Rabu, 10 Februari 2016

Dahlan: Merindukan Al Ahmadi dari Zaman Samsung



Merindukan Al Ahmadi dari Zaman Samsung
Oleh: Dahlan Iskan

Dalam tiga hari saja saya sudah berbicara kepada lebih 5.000 anak muda yang tertarik memulai bisnis: di IPB Bogor pekan lalu, di ITS Surabaya hari Sabtu (5/12), dan Minggu kemarin (6/12) di Batam.

Kian banyak saja mahasiswa, sambil terus kuliah, yang sudah terjun ke bisnis. Kecil-kecilan. Jenis bisnisnya pun begitu beraneka. Mulai membuat virgin oil dari kelapa, goreng bawang, keripik bayam, sampai teknologi tinggi.

Dengan demikian, begitu mereka nanti lulus dari perguruan tinggi, dua hal mereka dapat: kesarjanaan secara ilmu dan kematangan secara kejiwaan. Mereka memiliki nilai plus karena sudah mengalami rasanya ditipu, bertengkar, bangkrut kecil-kecilan, dan gagal membuat produk yang disukai konsumen.

Di antara puluhan mahasiswa yang saya minta naik panggung, lebih dari separo berhasil memulai usaha tanpa modal. Hampir 100 persen pernah ditipu, bahkan ada yang berkali-kali. Yang membanggakan, tidak ada yang setelah tertipu merasa kapok untuk bangkit lagi. Doktrin ”calon pengusaha sukses adalah yang kalau jatuh selalu berani bangkit” rupanya sudah diyakini secara luas.
Di Jawa Pos Group sendiri ada yang mendirikan institut bisnis: lembaga setengah formal untuk menggairahkan munculnya pengusaha muda dan pengusaha pemula. Entrepreneur School. Dibuat Batam Pos di Batam, tapi wilayah kerjanya se-Sumatera. Mulai kursus-kursus, kuliah umum, monitoring, konsultasi bisnis, sampai penghargaan bisnis bagi mahasiswa dan pemula yang sukses.

”Pak, dua tahun lalu saya berjanji kepada Bapak tidak akan bertemu Bapak kalau omzet saya belum naik,” ujar seorang perempuan muda yang mendekati kursi saya di Batam kemarin.

Dia mulai usaha keripik singkong. ”Sudah naik berapa?” tanya saya. ”Waktu itu satu hari saya hanya berhasil menjual 10 kilogram,” katanya. ”Sekarang sudah 80 kilogram.”

Saya ingin menciumnya untuk menunjukkan rasa haru saya. Tapi, yang antre ingin melapor (dan minta foto bersama) terlalu banyak.

Ada yang mengadu mendapat fitnah. Dia jualan es puter. ”Es saya diisukan mengandung bahan tidak halal,” ungkapnya. ”Saya menangis,” tambahnya.

Itu empat bulan lalu. Dia minta saran apa yang harus dia lakukan. ”Apakah sekarang jualan es Anda merosot?” tanya saya. ”Tidak, Pak. Justru tambah laris,” katanya.

Maka saya pun tidak perlu memberi nasihat. Saya kemukakan bahwa orang itu, untuk bisa lebih maju, kadang harus difitnah dulu. Saya yakin, sejak menerima fitnah itu, hatinya sakit. Dendam. Berontak. Lalu kerja lebih keras. Cari akal lebih kreatif.

Seorang ibu muda dari Padang naik panggung dengan menggendong bayinya yang kira-kira berumur enam bulan. Dia hampir menangis saat curhat betapa sakit hatinya ketika keluarganya menghina-hinanya sebagai ibu yang kurang bermoral. Gara-garanya, dia terus jualan rendang saat bayinya baru berumur satu bulan.

Saya ambil bayi itu dari gendongannya. Saya gendong dia. Agar ibunya bisa memegang mik dengan baik. Untuk berbagi curhat kepada anak muda yang memenuhi ballroom hotel terbaik di Batam itu.

Ada juga seorang ustad dengan kopiah model sufi yang curhat. Beliau bergerak di dunia seni dan membina pondok pesantren.

Sejak empat tahun lalu beliau memutuskan terjun ke dunia bisnis: jualan bawang goreng. Waktu pertama menggoreng bawang, beliau tahu betapa tidak mudahnya pekerjaan menggoreng bawang merah: gosong semua. Kini beliau sudah ahli. Saya cium tangan beliau.

Bukan karena beliau ustad, tapi untuk mengetahui apakah ada aroma bawang di tangannya. Benar. Bau bawang. Berarti beliau benar-benar terjun sendiri, menggeluti sendiri, dan menjiwai sendiri bisnis itu. Tidak heran kalau usahanya maju. Yang beliau tanyakan: bagaimana bisa maju lebih besar dan lebih cepat?

Saya tidak memberi nasihat yang diminta. Saya hanya menceritakan keyakinan saya bahwa ”seseorang yang secara konsisten dan tidak mudah tergoda dalam menjalani syariat dalam hidup ini akan menemukan hakikatnya sendiri dan makrifatnya sendiri”. Termasuk hakikat dan makrifat dalam bisnis.

Tidak ada hukum bisnis ”besar mendadak”. Kecuali sebangsa mama minta pulsa.

Tidak ada orang yang tiba-tiba makrifat. Melihat gelombang kegigihan anak muda, perempuan, dan pemula dalam dunia bisnis ini, saya sangat optimistis akan masa depan Indonesia. Indonesia nanti akan terpaksa maju oleh kian banyaknya orang-orang seperti itu.

Doa saya satu: semoga anak-anak muda seperti itu tidak cepat tergoda oleh dunia politik. Misalnya lebih tertarik menjadi tim sukses. Yang bisa mendapat uang lebih mudah. Daripada berbisnis yang memerlukan ketekunan, kenjelimetan, kegigihan, dan konsistensi tinggi. Yang begitu susahnya.

Musuh pemula dalam bisnis adalah godaan-godaan politik seperti itu. Bisa merusak jiwa entrepreneur. Jiwanya yang rusak.

Para pemenang kemarin itu menerima Piala Al Ahmadi. Nama tersebut diambil dari orang Melayu pertama yang jadi konglomerat.

Di tahun 1908. Namanya Al Ahmadi. Rumahnya di salah satu pulau di Natuna. Beliau memulai usaha sebagai pedagang kopra, lalu ke hasil bumi lainnya. Sampai memiliki perusahaan percetakan dan penerbit di Singapura  dan Johor. Nama grup usahanya Syarkah (Syarikat) Al Ahmadi. Dia sezaman dengan Oei Tiong Ham, konglomerat terbesar Asia saat itu dari Semarang yang juga bergerak di hasil bumi (gula).

Pekan depan saya ingin ceritakan seorang mahasiswa dari Medan yang sudah mulai berusaha dengan mimpinya menjadi Samsungnya Indonesia. Dia juara Piala Al Ahmadi tahun lalu. Berada di tengah lautan anak muda yang memulai usaha ini, saya merasa dunia ini benar-benar lebih luas daripada daun kelor. (*)

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar