Kuliah
Umum di Jabatan Pengajian Melayu (I)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Dengan
perantaraan dosennya DR Azhar Ibrahim, saya diminta memberikan kuliah umum di
Jabatan Pengajian Melayu, Universitas Nasional Singapura, pada 13 Februari
2016. Istilah pengajian sama dengan kajian di Indonesia, sebab pengajian di
sini punya konotasi sebagai ceramah agama.
Judul
kuliah saya adalah “Tradisi Keagamaan dan Intelektual Indonesia dalam Lintasan
Sejarah (Tantangan Masa Kini)". Cukup banyak yang hadir di Perpustakaan
Nasional Singapura itu, umumnya kaum intelektual Melayu, wartawan, dosen,
seniman, mantan menteri, dan mahasiswa.
Kuliah
dan diskusi berlangsung selama dua jam, kemudian dengan peserta yang terbatas
dan santai diteruskan lagi di meja makan selama sekitar dua jam pula yang juga
dihadiri mantan koresponden Berita
Harian yang pernah bertugas selama lima tahun di Jakarta.
Sahabat kita ini masih tetap mengikuti segala kejadian penting di Indonesia.
Diskusi
berjalan lancar dan hidup, hampir tidak ada resistensi terhadap apa yang saya
sampaikan, sekali pun juga menyangkut masalah-masalah kontroversi, seperti
kotak Suni, kotak Syiah, mazhab dan nonmazhab, titik-titik lemah dunia Melayu
Muslim, dan lain-lain sebagaimana sebagian pernah ditulis di harian ini.
Biasanya,
umat Islam di Singapura atau Malaysia amat peka dengan isu-isu kontroversi.
Mungkin karena yang hadir adalah kaum terdidik, suasananya menjadi tenang,
penuh pengertian, tanpa gejolak emosi. Diskusi dalam iklim yang semacam ini
sungguh menyenangkan, perbedaan pandangan dinilai sebagai sesuatu yang saling
memperkaya.
Banyak
yang menyalami saya usai diskusi, pertanda kuliah yang disampaikan mengenai
sasarannya. Mantan menteri sambil menyalami saya mengatakan bahwa kuliah ini
lucid (cerah, tenang). Tentu saja saya gembira bahwa apa yang disampaikan tidak
menimbulkan kegaduhan dan hujatan.
Saya
perhatikan wajah Ketua Jabatan Prof Dr Noor Aishah Abdul Rahman yang tenang dan
antusias mengikuti kuliah umum. Artinya, intelektual Melayu/Muslim di Singapura
sudah cukup dewasa berhadapan dengan pemikiran kaum intelektual Muslim
kontemporer yang gelisah dalam upaya mencari jalan ke luar dari masalah-masalah
keislaman yang kini sedang berada di tikungan yang terjal. Adapun DR Azhar
Ibrahim, alumnus sebuah universitas di Kopenhagen (Denmark) dalam teologi
sosial, bertindak sebagai moderator yang lincah.
Berikut
ini adalah bagian dari kuliah umum itu. Di akhir “Resonansi” ini, dibicarakan
pula gerakan intelektual Indonesia sebagai buah dari sistem pendidikan Barat
yang tidak seluruhnya sama dengan isi kuliah umum itu.
Perjalanan
sejarah nusantara sebelum terbentuknya Indonesia sebagai bangsa dan kemudian
negara telah berlangsung dalam kurun yang panjang dan berliku. Sejak sekitar
abad kelima Masehi, di Kutai (Kalimantan Timur) dan di Jawa Barat sudah
dijumpai jejak kegiatan pemeluk agama Hindu dengan membentuk kerajaan-kerajaan
lokal dengan nama rajanya masing-masing Mulawarman dan Purnawarman.
Jejak
kegiatan pemeluk Buddha bahkan terjadi lebih awal di Jember dan di Palembang.
(Lihat G Coedes, The
Indianized States of Southeast Asia, diedit oleh Walter F Vella dan
diterjemahkan oleh Susan Brown Cowing. Honolulu: East-West Center Press, 1968,
hlm 18).
Kedua
agama yang berhulu di India itu kemudian selama berabad-abad telah menguasai
alam pikiran nusantara, bahkan para penguasanya mendirikan kerajaan-kerajaan
besar di Jawa dan Sumatra, seperti Sriwijaya dan Majapahit dengan peninggalan
candi-candi besar yang dipelihara dengan baik sebagai warisan sejarah yang
penting sampai hari ini.
Namun,
sejak sekitar abad ke-13/ke-14 peran kedua agama tua itu secara berangsur surut
digantikan oleh agama Islam sebagai pendatang baru. Belum ada satu teori pun
yang memuaskan sampai sekarang yang menjelaskan mengapa pada akhirnya Islam
memenangkan “pertarungan” lintas iman di panggung sejarah nusantara berhadapan
dengan agama Buddha, Hindu, dan kemudian agama Kristen. []
REPUBLIKA,
23 Februari 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar