Selasa, 09 Februari 2016

BamSoet: Tak Boleh Toleransi Ancaman Terorisme



Tak Boleh Toleransi Ancaman Terorisme
Oleh: Bambang Soesatyo

Demokrasi dan kebebasan sipil tidak berarti boleh memberi toleransi berlebih terhadap setiap potensi ancaman yang dimunculkan sekelompok orang di dalam masyarakat.

Sebaliknya, kebebasan sipil justru harus memberi jaminan maksimal bagi rasa aman yang dibutuhkan masyarakat. Maka revisi Undangundang (UU) No 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme harus berpijak pada kewajiban negara mewujudkan rasa aman masyarakat itu.

Kewajiban negara mewujudkan rasa aman bagi setiap warga negara sudah ditetapkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945; “… Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,kemudian, ..... Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….”

Tafsir yang relevan dari Alinea Keempat Pembukaan konstitusi itu adalah negara tidak boleh memberi toleransi sekecil apa pun terhadap setiap potensi ancaman yang dapat mencederai, apalagi menewaskan, warga negara Indonesia. Kalau negara memberi toleransi sehingga potensi ancaman itu berubah menjadi ancaman nyata, negara patut didakwa telah melanggar konstitusi.

Sebab negara sesungguhnya memiliki alat pemukul atau penangkal ancaman yang melekat pada fungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). TNI dan Polri harus diberi keleluasaan wewenang untuk mengeliminasi setiap potensi ancaman.

Tindakan mengeliminasi potensi ancaman itu tidak boleh dihambat oleh ragam alasan maupun argumentasi terkait hak asasi manusia (HAM). Individu atau kelompok orang yang nyata-nyata beraksi menebar ancaman terhadap orang lain adalah tindakan melanggar HAM karena ancaman selalu berakibat pada tercabutnya rasa aman orang atau komunitas.

Dan ketika negara melakukan pembiaran bagi individu atau kelompok yang beraksi menebar ancaman, negara pun telah melanggar HAM karena membiarkan rakyat berselimut takut. Potensi ancaman yang kini terus menghantui masyarakat adalah serangan terorisme. Potensi ancaman itu terefleksikan dari operasi penangkapan terduga teroris oleh TNI dan Polri di berbagai kota.

Bahkan negara harus menggelar operasi Camar Maleo di Sulawesi untuk memburu kelompok teroris pimpinan Santoso. Kendati begitu, potensi ancaman belum sepenuhnya tereliminasi. Operasi Camar Maleo IV yang telah berakhir belum lama ini gagal menangkap Santoso dan sekitar 20-an anggota kelompoknya yang tersisa.

Sementara itu, ratusan terduga teroris yang berafiliasi dengan ISIS dan telah menjalani latihan di Irak dan Suriah telah kembali ke kampung halamannya masingmasing. Pada saat yang sama, komunitas ASEAN sudah mendapatkan informasi bahwa ISIS akan berekspansi dengan membangun kekuatan di Asia Tenggara. Dan Indonesia atau Filipina akan dipilih sebagai basis ISIS di kawasan ini.

Berdasarkan data dan kecenderungan itu, tidak berlebihan jika dimunculkan kesimpulan sementara bahwa ancaman terorisme di dalam negeri sebenarnya terus tereskalasi. Mengacu pada kecenderungan itu, Presiden Joko Widodo pun memerintahkan TNI dan Polri memperkuat sinergi, karena akumulasi dua kekuatan itu sangat diperlukan untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa, khususnya menghadapi ancaman terorisme dan gangguan keamanan serta ketertiban umum.

Presiden mengeluarkan perintah itu dalam rapat pimpinan Polri dan TNI di Gedung Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta, Jumat (29/1). Namun strategi pencegahan dan pemberantasan terorisme selama ini belum efektif. Masih ada titik lemah dalam menyikapi eskalasi kegiatan terorisme pada dekade ini.

Titik lemah itulah mendorong wacana tentang revisi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Sebagaimana dijelaskan oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Polri dan TNI selama ini tidak bisa berbuat banyak terhadap individu atau sekelompok orang terduga teroris yang jelas-jelas mendukung atau terlibat dalam kegiatan terorisme Contoh kasusnya seperti ini:

Polri memiliki informasi dan data tentang adanya sekelompok WNI yang bergabung dan mengikuti pelatihan militer ilegal di Filipina Selatan. Polri mengidentifikasi kelompok itu sebagai teroris. Tapi Polri tidak punya landasan hukum untuk merespons temuan-temuan kasus seperti itu.

Kalau menindak kelompok-kelompok seperti itu, Polri akan dihujani tuduhan melanggar HAM. Karena itu, Kapolri berharap agar fungsi pencegahan dalam pemberantasan terorisme dapat diperkuat melalui payung hukum revisi UU No.15/2003 yang sedang dirancang pemerintah.

Update Derajat Ancaman

Untuk membangun dan mewujudkan rasa aman masyarakat, perubahan serta penguatan UU Pencegahan dan pemberantasan terorisme di Indonesia adalah pilihan tak terhindarkan. Acuan dari revisi UU dimaksud adalah skala dan derajat ancaman dari kelompok- kelompok pelaku teror dekade terkini. Persepsi tentang derajat ancaman teroris era terkini tidak sama dengan era pelaku teror Ilich Ramirez Sanchez alias Carlos the Jackal.

Carlos fokus menyasar target serangan seperti halnya ketika dia menyerbu markas besar Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Wina, Austria, tahun 1975. Derajat ancaman pelaku teror saat ini sangat berbeda. Target serangannya acak, bahkan tega memuntahkan tembakan membabi buta, membunuh orang-orang yang tidak mengerti apa-apa di ruang publik.

Lihatlah pada tragedi 9 September 2001 (9/11) di New York dan juga Paris Attack pada November 2015. Di New York, pelaku teror menabrakkan dua pesawat ke Menara Kembar World Trade Center sehingga runtuh dua jam kemudian. Dari rangkaian serangan hari itu, pihak berwajib mencatat sekitar 3.000 jiwa tewas.

Dalam tragedi Paris Attack, 130 orang dipastikan tewas. Serangannya masif dan mematikan. Rangkaian serangannya pun terencana, ditandai dengan penembakan massal, bom bunuh diri dan penyanderaan. Kalau pelaku teror masa kini bisa melakukannya di New York dan Paris, mereka pun bisa melakukannya di kota lain, termasuk kota-kota di Indonesia.

Pelaku teror sekarang pun sangat kejam dan brutal. Menurut laporan terbaru dari Syrian Observatory for Human Rights, ISIS telah membunuh 113 warga sipil di Suriah sejak 29 Desember 2015 hingga 29 Januari 2016, termasuk 10 wanita dan 10 anak-anak. Juga dilaporkan bahwa sejak kemunculannya pada Juni 2014, ISIS telah mengeksekusi 2.114 warga sipil di sejumlah wilayah di Suriah.

Eksekusi keji itu dilakukan dengan cara ditembak mati, dipenggal, dilempari batu, dibakar atau dilemparkan dari atas gedung tinggi. Dari jumlah itu, termasuk di antaranya 116 wanita dan 78 anak-anak. Kekejaman dan kebrutalan mereka sudah mencerminkan kejahatan sangat luar biasa terhadap kemanusiaan.

Maka respons setiap negara yang menjadi target serangan teror pun harus luar biasa pula. Itulah urgensi dan relevansinya merevisi UU pemberantasan terorisme di Indonesia. Negara harus all out melindungi segenap warga bangsa dan tumpah darah Indonesia. April 2015, Malaysia meloloskan Undang-Undang Anti- Teror (POTA) yang sangat keras sehingga dikecam para penggiat HAM.

Tapi Malaysia sesungguhnya lebih maju dalam meng-update derajat ancaman terorisme masa kini. POTA (Prevention of Terrorism Act) adalah upaya negara mengeliminasi ancaman keganasan terorisme masa kini. POTA bisa dimaknai sebagai revisi atas ISA (Internal Security Act), UU anti teror yang diberlakukan di Malaysia sebelum POTA.

Kalau Malaysia bisa keras, mengapa Indonesia harus penuh toleran dalam menyikapi ancaman terorisme? Padahal, sebagai korban, pengalaman Indonesia jelas lebih banyak. Lagipula, melindungi keselamatan banyak orang sudah menjadi kewajiban negara, daripada sekadar menghormati HAM para terduga teroris. Menghormati HAM terduga teroris tidak boleh menghilangkan rasa aman masyarakat.

Itu prinsip yang tidak boleh ditawar-tawar. Maka revisi UU No.15/2003 harus mengarah pada pembesaran dan perluasan wewenang bagi TNI-Polri menyikapi para terduga teroris. TNI-Polri paling tahu apa yang paling dibutuhkan untuk mewujudkan dan menjaga rasa aman rakyat di negara ini. []

SUARA MERDEKA, 04 Februari 2016
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI/ Ketua Hankamnas FKPPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar