Krisis
Peradaban Arab Muslim (II) (Dalam Pandangan Khaled Abou El Fadl)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Dilanjutkan:
“Yang benar adalah bahwa dengan kegagalan Musim Semi Arab, maka demikian banyak
politisi dan intetelektual di Barat dan di dunia Arab menarik nafas lega.
Mengapa? Karena bahaya dari apa yang disebut sebagai Islam politik telah
dicegah. Dan memang, begitu banyak kelompok terpelajar bersuka-ria menyatakan
bahwa gejala Islam politik pada akhirnya mati.”
Abou El
Fadl tampaknya cukup gerah karena pihak penguasa Arab yang didukung Barat telah
menebas gerakan Islam politik itu pada kuncupnya, karena dinilai akan
menghambat laju bercokolnya rezim-rezim korup yang serba parasit di atas. Bagi
saya sendiri, apakah rezim Islam politik yang dibayangkan itu memang akan
mengembalikan martabat ḥurriya bagi dunia Arab tentu sulit untuk dikatakan,
karena baru saja muncul ke permukaan, langsung dipatahkan, bahkan tidak jarang
dikaitkan dengan terorisme.
Ada dua
negara Arab dan penguasanya yang menjadi sasaran tembak utama Abou El Fadl:
Mesir dan Saudi Arabia, karena penguasanya telah menggunakan ulama sebagai
kekuatan pembenar terhadap kebijakan politik kekuasaan yang diambil. Dengan
demikian, agama telah jadi kendaraan politik dengan segala akibat buruknya. Di
mata Abou El Fadl, Mesir sebagai negeri Arab yang terbesar telah sejak masa
kolonial melakukan pola pengulangan ini: “atas nama modernitas dan kemajuan,
negara telah menjalankan mode penindasan berlebihan, menyiksa kaum Islamis,
membubarkan partai-partai Islam, dan menyatakan perang terhadap semua ekspresi
Islam yang bercorak politik.”
Presiden
Mesir sekarang Jenderal Abdel Fattah El Sisi “bahkan menyamakan Islam politik
dengan terorisme.” Bagi penguasa Mesir ini, organisasi semisal Hamas tidak lain
dari organisasi teror. Terlihat di sini, El Sisi hanyalah menjadi penyambung
lidah pihak Barat sebagai bosnya. Maka tidaklah mengherankan kemudian, karena
terus ditindas, gerakan politik yang bercorak Islam bisa menjadi semakin
mengeras dan bergerak di bawah tanah, sebagaimana pernah dijalankan oleh Ikhwan
di beberapa tempat.
Dalam
pada itu Saudi Arabia bersama UAE (United Arab Emirates), dan Kuwait telah
menjadi kekuatan kontra revolusi di Mesir, Yaman, dan Libya, demi
mempertahankan status quo kerajaan mereka. Negara-negara kaya minyak ini amat
cemas jika bunga api revolusi membakar kekuasaan despotik mereka. Lagi-lagi,
agama di sini selalu digunakan untuk melestarikan sistem kekuasaan yang korup
tanpa pengawasan dari mana pun. Selain itu, “Agama juga dieksploitasi lebih
jauh bagi kebijakan-kebijakan negara, seperti antagonisme terhadap Iran yang
Syi’i dan sekutu Syi’i lainnya.”
Catatan
saya di sini adalah: Iran pun sebenarnya juga melakukan kebijakan serupa dengan
membela rezim Bashar al-Assad bersama Rusia, padahal mayoritas rakyat Suria
adalah penganut sunnisme. Bagi saya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
Resonansi sebelum ini, kotak-kotak sunni dan syi’i adalah kotak-kotak politik
yang memecah belah, tetapi rupanya analisis Abou El Fadl belum sampai bergerak
sejauh itu. Tidak saja Abou El Fadl, sepanjang pengetahuan saya belum ada
penulis Arab Muslim yang telah menggugat keberadaan sunnisme, syi’isme, dan
kharijisme sebagai penyimpangan dari doktrin persaudaraan umat beriman yang
diajarkan Alquran.
Kembali
kepada El Sisi. Menurut Abou El Fadl, El Sisi adalah pelindung sekularisme di
kawasan itu. Eksperesi keagamaan di luar yang didefinisikan negara tidak
diizinkan. Pendirian rumah-rumah ibadah juga diawasi negara, bahkan
khutbah-khutbah di masjid juga dikendalikan negara. Universitas al-Azhar yang
berumur lebih 1000 tahun itu telah lama berada di bawah kendali negara.
Perguruan Tinggi ini tidak punya lagi kebebasan akademik, khususnya bila
menyangkut relasi dan agama dan negara.
Universitas
al-Azhar telah dijadikan perpanjangan tangan negara dalam menghadapi pemikiran
keagamaan yang berbeda, tetapi segar. Abou El Fadl menulis: “Semua badan wakaf
Islam yang ada di Mesir berada di bawah pengawasan negara dan telah menjadi
sasaran jarahan korupsi dan nepotisme.” Tidak demikian halnya milik kaum Koptik
yang berada di luar kekuasaan negara, sebab masih langsung di bawah pengawasan
gereja. Jadi, punya kebebasan. []
REPUBLIKA,
02 Februari 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar