Pancasila
di Antara Sekte Transnasional
Oleh: KH.
A. Hasyim Muzadi
Di tengah
kerasnya pertempuran antara beberapa ideologi dan paham keagamaan belakangan,
bangsa Indonesia seakan gamang di mana harus berada. Padahal, para pendiri
republik sudah meletakkan dasar negara yang kokoh. Dasar yang diyakini oleh
para pahlawan itu sebagai payung yang akan mampu menaungi semua unsur dan
kekuatan negara.
Tentu
saja segenap kekuatan yang telah berikrar untuk menyelamatkan NKRI. Bukan unsur
yang ketika rumpun bangsa berdiri ini, mereka telah menjadi ideologi dan paham
pihak-pihak lain di luar sana. Sayangnya, ketika keran reformasi dibuka, kita
belum siap dan tak pernah membayangkan gerakan dan paham transnasional itu
akhirnya menerjang, seperti menemukan lahan yang subur. Menyerbu masuk
Indonesia dengan beragam ideologi, paham keagamaan, serta sekte yang akan
mengancam harmoni sosial.
Ancaman
itu kini sudah nyata di depan mata. Indonesia harus memperkuat ideologi
Pancasila yang sekarang mulai remang-remang. Penegakan Pancasila tidak cukup
dengan imbauan.
Lang kah
itu harus dengan sistem kenegaraan yang menjamin tegaknya Pancasila serta
dukungan rakyat. Yaitu, melalui visi keagamaan yang sinergi dengan Pancasila
dan dianut mayoritas bangsa Indonesia, yakni Ahlussunah waljamaah. Terlebih,
mazhab Ahlussunah waljamaah-- Aswaja, yang selama ini dianut NU dan Muham -
madiyah--serta lainnya telah terbukti dapat mempersatukan Indonesia sepanjang
sejarah.
Untuk
itu, NU/Muhammadiyah harus dijaga agar tidak disusupi atau digerogoti ideologi
non- Aswaja. Pasalnya, pasti memecah belah dan pada gilirannya akan merusak
NKRI. Pertikaian Saudi Arabia-Iran adalah contohnya.
Dari
berbagai kekuatan dunia, yang bisa menyelesaikan adalah Amerika dan Rusia.
Dalam konteks PBB, tentu kita ikut mendorong, tetapi selebihnya, kita perkuat
Indonesia. Konflik Arab Saudi dan Iran kian memanas setelah Riyadh mengeksekusi
ulama Syiah Nimr al-Nimr.
Karena
itu, sangat baik kalau Indonesia ikut berusaha mendorong perdamaian Arab Saudi
dan Iran. Pasalnya, upaya itu sesuai dengan pembukaan UUD 1945. Sangat
baik Indonesia mendorong perdamaian dua negara itu.
Meski
begitu, harus tetap dengan langkah yang menjamin keamanan bagi NKRI. Waspadai,
jangan sampai Indonesia menjadi ring pertempuran dua kepentingan. Saudi dan
Iran adalah dua kutub ideologi (Wahabi Suni dan Syiah). Masing-masing kutub
punya pendukung transnasionalnya yang fanatik.
Sejumlah
negara, seperti Sudan, Kuwait, Malaysia, dan Brunei Darussalam, misalnya,
hampir dipastikan sudah menen tukan sikap. Diyakini mereka akan mendukung
Saudi. Mereka nyata-nyata melarang keberadaan Syiah di dalam negeri
masing-masing. Sedang kan, Irak, Syria, Lebanon, dan Yaman Utara sangat mungkin
bersikap sebaliknya dengan mendukung Iran. Di Indonesia, dua aliran ini
sama-sama mengalami penolakan sama kerasnya.
Namun,
keduanya memperoleh dukungan dari banyak aktivis dan memiliki jaringan yang
kuat. Jangan sampai karena kelemahan kita, kedua kekuatan ini lantas menjadikan
Indonesia sebagai ring pertempuran dua kepentingan ini.
Selama
pertentangan ideologi (Wahabi-Syiah) itu masih dalam kerangka wacana, akibat
sampingannya baru akan terbatas pertentangan psikososial. Itu pun akan
mengancam harmoni sosial yang sudah terbangun berabad lamanya.
Namun,
jika pertentangan ini bersentuhan dengan politik, perebutan kekuasaan, apalagi
menjadi bagian dari pertentangan global dan campur tangan negara-negara super
power, eskalasinya bisa jadi lain. Masalah ideologi visioner Islam itu akan
tenggelam berganti dengan kepentingan politik, hegemoni ekonomi, kepentingan-
kepentingan kawasan, dan sebagainya. Perang terbuka bisa terjadi di Indonesia
seperti di Irak dan Syria pada waktunya.
Kerapuhan
ketahanan nasional kita, baik internal maupun menghadapi serangan dari luar,
pelaksanaan HAM yang melebihi ukuran, liberalisasi politik atau ekonomi serta
budaya, dan kegaduhan sesama pembesar sudah barang pasti tentu akan melengkapi
kerawanan yang bisa terjadi.
Indonesia
harus memperkuat ideologi Pancasila yang sekarang mulai remang- remang.
Penegakan Pancasila tidak cukup dengan imbauan.
Saat ini,
Indonesia sudah kebanjiran pengaruh dari luar negeri, baik itu dari segi agama,
ideologi, politik, ekonomi, maupun budaya. Penting diingatkan agar segenap kaum
Muslim moderat, wabil khusus, warga Nahdliyin untuk mewaspadai ancaman ideologi
atau aliran-aliran Islam yang saat ini sedang gencar- gencarnya mencoba
menyerang NU, baik ancaman yang dilakukan secara terang-terangan maupun yang
tidak tampak.
Mazhab
Syiah, misalnya. Aliran yang menganggap kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Usman
tidak sah ini sangat berbahaya karena mereka yang menganut aliran ini bisa
menyusup sebagai seorang Nahdliyin yang ikut memperjuangkan mazhab Aswaja
hingga ketika kesempatan datang, mereka akan langsung pindah ke biduk asli
mereka. Mereka pandai menyembunyikan kebenaran dan menutupi kayakinan demi
mengembangkan aliran ini.
Ancaman
lainnya datang dari Wahabi. Jika Syiah melancarkan strateginya dengan halus,
strategi Wahabi sangat bertolak belakang. Paham keagamaan yang lahir di Saudi
Arabia ini menyampaikan dakwahnya secara terang-terangan, bahkan cenderung
kasar. Karena caranya itu, sering terjadi gesekan dengan NU.
Cara yang
dilakukan dalam `pemurnian' Islam versi mereka sangat berlawanan dengan
Aswaja yang menjunjung tinggi toleransi.
Mereka
itu aneh, mereka mencanangkan negara Islam, tapi yang diserang juga negara
Islam. Penting juga dicermati gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) dan Hizbut
Tahrir (HTI). IM ini pendatang baru, tetapi sekarang sudah jadi partai. Gerakan
mereka melebar ke mana-mana. Aliran lainnya adalah Islam liberal.
Aliran
ini menekankan kebebasan dan pembebasan pribadi yang mencoba melonggarkan
simpul- simpul agama. Wallaahu a'lam bis shawaab. []
REPUBLIKA,
31 Januari 2016
KH. A. Hasyim Muzadi | Mantan Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar