Kamis, 04 Februari 2016

Hasyim Muzadi: Pancasila di Antara Sekte Transnasional



Pancasila di Antara Sekte Transnasional
Oleh: KH. A. Hasyim Muzadi

Di tengah kerasnya pertempuran antara beberapa ideologi dan paham keagamaan belakangan, bangsa Indonesia seakan gamang di mana harus berada. Padahal, para pendiri republik sudah meletakkan dasar negara yang kokoh. Dasar yang diyakini oleh para pahlawan itu sebagai payung yang akan mampu menaungi semua unsur dan kekuatan negara.

Tentu saja segenap kekuatan yang telah berikrar untuk menyelamatkan NKRI. Bukan unsur yang ketika rumpun bangsa berdiri ini, mereka telah menjadi ideologi dan paham pihak-pihak lain di luar sana. Sayangnya, ketika keran reformasi dibuka, kita belum siap dan tak pernah membayangkan gerakan dan paham transnasional itu akhirnya menerjang, seperti menemukan lahan yang subur. Menyerbu masuk Indonesia dengan beragam ideologi, paham keagamaan, serta sekte yang akan mengancam harmoni sosial.

Ancaman itu kini sudah nyata di depan mata. Indonesia harus memperkuat ideologi Pancasila yang sekarang mulai remang-remang. Penegakan Pancasila tidak cukup dengan imbauan.

Lang kah itu harus dengan sistem kenegaraan yang menjamin tegaknya Pancasila serta dukungan rakyat. Yaitu, melalui visi keagamaan yang sinergi dengan Pancasila dan dianut mayoritas bangsa Indonesia, yakni Ahlussunah waljamaah. Terlebih, mazhab Ahlussunah waljamaah-- Aswaja, yang selama ini dianut NU dan Muham - madiyah--serta lainnya telah terbukti dapat mempersatukan Indonesia sepanjang sejarah.

Untuk itu, NU/Muhammadiyah harus dijaga agar tidak disusupi atau digerogoti ideologi non- Aswaja. Pasalnya, pasti memecah belah dan pada gilirannya akan merusak NKRI. Pertikaian Saudi Arabia-Iran adalah contohnya.

Dari berbagai kekuatan dunia, yang bisa menyelesaikan adalah Amerika dan Rusia. Dalam konteks PBB, tentu kita ikut mendorong, tetapi selebihnya, kita perkuat Indonesia. Konflik Arab Saudi dan Iran kian memanas setelah Riyadh mengeksekusi ulama Syiah Nimr al-Nimr.

Karena itu, sangat baik kalau Indonesia ikut berusaha mendorong perdamaian Arab Saudi dan Iran. Pasalnya, upaya itu sesuai dengan pembukaan UUD 1945. Sangat baik Indonesia mendorong perdamaian dua negara itu.

Meski begitu, harus tetap dengan langkah yang menjamin keamanan bagi NKRI. Waspadai, jangan sampai Indonesia menjadi ring pertempuran dua kepentingan. Saudi dan Iran adalah dua kutub ideologi (Wahabi Suni dan Syiah). Masing-masing kutub punya pendukung transnasionalnya yang fanatik.

Sejumlah negara, seperti Sudan, Kuwait, Malaysia, dan Brunei Darussalam, misalnya, hampir dipastikan sudah menen tukan sikap. Diyakini mereka akan mendukung Saudi. Mereka nyata-nyata melarang keberadaan Syiah di dalam negeri masing-masing. Sedang kan, Irak, Syria, Lebanon, dan Yaman Utara sangat mungkin bersikap sebaliknya dengan mendukung Iran. Di Indonesia, dua aliran ini sama-sama mengalami penolakan sama kerasnya. 

Namun, keduanya memperoleh dukungan dari banyak aktivis dan memiliki jaringan yang kuat. Jangan sampai karena kelemahan kita, kedua kekuatan ini lantas menjadikan Indonesia sebagai ring pertempuran dua kepentingan ini.

Selama pertentangan ideologi (Wahabi-Syiah) itu masih dalam kerangka wacana, akibat sampingannya baru akan terbatas pertentangan psikososial. Itu pun akan mengancam harmoni sosial yang sudah terbangun berabad lamanya. 

Namun, jika pertentangan ini bersentuhan dengan politik, perebutan kekuasaan, apalagi menjadi bagian dari pertentangan global dan campur tangan negara-negara super power, eskalasinya bisa jadi lain. Masalah ideologi visioner Islam itu akan tenggelam berganti dengan kepentingan politik, hegemoni ekonomi, kepentingan- kepentingan kawasan, dan sebagainya. Perang terbuka bisa terjadi di Indonesia seperti di Irak dan Syria pada waktunya. 

Kerapuhan ketahanan nasional kita, baik internal maupun menghadapi serangan dari luar, pelaksanaan HAM yang melebihi ukuran, liberalisasi politik atau ekonomi serta budaya, dan kegaduhan sesama pembesar sudah barang pasti tentu akan melengkapi kerawanan yang bisa terjadi.

Indonesia harus memperkuat ideologi Pancasila yang sekarang mulai remang- remang. Penegakan Pancasila tidak cukup dengan imbauan.

Saat ini, Indonesia sudah kebanjiran pengaruh dari luar negeri, baik itu dari segi agama, ideologi, politik, ekonomi, maupun budaya. Penting diingatkan agar segenap kaum Muslim moderat, wabil khusus, warga Nahdliyin untuk mewaspadai ancaman ideologi atau aliran-aliran Islam yang saat ini sedang gencar- gencarnya mencoba menyerang NU, baik ancaman yang dilakukan secara terang-terangan maupun yang tidak tampak. 

Mazhab Syiah, misalnya. Aliran yang menganggap kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Usman tidak sah ini sangat berbahaya karena mereka yang menganut aliran ini bisa menyusup sebagai seorang Nahdliyin yang ikut memperjuangkan mazhab Aswaja hingga ketika kesempatan datang, mereka akan langsung pindah ke biduk asli mereka. Mereka pandai menyembunyikan kebenaran dan menutupi kayakinan demi mengembangkan aliran ini. 

Ancaman lainnya datang dari Wahabi. Jika Syiah melancarkan strateginya dengan halus, strategi Wahabi sangat bertolak belakang. Paham keagamaan yang lahir di Saudi Arabia ini menyampaikan dakwahnya secara terang-terangan, bahkan cenderung kasar. Karena caranya itu, sering terjadi gesekan dengan NU.

Cara yang dilakukan dalam `pemurnian' Islam versi mereka sangat berlawanan dengan Aswaja yang menjunjung tinggi toleransi. 

Mereka itu aneh, mereka mencanangkan negara Islam, tapi yang diserang juga negara Islam. Penting juga dicermati gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) dan Hizbut Tahrir (HTI). IM ini pendatang baru, tetapi sekarang sudah jadi partai. Gerakan mereka melebar ke mana-mana. Aliran lainnya adalah Islam liberal.

Aliran ini menekankan kebebasan dan pembebasan pribadi yang mencoba melonggarkan simpul- simpul agama. Wallaahu a'lam bis shawaab. []

REPUBLIKA, 31 Januari 2016
KH. A. Hasyim Muzadi | Mantan Ketua Umum PBNU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar