Pelacuran
dan Ketidakadilan
Oleh: Moh
Mahfud MD
Masih
terbayang dalam ingatan dan terngiang di telinga ketika Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini menangis di sebuah acara televisi swasta saat menceritakan
pengalamannya bertemu dengan seorang pelacur tua.
Yang
diceritakan oleh Tri Rismaharini itu tidak hanya mengharukan, tetapi juga
mengerikan. Alkisah pada suatu hari wali kota yang sangat populis itu
mengunjungi satu rumah kumuh yang dihuni seorang perempuan tua. Saat bertemu
dengan perempuan tua itu, Risma kaget karena pengakuan si perempuan tua bahwa
dirinya adalah pelacur, penjual seks, di rumahnya yang kumuh itu.
Ya,
seorang perempuan yang sudah kendur bahkan renta, agak dekil, menjadi pelacur
di rumahnya yang reyot. Pertanyaannya, apa masih laku, siapa pelanggannya, dan
mengapa sang nenek melakukan itu. Risma menceritakan bahwa menurut sang nenek
dirinya masih cukup laku, pelanggannya adalah murid-murid SMP yang tidak jauh
dari rumah si nenek.
Ya,
pelajar-pelajar yang berumur sekitar 15 tahun itulah pelanggan yang biasanya
datang ke rumah si nenek saat jam istirahat, sekitar pukul 9 pagi. Bayarannya,
sekali main hanya Rp 1.000 (seribu rupiah). Sang nenek mengatakan pula bahwa
hal itu terpaksa dia lakukan karena butuh makan untuk bertahan hidup. Katanya,
dia hanya bisa hidup dengan melacur karena tak ada pekerjaan yang bisa
dilakukan atau pekerjaan yang diberikan oleh orang lain kepadanya.
Cerita
Risma itu mengingatkan dan memperingatkan kita bahwa kemiskinan bisa
menyebabkan orang melakukan hal-hal yang tidak pantas bahkan melawan hukum. Ibu
tua yang ditemui oleh Risma itulah contohnya. Dia terpaksa menjadi pelacur
kumuh dan murahan karena miskin, tetapi ingin tetap bertahan hidup.
Berdasarkan
hasil berbagai penelitian di Indonesia, sangat banyak perempuan melacurkan diri
karena ingin bertahan hidup dalam kemiskinan yang menderanya. Banyak juga yang
ingin menyekolahkan anak atau adiknya, ingin menghidupi dan mengobati orang
tuanya, dan sebagainya. Problem sosial yang muncul akibat kemiskinan sangat
beragam.
Sering
diberitakan banyaknya anak usia sekolah yang menjadi anak jalanan untuk mengais
sedekah sedapatnya. Ada juga anak yang bunuh diri karena selalu ditagih uang
SPP oleh gurunya setiap masuk kelas, sementara orang tuanya tidak mempunyai
uang. Tidak sedikit pula yang terpaksa mencuri atau merampok. Bahkan ada yang
membunuh karena tepergok saat mencuri. Itulah akibat kemiskinan.
Kalaulah
kemiskinan terjadi secara wajar, misalnya, karena tekanan situasi ekonomi
dunia, mungkin masih bisa dimaklumi. Masalahnya, kemiskinan di negara kita
dikontribusikan oleh ketidakadilan, misalnya, korupsi yang berkelanjutan dan
masif, sementara hukum dan keadilan tumpul. Koruptor-koruptor besar sering
dihukum ringan, sedangkan pencuri kambing atau pencopet dompet dihukum lebih
berat.
Masih
banyak terduga atau tersangka koruptor bebas berkeliaran, bahkan berpidato
untuk memberantas korupsi. Selain penegakan hukum, ketidakadilan tampak juga
dari kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin. Indeks kesenjangan yang sering
disebut gini ratio kita sangat buruk. Indeks gini ratio kita sekarang ada di
kisaran 0,43, meningkat jauh dari era Orde Baru yang hanya 0,20, padahal Orde
Baru diidentifikasi sebagai rezim penuh KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Menurut
para ahli, hampir tidak ada negara yang bisa bertahan dari gempuran keruntuhan
jika indeks gini ratio mencapai 0,50. Dalam beberapa tahun terakhir, ada
beberapa negara yang rontok ketika indeks gini ratio nya mendekati 0,450. Ini
harus kita tangani secara serius karena jumlah orang miskin di Indonesia
meningkat menjadi sekitar 29 juta jiwa.
Kemiskinan
kita banyak dikontribusikan oleh ketidakadilan, baik karena tidak tegaknya
hukum maupun karena kerakusan. Menurut fakta sejarah dan temuan para ahli,
ketidakadilan selalu mengancam eksistensi negara. Logikanya sederhana, jika
rakyat selalu diperlakukan tidak adil tanpa keberdayaan negara untuk
menolongnya maka lama-lama akan timbul disobedience (pembangkangan), dan
pembangkangan yang berkepanjangan bisa menimbulkan disintegrasi.
Merefleksi
cerita Risma dan perkembangan keadaan sampai sekarang ini, saya tidak beranjak
dari pandangan bahwa basis nasionalisme saat ini adalah penegakan hukum dan
keadilan. Hal itu pun sudah saya kemukakan dalam orasi saat penganugerahan
People of the Year (POTY) oleh Harian Seputar Indonesia (KORAN SINDO) awal
2010.
Ketika
itu saya mengatakan, jika nasionalisme diartikan sebagai rasa cinta, rasa
memiliki, dan sikap ingin mempertahankan negara maka jika kita ingin menjaga
nasionalisme Indonesia saat ini adalah menegakkan hukum dan keadilan. Pada masa
revolusi sampai belasan tahun perjalanan kita bernegara, nasionalisme kita
ditunjukkan dengan sikap patriotik dan siap berperang melawan penjajahan asing
atau kaum separatis.
Pada
waktu itu, negara memfasilitasinya dengan persenjataan dan pembinaan tentara
yang kuat dan berani dengan dukungan rakyat yang juga ikut berperang
menggunakan senjata apa adanya hingga muncul senjata khas rakyat, bambu
runcing. Tetapi percayalah, basis nasionalisme kita saat ini haruslah bertumpu
pada penegakan hukum dan keadilan, bukan pada perang fisik dan senjata-senjata.
Musuh
kita yang dominan saat ini bukan serangan dari negara lain, bukan juga
separatis, melainkan ketidakadilan dan kerakusan di kalangan pejabat-pejabat
kita sendiri. Munculnya radikalisme, misalnya, bukan semata-mata karena
ideologi, melainkan karena menumpang pada fakta ketidakadilan. []
KORAN
SINDO, 13 Februari 2016
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar