Senin, 29 Februari 2016

Quraish Shihab: Timur dan Barat di Era Globalisasi* – Bagian 2



Timur dan Barat di Era Globalisasi* – Bagian 2
Oleh: M. Quraish Shihab

Apa yang dikemukakan sebelum ini adalah sikap Islam terhadap penyembah berhala. Adapun terhadap penganut agama-agama samawi, maka mari kita simak maksud firman-Nya dalam QS. al-Hajj [22]: 40.

Sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian manusia yang lain, tentulah telah dirobohkan oleh para penindas biara-biara Nasrani, dan gereja-gereja, serta sinagog-sinagog, yakni tempat-tempat peribadatan orang Yahudi dan masjid-masjid, yang merupakan tempat-tempat di dalamnya banyak disebut nama Allah. Tetapi Allah tidak menghendaki roboh-robohnya tempat-tempat peribadatan itu. Sambil bersumpah, Allah berfirman: Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong agama dan nilai-nilai-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa sehingga tidak ada yang dapat mengalahkan dan menghalangi kehendak-Nya.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa dibenarkannya pembelaan terhadap penganiayaan yang bermaksud, antara lain agar wujud tempat ibadah kaum Nasrani dan Yahudi tetap bersinambung dan berdampingan keberadaannya di samping masjid-masjid tempat ibadah kaum Muslim.

Allah juga menegaskan bahwa: Sesungguhnya Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil, bahkan memberi sebagian hartamu kepada siapa pun yang tidak memerangi kamu menyangkut agama dan tidak juga mengusir kamu dari tumpah darah kamu (QS. al-Mumtahanah [60]: 8).

Sungguh tuntunan ini telah dipraktikkan dengan sangat baik oleh Nabi Muhammad saw., antara lain dapat disimak melalui janji beliau kepada kaum Nasrani di Najran. Janji tersebut menyatakan:

Najran dan kelompoknya serta semua penganut agama Nasrani di seluruh dunia berada dalam perlindungan Allah dan pembelaan Muhammad Rasulullah menyangkut harta benda, jiwa dan agama mereka, baik yang hadir (dalam pertemuan ini) maupun yang gaib, termasuk juga keluarga mereka, tempat-tempat ibadah mereka, dan segala sesuatu yang berada dalam wewenang mereka―sedikit atau banyak.

Saya berjanji melindungi pihak mereka dan membela mereka, gereja dan tempat-tempat ibadah mereka serta tempat-tempat pemukiman para rahib dan pendeta-pendeta mereka, demikian juga tempat-tempat suci yang mereka kunjungi. Saya juga berjanji memelihara agama mereka dan cara hidup mereka, di mana pun mereka berada, sebagaimana pembelaaan saya kepada diri dan keluarga dekat saya serta orang-orang Islam yang seagama dengan saya karena saya telah menyerahkan kepada mereka janji yang dikukuhkan Allah bahwa mereka memiliki hak serupa dengan hak kaum Muslim, dan kewajiban serupa dengan kewajiban mereka. Kaum Muslim pun berkewajiban seperti kewajiban mereka berdasar kewajiban memberi perlindungan dan pembelaan kehormatan sehingga kaum Muslim berkewajiban melindungi mereka dari segala macam keburukan dan dengan demikian mereka menjadi sekutu dengan kaum Muslim menyangkut hak dan kewajiban.

Tidak boleh uskup dari keuskupan mereka diubah atau satu hak dari hak-hak mereka, tidak juga kekuasaan mereka, atau apa yang selama ini mereka miliki. Tidak boleh juga dituntut seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain, sebagaimana tidak boleh memasukkan bangunan mereka ke bangunan masjid, atau perumahan kaum Muslim. Tidak juga boleh mereka dibebani kezaliman menyangkut pernikahan yang mereka tidak setujui. Keluarga wanita masyarakat Nasrani tidak boleh dipaksa mengawinkan anak perempuannya kepada pria kaum Muslim. Mereka tidak boleh disentuh oleh kemudharatan kalau mereka menolak lamaran atau enggan mengawinkan karena perkawinan tidak boleh terjadi, kecuali dengan kerelaan hati. Apabila seorang wanita Nasrani menjadi isteri seorang Muslim, maka sang suami harus menerima baik keinginan isterinya untuk menetap dalam agamanya dan mengikuti pemimpin agamanya serta melaksanakan tuntunan kepercayaannya. Tidak boleh hal ini dilanggar. Siapa yang melanggar dan memaksa isterinya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan urusan agamanya, maka ia telah melanggar perjanjian (yang dikukuhkan) Allah dan mendurhakai janji Rasul-Nya dan ia tercatat di sisi Allah sebagai salah seorang pembohong.

Bagi para penganut agama Nasrani―bila memerlukan sesuatu untuk perbaikan tempat ibadah mereka atau satu kepentingan mereka dan agama mereka―yang membutuhkan bantuan dari kaum Muslim, maka hendaklah mereka dibantu dan bantuan itu bukan merupakan utang yang dibebankan kepada mereka, tetapi dukungan buat mereka demi kemaslahatan agama mereka serta pemenuhan janji Rasul (Muhammad saw.) kepada mereka dan anugerah dari Allah dan Rasul-Nya buat mereka. Tidak boleh seorang Nasrani dipaksa untuk memeluk agama Islam, Janganlah mendebat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berselisih pendapat denganmu, kecuali dengan cara yang paling baik. Kecuali dengan orang-orang yang melampaui batas dan katakan, “Kami percaya dengan apa yang diturunkan Allah kepada kami, (al-Qur’an), juga dengan apa yang diturunkan kepada kalian (Taurat dan Injil). Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu. Dan kami hanya tunduk kepada-Nya semata” (QS. al-‘Ankabut [29]: 46). Mereka hendaknya diberi perlindungan berdasar kasih sayang dan dicegah segala yang buruk yang dapat menimpa mereka kapan dan di mana pun. Demikian janji Rasul Muhammmad saw. Demikian juga sikap yang diajarkan Islam terhadap umat Nasrani.

Sekali lagi, kita tidak mengingkari adanya perbedaan antara kita, tapi tidak juga dapat disangkal adanya persamaan dan titik temu antara kita. Perbedaan yang ada bisa ditemukan titik temunya kalau kita tulus mengusahakannya dan mengikuti tuntunan Nabi-nabi kita, karena seperti sabda Nabi Muhammad saw.: Para Nabi bersaudara, ayah mereka satu dan ibu mereka berbeda-beda, yakni semua mengarah kepada Tuhan Yang Maha Esa walau ibu mereka―yakni syariat mereka―berbeda-beda.

Seandainya kita tidak sepakat dalam hal-hal tertentu, maka mari kita sepakat untuk tidak bersepakat: lakum dinikum wa liya din, karena dalam era globalisasi banyak sekali area untuk bekerja sama antara Timur dan Barat. Saya sadar bahwa ada hambatan yang dapat menghalangi kita, terutama dengan kehadiran sekelompok orang atau organisasi yang mengatasnamakan Islam atau hak asasi manusia dan kebebasan berbicara yang tidak jarang mengeruhkan suasana, bahkan memperuncing perbedaan. Yakinlah bahwa mereka, kendati mengatasnamakan Islam atau kemanusiaan, namun Islam dan kemanusiaan amat berbeda, bahkan berlepas diri dengan apa yang mereka klaim dan tampilkan. Kami juga yakin bahwa apa yang ditampilkan oleh media atau ditulis oleh sementara orang tidak sepenuhnya mencerminkan Islam, sebagaimana tidak sepenuhnya apa yang ditampilkkan oleh TV dan film yang tersebar di aneka penjuru mencerminkan secara jujur masyarakat Barat. Sungguh sangat disayangkan bahwa itu semua telah mengakibatkan image buruk, apalagi tidak terdengar suara yang mengecamnya.

Kini bagaimana kita memulai? Agaknya saya tidak melampaui batas kebenaran jika kita mulai dari yang gampang dan mudah kita lakukan dan yang disepakati baiknya oleh kemanusiaan. Bagi umat Islam, hal ini sejalan dengan tuntunan kitab suci yang menyatakan: Ambil/terimalah yang mudah. Perintahkan yang ma’ruf, yakni yang disepakati kebaikannya oleh masyarakat dan berpalinglah dari orang Jahil (QS. al-A’râf [7]: 199).

Kitab suci al-Qur’an ketika berbicara tentang hubungan baik antara masyarakat manusia uraiannya dimulai dengan sekian banyak kata jangan! Jangan―mengejek siapa pun―secara sembunyi-sembunyi, dengan ucapan, perbuatan atau isyarat. Jangan memanggil dengan gelar-gelar yang dinilai buruk, jangan berprasangka buruk. Jangan mencari-cari kesalahan pihak, jangan juga membicarakan aib orang lain―walau aib itu benar (Baca selengkapnya pada QS. al-Hujurât [49]: 11-12 dan 13).

Karena itu, kata orang-orang bijak: “Jika Anda tidak rela memuji, maka jangan memaki. Jika Anda tidak bersedia memberi, maka jangan ambil hak orang lain. Jika Anda tidak mampu membantu, maka hindarilah menjatuhkan keburukan.” Demikian seterusnya. Sungguh saya bermimpi mendengar suara yang lantang dari Timur―dari umat Islam―yang mengecam sikap bodoh dari orang-orang yang mengatasnamakan Islam, mendengar sebelum mendengarnya dari pihak Barat. Sebaliknya, saya pun ingin mendengar suara yang lantang dari Barat mengecam putra-putrinya yang menghina kepercayaan atau melakukan standar ganda sebelum mendengarnya dari Timur. Kalau ini dapat kita lakukan, maka akan terasa oleh kedua belah pihak adanya hubungan rasa antara Timur dan Barat sebelum adanya hubungan dan kesamaan ide. Memang, pada mulanya adalah ruh.

Demikian, wa Allâh A’lam. []

*Uraian ini asalnya adalah makalah yang penulis sampaikan pada Konferensi Internasional tentang “East and West: Dialogue between Civilizations? Timur dan Barat Menuju Dialog Peradaban” yang diselenggarakan oleh Comunità Sant’Egidio Florence, Italia, bekerja sama dengan Majelis al-Hukama al-Muslimin pada tanggal 8-9 Juni 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar