Sekali
Lagi Basuki...
Oleh:
Budiarto Shambazy
Dibolehkannya
calon independen atau calon perseorangan mengikuti pemilihan kepala daerah
diawali oleh Lalu Ranggalawe. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat, ini bermaksud mengikuti Pilgub NTB.
Namun,
partai dia, Partai Bintang Reformasi (PBR), menolak mencalonkan Ranggalawe. Dia
tak terima perlakuan itu, lalu ke Jakarta mengajukan uji materi ke Mahkamah
Konstitusi.
MK
akhirnya menerima pengajuan uji materi ini. Landmark decision itu dikeluarkan
melalui keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 yang membolehkan calon perseorangan
ikut pilkada.
Kutipan
Putusan MK memuat naskah "Pendirian Mahkamah" 24 butir yang
memperkuat dalil bahwa Ranggalawe boleh ikut pilkada. Dari 24 butir itu, 11
butir menyebut "UU Pemerintahan Aceh" sebagai rujukan.
Mengapa
Aceh? Pasalnya, pemilihan gubernur (pilgub) di Aceh dimenangi calon
perseorangan Irwandi Yusuf.
Pilgub di
Aceh "proyek percontohan" sukses yang patut ditiru provinsi-provinsi
lainnya. Ibaratnya, UU Pemerintahan Aceh adalah asam di gunung, sedangkan uji
materi Ranggalawe garam di laut, mereka bersua di kuali MK di Ibu Kota.
Namun,
sejak keputusan MK tersebut, cuma segelintir dari ratusan calon perseorangan
yang mengikuti pilkada di berbagai tingkatan. Jumlah yang mencalonkan dan juga
yang akhirnya menang, hanya dalam hitungan jari saja.
Pilkada
DKI
Februari
tahun depan, Pilkada DKI Jakarta akan digelar. Gubernur DKI Basuki Tjahaja
Purnama, menurut berbagai survei, saat ini merupakan calon kuat.
Mungkin
lawan Basuki yang paling serius akan datang dari Partai Gerindra, partai yang
mencalonkan Basuki sebagai cagub mendampingi Joko Widodo (PDI-P) pada tahun
2012. Gerindra sudah menjaring delapan cagub yang dalam beberapa bulan ke depan
akan dikerucutkan menjadi tiga, kemudian satu cagub yang dianggap terbaik.
Gerindra
berada di peringkat kedua merebut 92 dari 264 pilkada 9 Desember 2015, sebuah
prestasi fenomenal. Konsistensi Gerindra di Koalisi Merah Putih bisa menjadi
keuntungan komparatif.
Lebih
penting lagi, Gerindra berpengalaman menyiapkan sekaligus memenangi kursi
Jokowi-Basuki di Jakarta. Dalam perjalanan, setelah Basuki keluar dari
Gerindra, partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu tak henti-hentinya
menyuarakan kritik vokal lewat DPRD-DKI.
Basuki
sendiri memiliki keleluasaan untuk mencalonkan diri sebagai calon perseorangan
atau melalui partai. Dan, partai yang paling mungkin mengusung Basuki sampai
saat ini adalah PDI-P.
Untuk
memudahkan, Basuki bisa saja secara resmi menjadi anggota PDI-P. Jika ini
terjadi, PDI-P akan jadi partai ketiga yang bagi Basuki setelah Partai Golkar
dan Partai Gerindra.
Apakah
pendukung Basuki, terutama Teman Ahok yang telah mengumpulkan sekitar 630.000
fotokopi KTP agar memenuhi syarat dia sebagai calon perseorangan, akan
keberatan? Tampaknya belum tentu demikian.
Sekali
lagi, Basuki memiliki keleluasaan memilih mana yang terbaik bagi dirinya.
Paling penting, Basuki sampai saat ini masih menjadi kandidat terpopuler.
Di mata
sebagian warga, Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki terbukti jadi lebih baik.
Penyebabnya, pertama, Basuki selalu berbicara jujur dan, kedua, mengerjakan apa
yang mesti dikerjakan oleh seorang Gubernur Ibu Kota.
Gaya
memimpin seperti itulah yang kita saksikan saat Basuki berbicara kepada media
melalui door-stop interview hampir setiap hari saat tiba di teras Kantor
Gubernur.
Mungkin
cara berbicara Basuki yang terkesan kasar menjadi persoalan bagi sebagian
kalangan. Namun, belakangan ini kesan itu makin pudar.
Juga
telah terbukti hal-hal yang bersifat primordial yang melekat pada Basuki tidak
lagi relevan bagi para pemilih di Ibu Kota. Sudah sia-sia bagi para pesaing
Basuki untuk memanipulasi primordialisme dalam kampanye pilgub kelak.
Terakhir,
warga Jakarta rupanya masih percaya pada "fenomena Jokowi-Ahok" pada
Pilgub DKI 2012. []
KOMPAS,
30 Januari 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar