Mendirikan Negara Lain di Indonesia
Oleh: Azyumardi Azra
Mungkinkah ada ”negara” yang tidak berdasar Pancasila di
Indonesia? Pertanyaan ini patut diajukan karena selalu ada sel, kelompok, atau
organisasi yang ingin mengganti negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dengan ”negara” lain berbasis ideologi berbeda.
Contoh mutakhir dalam hal ini adalah Gerakan Fajar Nusantara
(Gafatar) yang menghebohkan dalam beberapa pekan terakhir (Azra, Kompas,
15/1/2016). Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti menyatakan, Gafatar bertujuan
membentuk negara sendiri (25/1).
Kalangan petinggi Gafatar boleh saja membantah tujuan akhir
organisasinya membentuk negara lain di Indonesia. Namun, dalam dokumen Gafatar,
jelas mereka ingin menciptakan Negara Kesatuan Tuhan Semesta Alam (NKSA), yang
lalu disebut ”Negeri Karunia Tuan Semesta Alam” (NKTSA). Negara ini juga
disebut ”Kerajaan Tuhan”.
Melihat ajaran dan praksis Gafatar, tampaknya NKSA atau NKTSA
mencerminkan kesesuaian dengan sinkretisme teologi dan ritual millah
Abraham—agama Yahudi, Kristianitas, dan Islam—yang mereka percaya dan pegang.
Berangkat dari Islam, perumus paham religio-politik Gafatar memadukannya dengan
aspek tertentu agama Yahudi dan Kristianitas, yang lalu melahirkan konsep dan
praksis negara sendiri.
Dengan demikian, Gafatar tidak mendasarkan diri pada atau
bertujuan membentuk khilafah, yang secara unik terasosiasi dengan aliran wacana
religio-politik Islam. Gafatar dalam batas tertentu melepaskan dari Islam, baik
dalam hal keimanan maupun dalam ibadah dan muamalah yang mengatur hubungan
sosial, termasuk politik dan negara.
Dis-asosiasi dengan khilafah atau bentuk negara Islam lain
merupakan ”penyimpangan” atau ”pengalihan” dari cita awal sang ”Messiah”
Gafatar, Ahmad Musadeq, yang sebelumnya adalah salah satu figur penting Negara
Islam Indonesia Komandemen Wilayah (NII KW) IX. Meski konsep dan praksis NII
berantakan seusai pendirinya SM Kartosuwiryo dieksekusi mati (5 September
1962), berbagai fiksi sisa NII, termasuk Mosadeq, tetap berusaha mewujudkan
negara Islam. Mosadeq lalu ”menyimpang” dari NII dengan mendirikan Al-Qiyadah
al-Islamiyah di tahun 2000.
Gafatar dengan genesisnya Komunitas Millah Abraham (Komar) dan
Al-Qiyadah al-Islamiyah, bukan satu-satunya kelompok yang ingin mendirikan
negara sendiri menggantikan negara-bangsa Indonesia. Ada kelompok atau friksi
NII lain yang secara keseluruhan merupakan gerakan indigenous—muncul dari bumi
Indonesia sendiri.
Di luar itu juga ada organisasi atau kelompok berorientasi
transnasional, yang lewat sejumlah cara juga ingin mendirikan negara lain di
Indonesia yang biasa mereka sebut khilafah atau daulah Islamiyah.
Gerakan itu menemukan momentum di Indonesia sejak demokratisasi
dan liberalisasi politik 1998. Momentum itu dapat tambahan daya dorong dari
peristiwa seperti penyerbuan AS dan sekutu ke Afghanistan (2001) dan Irak
(2003), kemunculan Arab Spring (sejak 2011), dan kebangkitan Negara Islam di
Irak dan Suriah (2013).
Mempertimbangkan kelatenan gagasan dan praksis indigenous di Tanah
Air dan bertahannya situasi kacau di Timur Tengah dan Asia Selatan—yang menjadi
raison d’etre gerakan transnasionalisme untuk penciptaan negara sendiri—bisa
diduga terus munculnya kelompok bertujuan serupa di masa depan. Karena itu,
pemerintah dan umat arus utama yang berkomitmen penuh pada negara-bangsa
Indonesia, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, perlu mencermati dan mewaspadai
dinamika yang berkembang di berbagai kelompok seperti Gafatar.
Antisipasi dapat dimulai dengan pengamatan lebih cermat atas
gagasan dan praksis keagamaan yang tak lazim atau menyimpang. Lazimnya,
kelompok atau organisasi seperti ini eksklusif dalam praksis keagamaan dan
religio-politik, meski secara sosial-politik mereka bisa saja menyatakan
berdasarkan Pancasila dan aktif dalam program aksi sosial.
Selanjutnya, perlu mencermati tahapan langkah praksis yang mereka
lakukan. Tahapan itu biasanya dimulai dengan sirrun (rahasia) berupa rekrutmen
anggota; jahrun (terbuka) dengan kegiatan sosial; hijrah (pindah) ke wilayah
tertentu; jihad atau harb atau qital (perang) melawan orang-orang yang tidak
mengikuti mereka; dan kemudian tahap futuh, kemenangan dengan terbentuknya
negara yang mereka perjuangkan.
Mendirikan negara sendiri dengan mengorbankan negara-bangsa
Indonesia, hemat saya, adalah utopian. Sejarah Indonesia sepanjang abad ke-20
dan menempuh abad ke-21 membuktikan komitmen mayoritas absolut warga bangsa
pada negara Indonesia tak pernah surut. Meski Indonesia masih menghadapi
sejumlah masalah, seperti ketidakadilan, korupsi yang merajalela, dan keadaban
publik yang merosot, bagian terbesar absolut warga tetap setia kepada
Indonesia.
Namun, bertahan dan tumbuhnya kelompok yang ingin mendirikan
negara lain di Indonesia menimbulkan kegaduhan dan kerepotan serius. Karena
itu, perhatian dan upaya dari pemerintah dan warga bangsa senantiasa diperlukan
sebelum segala sesuatu jadi ”terlalu sedikit” dan ”terlalu terlambat”. []
KOMPAS, 2 Februari 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar