Rabu, 03 Februari 2016

Mahfud MD: HAM Boleh Dilanggar



HAM Boleh Dilanggar
Oleh: Moh Mahfud MD

Bolehkah hak asasi manusia (HAM) itu dilanggar atau dikurangi? Jawabannya, ”Boleh”. HAM boleh dilanggar asal berdasar hukum. Ini penting dikemukakan karena terkadang kita bertemu dan berdebat dengan orang yang agak genit, sok memperjuangkan HAM secara membabi buta.

Setiap ada yang melakukan tindakan atau penilaian minor terhadap perilaku orang langsung dituding anti-HAM. Bahkan ada aktivis yang mempunyai kecenderungan, kalau ada tindakan hukum terhadap orang oleh aparat, langsung dituding melanggar HAM. Padahal, HAM memang boleh dilanggar. Lho, kok? Mari kita runut dulu masalahnya.

Semua orang yang pernah belajar di sekolah tahu bahwa HAM adalah hak yang melekat pada manusia yang diberikan oleh Tuhan, bukan diberikan oleh negara atau siapa pun. Sebab itu, setiap orang harus menghormati HAM orang lain. Negara harus melindungi dan menjamin agar HAM dinikmati oleh setiap orang.

Ide adanya konstitusi sebagai instrumen paling penting dalam hidup bernegara didasarkan pada paham bahwa HAM harus dihormati oleh semua orang dan harus dilindungi oleh negara. Konstitusi selalu memuat, minimal, dua hal. Pertama, pengakuan dan perlindungan terhadap HAM. Kedua, ada pemerintahan yang tugas dan kewenangannya dibatasi demi tegaknya perlindungan terhadap HAM.

Berdasar itu, konstitusionalisme diartikan sebagai paham bahwa negara harus mempunyai konstitusi yang memberi jaminan perlindungan terhadap HAM disertai dengan pembentukan lembaga-lembaga negara yang kekuasaan masing-masing dibatasi agar perlindungan atas HAM tersebut tak terlanggar. Tetapi, dengan begitu, bukan berarti, HAM itu tidak boleh dikurangi.

HAM boleh dilanggar berdasar UU kalau itu untuk melindungi HAM orang lain. Demi perlindungan HAM misalnya, jika ada orang bernama Fulan merampok, HAM si Fulan boleh dilanggar dan dirampas. Fulan itu boleh dikurung dan dirampas kebebasannya berdasar UU misalnya ditahan, diborgol, dipenjarakan, dirampas hartanya, bahkan bisa dijatuhi hukuman mati.

Itu semua adalah perampasan HAM yang diperbolehkan. Penembak yang mengeksekusi terpidana mati tidak bisa dikatakan melanggar HAM karena menembak itu ditugaskan oleh undang-undang. Adanya hukum pidana yang dituangkan dalam ratusan atau ribuan pasal undang-undang justru merupakan dasar pembolehan untuk mengurangi atau merampas HAM terhadap orang yang melanggar undang-undang.

Jadi, HAM bisa dibatasi, bahkan dirampas, demi perlindungan HAM bagi semua orang. Ketentuan bahwa HAM bisa dibatasi atau dilanggar itu sesuai ketentuan yang berlaku universal, berlaku kapan saja dan di mana pun. Di negara mana pun di dunia ini ada UU yang berisi pemberian izin kepada negara untuk melakukan tindakan melanggar HAM atas orang yang melanggar UU atau HAM orang lain.

Kalau ada konsep HAM yang harus diterima secara universal, yang berlaku universal adalah hukum HAM bahwa HAM boleh dibatasi, bahkan dirampas, berdasar UU. Selain itu, yang universal dari HAM itu sebenarnya adalah partikularnya yakni ada pembatasan atau pengurangan HAM berdasar situasi dan kondisi sosial masing-masing negara.

Ada perbuatan-perbuatan tertentu yang mungkin dianggap HAM yang mutlak harus dilindungi di negara-negara tertentu, tetapi dibatasi atau dilarang di negara-negara lain. Itulah yang disebut partikularisme dalam pemahaman dan pemberlakuan HAM. Faktanya, berbagai negara di dunia tidak selalu sama dalam memberlakukan masalah HAM tertentu ke dalam hukumnya.

Masalah perkawinan sejenis misalnya, ada negara-negara yang memperbolehkan dan mewadahinya di dalam hukum, tetapi jauh lebih banyak negara yang tidak membolehkan. Dari lebih 200 negara di dunia ini, hanya 22 negara yang memperbolehkan perkawinan sejenis. Partikularisme yang seperti itu bukan tidak berdasar.

Di dunia internasional ada dokumen yang bisa disebut sebagai dokumen deklarasi tentang tanggung jawab manusia. Deklarasi ini dikeluarkan oleh International Conference on Human Rights Policy (ICHRP) yang melibatkan tokoh-tokoh Barat dan Timur, termasuk 24 mantan kepala negara dan pemerintahan seperti Jimmy Carter (AS), Helmut Schmidt (Jerman), Lee Kuan Yew (Singapura), dan Malcolm Frazer (Austria).

Deklarasi yang dikeluarkan ICHRP ini menegaskan bahwa perlindungan HAM di dunia Barat dan dunia Timur itu berbeda. Di Barat menekankan pada kebebasan individu, di Timur lebih menekankan pada tanggung jawab dan komunitas. Di dunia Timur, HAM bisa dibatasi demi tanggung jawab dalam hidup bersama sebagai penyeimbang atas kebebasan individu.

Tegasnya, sebagai konsep dan fakta materi HAM yang harus dilindungi tidaklah universal, melainkan partikular, bergantung situasi dan kondisi masyarakat di negara masing-masing.

Undang-undang dasar yang berlaku di Indonesia, UUD NRI 1945, dalam Pasal 28J ayat (2) menegaskan bahwa HAM itu bisa dibatasi (dikurangi) berdasar UU demi ”... pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Tegasnya, konstitusi kita menganut paham, ”hak dan kebebasan manusia dihormati dan dilindungi, tetapi bisa dibatasi, bahkan dirampas, dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum”. Tidak ada HAM yang mutlak dan universal kecuali keuniversalan itu harus diartikan bahwa secara universal HAM itu tidaklah universal, melainkan partikular dan bisa dikurangi atau dilarang. []

KORAN SINDO, 30 Januari 2016
Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar