Belum Bisa Nyalip di Tikungan Belakang
Oleh: Dahlan Iskan
Awal tahun lalu kita masih sangat optimistis: Ekonomi tahun
2015 masih akan sangat baik. Para capres masih menjanjikan tumbuh 7 persen.
Awal tahun ini kita begitu pesimistis, terutama
setelah melihat rupiah terus merosot. Rupiah sempat menyentuh 15.000 per dolar
AS. Bahkan, ada yang mengira, pada akhir 2015 kita akan begitu hancurnya.
Akhir tahun ini ternyata kita bisa sedikit
bernapas lega: memang tidak bagus, tapi ternyata tidak hancur. Padahal,
perpolitikan kita begitu gonjang-ganjingnya.
Kesimpulannya, kita masih harus bersyukur
karena ekonomi kita baik-baik saja. Pemutusan hubungan kerja (PHK) memang ada,
tapi tidak sedahsyat yang dibayangkan.
Nilai rupiah memang masih rendah, tapi mulai
stabil: stabil-rendah. Harga komoditas memang masih jatuh, tapi tidak lebih
jatuh lagi. Bahkan, harga minyak sawit sedikit bergerak.
Naik, walau sedikit. Bahkan, Menteri Pertanian
Andi Amran Sulaiman dengan bangga mengumumkan produksi beras kita naik sampai 5
juta ton. Dan, menurut beliau, kita akan ekspor beras. Sampai hampir setengah
juta ton.
Banyak yang meragukan angka itu (terutama
karena terjadinya kemarau panjang dan tidak adanya strategi yang berubah
drastis). Tapi, Pak Menteri meyakinkan kita bahwa ”beda sopir, beda hasilnya”.
Metromini yang sama bisa berlari lebih cepat dengan menteri yang berbeda.
Gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi
Pudjiastuti juga menunjukkan hasil nyata. Bahkan, saat ini industri galangan
kapal panen raya. Semua galangan kapal penuh order.
Membuat kapal-kapal baru. Kerja 24 jam.
Galangan kapal yang khusus membuat tongkang pun tidak jadi mati. Padahal,
mereka sempat waswas: Anjloknya harga batu bara membuat perdagangan batu bara
lesu.
Ekspor mati kutu. Angkutan transhipment yang
biasa memerlukan banyak tongkang menurun drastis. Tapi, banyaknya order
pembuatan kapal baru nontongkang akhirnya tumpah ke galangan tongkang. Memang
tidak lagi memproduksi tongkang, tapi bisa menjadi penyangga galangan kapal.
Saya juga bersyukur Jawa Pos Group tidak
terlalu terkena krisis. Memang pabrik kertas Jawa Pos Group menderita (tidak
bisa ekspor kertas lagi). Namun, koran-koran Jawa Pos Group masih terus
berkibar.
Manajemen Jawa Pos Group, setelah delapan tahun
tanpa saya, ternyata kian kukuh. Saya kaget, saat krisis ekonomi koran-koran
seperti Manado Post, Malang Post, Kaltim Post, Radar Lampung, Padang Ekspres,
Batam Pos, Riau Pos, Radar Cirebon, dan lain-lain sesekali justru terbit 100
halaman.
Memang kita berhak iri melihat Filipina dan
India. Dua negara itu tumbuh 7 persen tahun ini. Luar biasa. Filipina, yang
begitu ruwetnya, bisa tumbuh 7 persen.
Filipina memang beruntung. Punya presiden yang
kuat sekali: Ninoy Aquino. Mungkin karena dia bujangan. Tidak punya istri dan
anak. Mungkin karena dia memang bersih. Mungkin karena dia satu-satunya
presiden yang ibunya juga presiden.
Yang jelas, dia memang hebat. Tahun lalu saya
diterima sebagai tamunya di Istana Malacanang dan saya akui kehebatannya.
Pokoknya, orang Filipina berkesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi
itu murni faktor kekuatan presidennya. Faktor-faktor di luar itu hampir tidak
ada bedanya dengan kita.
Tapi, kita juga tidak usah terlalu iri.
Setinggi-tinggi pertumbuhan ekonomi Filipina, masih jauh dari kita.
Secepat-cepat Filipina mengejar kita, masih tertinggal jauh di belakang kita.
Asal kita juga terus berlari.
Kita masih bersyukur karena banyak negara yang
tumbuhnya lebih jeblok daripada kita: Brasil, Malaysia, Thailand, dan banyak
lagi.
Memang ada gemesnya. Coba tahu pertumbuhan
ekonomi Malaysia begitu buruknya, kita bisa nyalip di tikungan. Sayang, saat
negara pesaing kita itu sangat melambat, kita sendiri juga melambat.
Hope-nya: Masih akan ada tikungan lain di
depan. Yuk kita salip di tikungan itu. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar