Timur dan
Barat di Era Globalisasi*
Oleh: M. Quraish Shihab
Pada tanggal 8 dan 9 Juni 2015
lalu, penulis berkesempatan memenuhi undangan Comunità Sant’Egidio Florence,
Italia, yang bekerja sama dengan Majelis al-Hukama al-Muslimin pimpinan Syaikh
al-Azhar Mesir yang melaksanakan “Dialog Timur dan Barat Menuju Peradaban”.
Berikut ini kutipan beberapa bagian makalah yang telah penulis terjemahkan.
Dahulu―jauh
sebelum era globalisasi―kitab suci umat Islam telah menekankan perlunya kerja
sama antara manusia seluruhnya dalam keragaman kebangsaan dan kepercayaan
mereka. Itu berdasar firman-Nya: Bekerjasamalah kalian dalam kebajikan dan
ketaqwaan dan jangan bekerja sama dalam dosa dan permusuhan (QS. al-Ma’idah
[5]: 2).
Nabi umat
Islam―Muhammad saw.―mengibaratkan manusia dalam kehidupan dunia ini sebagai
penumpang-penumpang satu perahu yang terdiri dari dua tingkat. Sebagian tinggal
di bagian bawah dan sebagian lainnya di tingkat atas. Mereka yang di bawah bila
akan memperoleh air harus naik ke atas melewati para penumpang yang di atas,
maka mereka berkata: “Seandainya kita melubangi perahu untuk mengambil air agar
kita tidak mengganggu para penumpang yang di atas….” Nabi Muhammad selanjutnya
menegaskan bahwa: “Apabila para penumpang membiarkan mereka melubangi perahu,
maka mereka semua akan binasa (tenggelam), tetapi bila penumpang yang di bawah
dicegah, maka mereka semua akan selamat.”
Perumpaan
di atas menekankan bahwa maksud penumpang yang berada di tingkat bawah kapal,
yakni tidak ingin mengganggu penumpang yang berada di tingkat atas. Tapi, cara
mereka untuk mengambil air dengan membocorkan perahu mengakibatkan kebinasaan
semua penumpang, kecuali jika orang-orang arif berhasil melaksanakan tugas
mereka―menghalangi siapa pun―untuk meraih manfaat dengan jalan merugikan pihak
lain.
Dewasa
ini―di era globalisasi―ketika dunia diibaratkan telah menjadi “desa kecil” atau
dalam istilah Nabi Muhammad saw. sebagai kehidupan dalam suatu perahu, alangkah
pentingnya kita bekerja sama menyelamatkan perahu yang kita tumpangi bersama.
Saya yakin bahwa hadirin sekalian merupakan tokoh-tokoh yang berada di barisan
paling depan dalam upaya menyelamatkan perahu dan penumpang-penumpangnya.
Dahulu
orang berkata, “Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat. Keduanya tidak dapat
bertemu.” Bisa jadi ungkapan ini ada benarnya sebelum era globalisasi, tetapi
kini tidak lagi karena globalisasi telah mengubah banyak hal, termasuk ide dan
pengertian-pengertian sehingga ungkapan tersebut mestinya dewasa ini tidak lagi
memiliki dasar. Bisa jadi dahulu ungkapan itu memiliki dasar bagi mereka yang
mengarahkan pandangan kepada tokoh-tokoh ternama di Timur dan Barat sambil
memperhatikan kecenderungan dan kegiatan mereka. Memang tidak akan terlintas dalam
benak ketika menyebut nama-nama populer di Timur, seperti Confucius,
Mahabharata, Buddha, kecuali nilai-nilai spiritual, sedang bila disebut
nama-nama populer di dunia Barat, seperti Plato, Socrates, Aristoteles, maka
yang muncul adalah karya-karya filsafat yang berlandaskan pemikiran akliah.
Bisa jadi juga ungkapan di atas lahir setelah menyadari bahwa orang Timur
biasanya melukiskan buah pikirannya dengan berkata, “Saya rasa…,” sedang orang
Barat berkata, “Saya pikir….”
Orang Barat membuktikan wujudnya melalui pikirannya sehingga Descartes berkata,
“Saya berpikir jadi saya
ada.”
Betapapun,
ide tentang tidak bertemunya Barat dan Timur merupakan ide yang usang. Kini di
masa globalisasi ini, kita berkewajiban membangun jembatan untuk
mempertemukannya, mempertemukan akal dan jiwa serta pemikiran dan rasa. Dahulu
di Alexandria, Mesir, melalui Filsafat Neo-Platonisme telah lahir hasil-hasil
pemikiran yang memadukan antara akal dan jiwa.
Konon
perjalanan Alexander the Great ke Timur dan ke Barat bertujuan memadukan
keduanya, hanya saja upaya tersebut lebih banyak dalam bentuk ekspedisi fisik,
bukan dalam bentuk pertemuan ide.
Islam
atau katakanlah agama yang dibawa oleh para Nabi pada hakikatnya bertujuan
memadukan keduanya atas dasar bahwa agama diturunkan untuk manusia, sedang
manusia adalah gabungan dari ruh Ilahi dan debu tanah dalam kadar-kadar
tertentu.
Bukanlah
maksud upaya kita membangun jembatan untuk mempertemukan Timur dan Barat untuk
menghapus perbedaan-perbedaan kita atau mengingkarinya karena tidak ada hak
bagi satu negara atau bangsa, apalagi perorangan atau organisasi, untuk
memaksakan pendapat atau keinginannya. Setiap bangsa, setiap kelompok orang
pada masyarakat apa pun merasa terhormat dengan nilai-nilai dan moralitasnya,
dengan keimanan dan budayanya, betapa besar pun perbedaannya atau bahkan
betapapun bertolak-belakangnya dengan pihak-pihak lain dan betapa besar pun
penolakan pihak lain terhadap mereka. Ini karena manusia masa kini hidup di era
globalisasi dengan hak-hak asasi manusia serta hak-hak untuk bersuara, tetapi
hak-hak yang diakui itu tidak boleh menjadikan siapa pun berhak mengecam,
merendahkan, dan mengejek kepercayaan, budaya, dan prinsip-prinsip pihak lain.
Izinkanlah
saya membacakan beberapa ayat al-Qur’an. Allah berfirman memberi tuntunan
kepada seluruh kaum Muslim kapan dan di mana pun mereka berada: Janganlah kamu memaki orang-orang yang
menyembah selain Allah, sehingga mereka pun memaki Allah melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami memperindah bagi setiap umat amal perbuatan
mereka (QS. al-An’am [6]: 108). Terlihat dari teks
tersebut bahwa kendati kaum Muslim percaya tentang keburukan penyembahan
berhala dan penyimpangannya yang sangat jelas dari akal yang sehat, namun Allah
melarang umat Islam memakinya karena para penyembah berhala itu menilai baik
amal mereka.
Selanjutnya,
kendati setiap agama―termasuk agama Islam―menuntut pemeluknya agar percaya
sepenuh hati tentang kebenaran agama yang dianutnya. Namun demikian―demi hidup
bersama dalam kedamaian―kitab suci umat Islam memerintahkan pemeluknya untuk
mengembalikan putusan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah kepada
Tuhan Yang Maha Esa di hari kemudian. Dalam konteks ini, Allah berfirman: Katakanlah, Kami orang-orang beriman
dan kalian orang-orang musyrik berada pada dua pilihan: petunjuk kesesatan yang
nyata. Katakan kepada mereka, “Kalian tidak akan ditanya tentang dosa-dosa
kami, dan kami pun tidak akan ditanya tentang dosa-dosa kalian.” Katakan pula
kepada mereka, “Pada hari kiamat nanti, Allah akan menghimpun kita dan akan
memberikan keputusan antara kita secara adil. Dialah yang Maha Memutuskan
segala persoalan dan Mahatahu akan kebenaran di antara kita (QS.
Saba’ [34]: 27].
Demikianlah,
setiap umat atau masyarakat memiliki kepercayaan, adat istiadat, dan budaya
yang seyogianya dihormati walau penghormataan tersebut bukan berarti
membenarkan atau menerimanya. []
*Uraian ini asalnya adalah
makalah yang penulis sampaikan pada Konferensi Internasional tentang “East and West: Dialogue between
Civilizations? Timur dan Barat Menuju Dialog Peradaban” yang
diselenggarakan oleh Comunità Sant’Egidio Florence, Italia, bekerja sama dengan
Majelis al-Hukama al-Muslimin pada tanggal 8-9 Juni 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar