Rabu, 03 Februari 2016

Cara Kiai Abdul Malik Kenang Detik Proklamasi



Cara Kiai Abdul Malik Kenang Detik Proklamasi

Sebuah kisah nyata yang dilakukan Syekh Abdul Malik bin Ilyas, seorang Mursyid Thariqah Syadziliyah dari Banyumas ini, barangkali dapat menggugah semangat nasionalisme kita atau untuk mengingatkan kepada mereka, yang mengatakan mengenang para pahlawan atau Hari Kemerdekaan sebagai hal yang dilarang dalam agama.

Syekh Abdul Malik, bahkan, dengan segala keadaan yang terbatas di tengah hutan dan cara yang sederhana, tapi tetap memberikan perhatian tersendiri akan momentum detik-detik proklamasi, yang biasa diperingati setiap tanggal 17 Agustus.

Kisah ini diceritakan oleh murid Syekh Abdul Malik, Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim Yahya, dalam sebuah pengajian.

Pernah suatu ketika kiai yang berasal dari daerah Purwokerto Banyumas tersebut mengajak Habib Lutfi jalan-jalan. Di tengah perjalanan di antara daerah Bantarbolang-Randudongkal, Kiai Abdul Malik tiba-tiba menyuruh untuk menghentikan perjalanannya.

“Pak Yuti, berhenti dulu,” perintah Kiai Malik kepada Suyuti, supir, untuk menghentikan mobil.

“Nggih Mbah,” jawab supir. Mobil pun menepi untuk berhenti.

“Ke tempat yang adem saja, biar enak untuk gelaran,” kata Kiai Malik.

Waktu itu sekitar pukul 09.45 WIB. Setelah mendapat tempat untuk beristirahat, tikar digelar dan termos juga dikeluarkan. Kiai Malik mengeluarkan rokok khasnya, klembak menyan, kemudian diraciknya sendiri sebelum dinikmati Sesekali dia mengeluarkan jam dari kantongnya, sembari berkata, “Dilut maning (sebentar lagi),”

Sang murid pun heran, ada apa gerangan yang berulang kali diucapkan gurunya ‘dilut maning’ itu.

Namun, setelah pukul 09.50 WIB, rokok yang belum habis tadi tiba-tiba dimatikan. Kemudian berkata, ”Ayo Pak Yuti, Habib mriki (ke sini)!”

Setelah itu Kiai Malik membacakan hadroh al Fatihah untuk Nabi, Sahabat dan seterusnya sampai disebutkan pula sejumlah nama pahlawan seperti Pangeran Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, Kiai Mojo, Jenderal Sudirman dan lain sebagainya.

Sampai ketika tepat pukul 10.00 WIB, Mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyyah ini terdiam beberapa saat dan kemudian berdoa Allahummaghfirlahum warhamhum. Setelah selesai, Habib Luthfi yang penasaran dengan apa yang dilakukan gurunya, kemudian bertanya kepada Syekh Malik, “Mbah, wonten napa ta (ada apa)?”

“Anu, napa niki jam 10, niku napa namine, Pak Karno Pak Hatta rumiyin moco napa (pukul 10 dulu Pak Karno Pak Hatta dulu membaca apa) ?” tanya Kiai Malik.

“Proklamasi, Mbah,” jawab Habib Luthfi.

“Ya niku lah, kita niku madep ngormati (ya itulah kita berhenti sejenak menghormati),” jawab Kiai Malik.

Betapa dalamnya cara para Kiai dan sesepuh kita di dalam menghormati dan menanamkan karakter nasionalisme.

“Sampai begitu mereka, kita ini belum ada apa-apanya, makanya sampai sekarang saya etok-etoke meniru, setiap tanggal 17 Agustus kita baca Al Fatihah. Rasa mencintai dan memiliki. Tanamkan kepada anak-anak kita!” tegas Habib Luthfi mengakhiri kisahnya. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar