Jumat, 05 Februari 2016

Buya Syafii: Krisis Peradaban Arab Muslim (II) (Dalam Pandangan Khaled Abou El Fadl)



Krisis Peradaban Arab Muslim (II) (Dalam Pandangan Khaled Abou El Fadl)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dilanjutkan: “Yang benar adalah bahwa dengan kegagalan Musim Semi Arab, maka demikian banyak politisi dan intetelektual di Barat dan di dunia Arab menarik nafas lega. Mengapa? Karena bahaya dari apa yang disebut sebagai Islam politik telah dicegah. Dan memang, begitu banyak kelompok terpelajar bersuka-ria menyatakan bahwa gejala Islam politik pada akhirnya mati.” 

Abou El Fadl tampaknya cukup gerah karena pihak penguasa Arab yang didukung Barat telah menebas gerakan Islam politik  itu pada kuncupnya, karena dinilai akan menghambat laju bercokolnya rezim-rezim korup yang serba parasit di atas. Bagi saya sendiri, apakah rezim Islam politik yang dibayangkan itu memang akan mengembalikan martabat ḥurriya bagi dunia Arab tentu sulit untuk dikatakan, karena baru saja muncul ke permukaan, langsung dipatahkan, bahkan tidak jarang dikaitkan dengan terorisme.

Ada dua negara Arab dan penguasanya yang menjadi sasaran tembak utama Abou El Fadl: Mesir dan Saudi Arabia, karena penguasanya telah menggunakan ulama sebagai kekuatan pembenar terhadap kebijakan politik kekuasaan yang diambil. Dengan demikian, agama telah jadi kendaraan politik dengan segala akibat buruknya. Di mata Abou El Fadl, Mesir sebagai negeri Arab yang terbesar telah sejak masa kolonial melakukan pola pengulangan ini: “atas nama modernitas dan kemajuan, negara telah menjalankan mode penindasan berlebihan, menyiksa kaum Islamis, membubarkan partai-partai Islam, dan menyatakan perang terhadap semua ekspresi Islam yang bercorak politik.” 

Presiden Mesir sekarang Jenderal Abdel Fattah El Sisi “bahkan menyamakan Islam politik dengan terorisme.” Bagi penguasa Mesir ini, organisasi semisal Hamas tidak lain dari organisasi teror. Terlihat di sini, El Sisi hanyalah menjadi penyambung lidah pihak Barat sebagai bosnya. Maka tidaklah mengherankan kemudian, karena terus ditindas, gerakan politik yang bercorak Islam bisa menjadi semakin mengeras dan bergerak di bawah tanah, sebagaimana pernah dijalankan oleh Ikhwan di beberapa tempat.

Dalam pada itu Saudi Arabia bersama UAE (United Arab Emirates), dan Kuwait telah menjadi kekuatan kontra revolusi di Mesir, Yaman, dan Libya, demi mempertahankan status quo kerajaan mereka. Negara-negara kaya minyak ini amat cemas jika bunga api revolusi membakar kekuasaan despotik mereka. Lagi-lagi, agama di sini selalu digunakan untuk melestarikan sistem kekuasaan yang korup tanpa pengawasan dari mana pun. Selain itu, “Agama juga dieksploitasi lebih jauh bagi kebijakan-kebijakan negara, seperti antagonisme terhadap Iran yang Syi’i dan sekutu Syi’i lainnya.” 

Catatan saya di sini adalah: Iran pun sebenarnya juga melakukan kebijakan serupa dengan membela rezim Bashar al-Assad bersama Rusia, padahal mayoritas rakyat Suria adalah penganut sunnisme. Bagi saya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Resonansi sebelum ini, kotak-kotak sunni dan syi’i adalah kotak-kotak politik yang memecah belah, tetapi rupanya analisis Abou El Fadl belum sampai bergerak sejauh itu. Tidak saja Abou El Fadl, sepanjang pengetahuan saya belum ada penulis Arab Muslim yang telah menggugat keberadaan sunnisme, syi’isme, dan kharijisme sebagai penyimpangan dari doktrin persaudaraan umat beriman yang diajarkan Alquran.

Kembali kepada El Sisi. Menurut Abou El Fadl, El Sisi adalah pelindung sekularisme di kawasan itu. Eksperesi keagamaan di luar yang didefinisikan negara tidak diizinkan. Pendirian rumah-rumah ibadah juga diawasi negara, bahkan khutbah-khutbah di masjid juga dikendalikan negara. Universitas al-Azhar yang berumur lebih 1000 tahun itu telah lama berada di bawah kendali negara. Perguruan Tinggi ini tidak punya lagi kebebasan akademik, khususnya bila menyangkut relasi dan agama dan negara. 

Universitas al-Azhar telah dijadikan perpanjangan tangan negara dalam menghadapi pemikiran keagamaan yang berbeda, tetapi segar. Abou El Fadl menulis: “Semua badan wakaf Islam yang ada di Mesir berada di bawah pengawasan negara dan telah menjadi sasaran jarahan korupsi dan nepotisme.” Tidak demikian halnya milik kaum Koptik yang berada di luar kekuasaan negara, sebab masih langsung di bawah pengawasan gereja. Jadi, punya kebebasan. []

REPUBLIKA, 02 Februari 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar