyerahkan kepada
mereka janji yang dikukuhkan Allah bahwa mereka memiliki hak serupa dengan hak
kaum Muslim, dan kewajiban serupa dengan kewajiban mereka. Kaum Muslim pun
berkewajiban seperti kewajiban mereka berdasar kewajiban memberi perlindungan
dan pembelaan kehormatan sehingga kaum Muslim berkewajiban melindungi mereka
dari segala macam keburukan dan dengan demikian mereka menjadi sekutu dengan
kaum Muslim menyangkut hak dan kewajiban.
Tidak
boleh uskup dari keuskupan mereka diubah atau satu hak dari hak-hak mereka,
tidak juga kekuasaan mereka, atau apa yang selama ini mereka miliki. Tidak
boleh juga dituntut seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain,
sebagaimana tidak boleh memasukkan bangunan mereka ke bangunan masjid, atau
perumahan kaum Muslim. Tidak juga boleh mereka dibebani kezaliman menyangkut
pernikahan yang mereka tidak setujui. Keluarga wanita masyarakat Nasrani tidak
boleh dipaksa mengawinkan anak perempuannya kepada pria kaum Muslim. Mereka
tidak boleh disentuh oleh kemudharatan kalau mereka menolak lamaran atau enggan
mengawinkan karena perkawinan tidak boleh terjadi, kecuali dengan kerelaan
hati. Apabila seorang wanita Nasrani menjadi isteri seorang Muslim, maka sang
suami harus menerima baik keinginan isterinya untuk menetap dalam agamanya dan
mengikuti pemimpin agamanya serta melaksanakan tuntunan kepercayaannya. Tidak
boleh hal ini dilanggar. Siapa yang melanggar dan memaksa isterinya melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan urusan agamanya, maka ia telah melanggar
perjanjian (yang dikukuhkan) Allah dan mendurhakai janji Rasul-Nya dan ia
tercatat di sisi Allah sebagai salah seorang pembohong.
Bagi para
penganut agama Nasrani―bila memerlukan sesuatu untuk perbaikan tempat ibadah
mereka atau satu kepentingan mereka dan agama mereka―yang membutuhkan bantuan
dari kaum Muslim, maka hendaklah mereka dibantu dan bantuan itu bukan merupakan
utang yang dibebankan kepada mereka, tetapi dukungan buat mereka demi
kemaslahatan agama mereka serta pemenuhan janji Rasul (Muhammad saw.) kepada
mereka dan anugerah dari Allah dan Rasul-Nya buat mereka. Tidak boleh seorang
Nasrani dipaksa untuk memeluk agama Islam, Janganlah
mendebat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berselisih pendapat denganmu,
kecuali dengan cara yang paling baik. Kecuali dengan orang-orang yang melampaui
batas dan katakan, “Kami percaya dengan apa yang diturunkan Allah kepada kami,
(al-Qur’an), juga dengan apa yang diturunkan kepada kalian (Taurat dan Injil).
Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu. Dan kami hanya tunduk kepada-Nya semata”
(QS. al-‘Ankabut [29]: 46). Mereka hendaknya diberi perlindungan berdasar kasih
sayang dan dicegah segala yang buruk yang dapat menimpa mereka kapan dan di
mana pun. Demikian janji Rasul Muhammmad saw. Demikian juga sikap yang
diajarkan Islam terhadap umat Nasrani.
Sekali
lagi, kita tidak mengingkari adanya perbedaan antara kita, tapi tidak juga
dapat disangkal adanya persamaan dan titik temu antara kita. Perbedaan yang ada
bisa ditemukan titik temunya kalau kita tulus mengusahakannya dan mengikuti
tuntunan Nabi-nabi kita, karena seperti sabda Nabi Muhammad saw.: Para Nabi bersaudara, ayah mereka satu
dan ibu mereka berbeda-beda, yakni semua mengarah kepada Tuhan Yang Maha Esa
walau ibu mereka―yakni syariat mereka―berbeda-beda.
Seandainya
kita tidak sepakat dalam hal-hal tertentu, maka mari kita sepakat untuk tidak
bersepakat: lakum dinikum wa liya din, karena dalam era globalisasi banyak
sekali area untuk bekerja sama antara Timur dan Barat. Saya sadar bahwa ada
hambatan yang dapat menghalangi kita, terutama dengan kehadiran sekelompok
orang atau organisasi yang mengatasnamakan Islam atau hak asasi manusia dan
kebebasan berbicara yang tidak jarang mengeruhkan suasana, bahkan memperuncing
perbedaan. Yakinlah bahwa mereka, kendati mengatasnamakan Islam atau
kemanusiaan, namun Islam dan kemanusiaan amat berbeda, bahkan berlepas diri
dengan apa yang mereka klaim dan tampilkan. Kami juga yakin bahwa apa yang
ditampilkan oleh media atau ditulis oleh sementara orang tidak sepenuhnya
mencerminkan Islam, sebagaimana tidak sepenuhnya apa yang ditampilkkan oleh TV
dan film yang tersebar di aneka penjuru mencerminkan secara jujur masyarakat
Barat. Sungguh sangat disayangkan bahwa itu semua telah mengakibatkan image
buruk, apalagi tidak terdengar suara yang mengecamnya.
Kini
bagaimana kita memulai? Agaknya saya tidak melampaui batas kebenaran jika kita
mulai dari yang gampang dan mudah kita lakukan dan yang disepakati baiknya oleh
kemanusiaan. Bagi umat Islam, hal ini sejalan dengan tuntunan kitab suci yang
menyatakan: Ambil/terimalah
yang mudah. Perintahkan yang ma’ruf, yakni yang disepakati kebaikannya oleh
masyarakat dan berpalinglah dari orang Jahil (QS. al-A’râf
[7]: 199).
Kitab
suci al-Qur’an ketika berbicara tentang hubungan baik antara masyarakat manusia
uraiannya dimulai dengan sekian banyak kata jangan!
Jangan―mengejek siapa
pun―secara sembunyi-sembunyi, dengan ucapan, perbuatan atau isyarat. Jangan
memanggil dengan gelar-gelar yang dinilai buruk, jangan berprasangka buruk.
Jangan mencari-cari kesalahan pihak, jangan juga membicarakan aib orang
lain―walau aib itu benar (Baca selengkapnya pada QS. al-Hujurât
[49]: 11-12 dan 13).
Karena
itu, kata orang-orang bijak: “Jika Anda tidak rela memuji, maka jangan memaki.
Jika Anda tidak bersedia memberi, maka jangan ambil hak orang lain. Jika Anda
tidak mampu membantu, maka hindarilah menjatuhkan keburukan.” Demikian
seterusnya. Sungguh saya bermimpi mendengar suara yang lantang dari Timur―dari
umat Islam―yang mengecam sikap bodoh dari orang-orang yang mengatasnamakan
Islam, mendengar sebelum mendengarnya dari pihak Barat. Sebaliknya, saya pun
ingin mendengar suara yang lantang dari Barat mengecam putra-putrinya yang
menghina kepercayaan atau melakukan standar ganda sebelum mendengarnya dari
Timur. Kalau ini dapat kita lakukan, maka akan terasa oleh kedua belah pihak
adanya hubungan rasa antara Timur dan Barat sebelum adanya hubungan dan
kesamaan ide. Memang, pada mulanya adalah ruh.
Demikian,
wa Allâh A’lam.
[]
*Uraian ini asalnya adalah makalah yang penulis sampaikan pada
Konferensi Internasional tentang “East
and West: Dialogue between Civilizations? Timur dan Barat Menuju
Dialog Peradaban” yang diselenggarakan oleh Comunità Sant’Egidio Florence, Italia,
bekerja sama dengan Majelis al-Hukama al-Muslimin pada tanggal 8-9 Juni 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar