Selasa, 16 Februari 2016

Quraish Shihab: Timur dan Barat di Era Globalisasi (1)



Timur dan Barat di Era Globalisasi*
Oleh: M. Quraish Shihab

Pada tanggal 8 dan 9 Juni 2015 lalu, penulis berkesempatan memenuhi undangan Comunità Sant’Egidio Florence, Italia, yang bekerja sama dengan Majelis al-Hukama al-Muslimin pimpinan Syaikh al-Azhar Mesir yang melaksanakan “Dialog Timur dan Barat Menuju Peradaban”. Berikut ini kutipan beberapa bagian makalah yang telah penulis terjemahkan.

Dahulu―jauh sebelum era globalisasi―kitab suci umat Islam telah menekankan perlunya kerja sama antara manusia seluruhnya dalam keragaman kebangsaan dan kepercayaan mereka. Itu berdasar firman-Nya: Bekerjasamalah kalian dalam kebajikan dan ketaqwaan dan jangan bekerja sama dalam dosa dan permusuhan (QS. al-Ma’idah [5]: 2).

Nabi umat Islam―Muhammad saw.―mengibaratkan manusia dalam kehidupan dunia ini sebagai penumpang-penumpang satu perahu yang terdiri dari dua tingkat. Sebagian tinggal di bagian bawah dan sebagian lainnya di tingkat atas. Mereka yang di bawah bila akan memperoleh air harus naik ke atas melewati para penumpang yang di atas, maka mereka berkata: “Seandainya kita melubangi perahu untuk mengambil air agar kita tidak mengganggu para penumpang yang di atas….” Nabi Muhammad selanjutnya menegaskan bahwa: “Apabila para penumpang membiarkan mereka melubangi perahu, maka mereka semua akan binasa (tenggelam), tetapi bila penumpang yang di bawah dicegah, maka mereka semua akan selamat.”

Perumpaan di atas menekankan bahwa maksud penumpang yang berada di tingkat bawah kapal, yakni tidak ingin mengganggu penumpang yang berada di tingkat atas. Tapi, cara mereka untuk mengambil air dengan membocorkan perahu mengakibatkan kebinasaan semua penumpang, kecuali jika orang-orang arif berhasil melaksanakan tugas mereka―menghalangi siapa pun―untuk meraih manfaat dengan jalan merugikan pihak lain.

Dewasa ini―di era globalisasi―ketika dunia diibaratkan telah menjadi “desa kecil” atau dalam istilah Nabi Muhammad saw. sebagai kehidupan dalam suatu perahu, alangkah pentingnya kita bekerja sama menyelamatkan perahu yang kita tumpangi bersama. Saya yakin bahwa hadirin sekalian merupakan tokoh-tokoh yang berada di barisan paling depan dalam upaya menyelamatkan perahu dan penumpang-penumpangnya.

Dahulu orang berkata, “Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat. Keduanya tidak dapat bertemu.” Bisa jadi ungkapan ini ada benarnya sebelum era globalisasi, tetapi kini tidak lagi karena globalisasi telah mengubah banyak hal, termasuk ide dan pengertian-pengertian sehingga ungkapan tersebut mestinya dewasa ini tidak lagi memiliki dasar. Bisa jadi dahulu ungkapan itu memiliki dasar bagi mereka yang mengarahkan pandangan kepada tokoh-tokoh ternama di Timur dan Barat sambil memperhatikan kecenderungan dan kegiatan mereka. Memang tidak akan terlintas dalam benak ketika menyebut nama-nama populer di Timur, seperti Confucius, Mahabharata, Buddha, kecuali nilai-nilai spiritual, sedang bila disebut nama-nama populer di dunia Barat, seperti Plato, Socrates, Aristoteles, maka yang muncul adalah karya-karya filsafat yang berlandaskan pemikiran akliah. Bisa jadi juga ungkapan di atas lahir setelah menyadari bahwa orang Timur biasanya melukiskan buah pikirannya dengan berkata, “Saya rasa…,” sedang orang Barat berkata, “Saya pikir….” Orang Barat membuktikan wujudnya melalui pikirannya sehingga Descartes berkata, “Saya berpikir jadi saya ada.
Betapapun, ide tentang tidak bertemunya Barat dan Timur merupakan ide yang usang. Kini di masa globalisasi ini, kita berkewajiban membangun jembatan untuk mempertemukannya, mempertemukan akal dan jiwa serta pemikiran dan rasa. Dahulu di Alexandria, Mesir, melalui Filsafat Neo-Platonisme telah lahir hasil-hasil pemikiran yang memadukan antara akal dan jiwa.

Konon perjalanan Alexander the Great ke Timur dan ke Barat bertujuan memadukan keduanya, hanya saja upaya tersebut lebih banyak dalam bentuk ekspedisi fisik, bukan dalam bentuk pertemuan ide.

Islam atau katakanlah agama yang dibawa oleh para Nabi pada hakikatnya bertujuan memadukan keduanya atas dasar bahwa agama diturunkan untuk manusia, sedang manusia adalah gabungan dari ruh Ilahi dan debu tanah dalam kadar-kadar tertentu.

Bukanlah maksud upaya kita membangun jembatan untuk mempertemukan Timur dan Barat untuk menghapus perbedaan-perbedaan kita atau mengingkarinya karena tidak ada hak bagi satu negara atau bangsa, apalagi perorangan atau organisasi, untuk memaksakan pendapat atau keinginannya. Setiap bangsa, setiap kelompok orang pada masyarakat apa pun merasa terhormat dengan nilai-nilai dan moralitasnya, dengan keimanan dan budayanya, betapa besar pun perbedaannya atau bahkan betapapun bertolak-belakangnya dengan pihak-pihak lain dan betapa besar pun penolakan pihak lain terhadap mereka. Ini karena manusia masa kini hidup di era globalisasi dengan hak-hak asasi manusia serta hak-hak untuk bersuara, tetapi hak-hak yang diakui itu tidak boleh menjadikan siapa pun berhak mengecam, merendahkan, dan mengejek kepercayaan, budaya, dan prinsip-prinsip pihak lain.

Izinkanlah saya membacakan beberapa ayat al-Qur’an. Allah berfirman memberi tuntunan kepada seluruh kaum Muslim kapan dan di mana pun mereka berada: Janganlah kamu memaki orang-orang yang menyembah selain Allah, sehingga mereka pun memaki Allah melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami memperindah bagi setiap umat amal perbuatan mereka (QS. al-An’am [6]: 108). Terlihat dari teks tersebut bahwa kendati kaum Muslim percaya tentang keburukan penyembahan berhala dan penyimpangannya yang sangat jelas dari akal yang sehat, namun Allah melarang umat Islam memakinya karena para penyembah berhala itu menilai baik amal mereka.

Selanjutnya, kendati setiap agama―termasuk agama Islam―menuntut pemeluknya agar percaya sepenuh hati tentang kebenaran agama yang dianutnya. Namun demikian―demi hidup bersama dalam kedamaian―kitab suci umat Islam memerintahkan pemeluknya untuk mengembalikan putusan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah kepada Tuhan Yang Maha Esa di hari kemudian. Dalam konteks ini, Allah berfirman: Katakanlah, Kami orang-orang beriman dan kalian orang-orang musyrik berada pada dua pilihan: petunjuk kesesatan yang nyata. Katakan kepada mereka, “Kalian tidak akan ditanya tentang dosa-dosa kami, dan kami pun tidak akan ditanya tentang dosa-dosa kalian.” Katakan pula kepada mereka, “Pada hari kiamat nanti, Allah akan menghimpun kita dan akan memberikan keputusan antara kita secara adil. Dialah yang Maha Memutuskan segala persoalan dan Mahatahu akan kebenaran di antara kita (QS. Saba’ [34]: 27].

Demikianlah, setiap umat atau masyarakat memiliki kepercayaan, adat istiadat, dan budaya yang seyogianya dihormati walau penghormataan tersebut bukan berarti membenarkan atau menerimanya. []

*Uraian ini asalnya adalah makalah yang penulis sampaikan pada Konferensi Internasional tentang “East and West: Dialogue between Civilizations? Timur dan Barat Menuju Dialog Peradaban” yang diselenggarakan oleh Comunità Sant’Egidio Florence, Italia, bekerja sama dengan Majelis al-Hukama al-Muslimin pada tanggal 8-9 Juni 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar