Eskalasi
Kekuatan Serang Pelaku Teror
Oleh:
Bambang Soesatyo
‘’Tindakan
paling urgen dan relevan adalah segera memberlakukan pengamanan ekstra ketat
pada pusat-pusat kegiatan publik sarat objek vital di sejumlah kota besar
seperti Jakarta dan lainnya’’
KELOMPOK
pelaku teror di berbagai belahan dunia tidak hanya membangun dan memperluas
jaringan, tetapi juga sudah terbukti mampu mengeskalasi kekuatan serang.
Perkembangan kekuatan serang pelaku teror mulai terlihat sejak tragedi 11
September 2001 (9/11) di New York hingga Paris Attack pada November 2015.
Berdasarkan
kecenderungan itu, tidak ada salahnya jika pihak berwajib Indonesia pun mulai
meng-update potensi ancaman teror. Selain menggambarkan peningkatan kemampuan
menyerang, pola yang diterapkan pun mirip, yakni menyasar pusat-pusat kegiatan
publik yang sarat objek vital. Pola serangan itu tidak hanya tampak pada
tragedi 9/11 New York dan Paris Attack, tetapi juga pada kasus ledakan bom
bunuh diri Sarinah di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis, 14 Januari 2016,
serta ledakan bom Istanbul di Turki pada 12 Januari 2016.
Bom
Istanbul yang menewaskan sepuluh orang itu diledakkan di kawasan paling ramai
di kota itu, yakni area Masjid Sultan Ahmed yang popular dengan sebutan Masjid
Biru dan Hagia Sophia. Setiap hari, area ini menjadi titik persinggahan belasan
ribu wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Pelaku teror Sarinah juga
menerapkan pola yang sama.
Tempat
kejadian peristiwa/perkara (TKP) adalah jantung Jakarta yang sejajar dengan
Bundaran Hotel Indonesia. Setiap hari, publik lokal dan asing berlalulalang di
titik itu untuk berbagai keperluan. Dan, dalam radius kurang dari dua kilometer
dari TKP, berjejer atau bertumpuk objek vital seperti kompleks perkantoran Bank
Indonesia, Monumen Nasional, Istana Negara, Kantor Kementerian Dalam Negeri dan
Markas Besar TNI Angkatan Darat.
Teror
Sarinah lebih mirip teror Istanbul, yakni ledakan bom bunuh diri. Bedanya
dengan 9/11 New York dan Paris Attack mungkin pada aspek keberingasan pelaku,
pengorganisasian dan kekuatan finansial. Kemiripannya hanya pada pilihan aksi
di pusat kegiatan publik. Namun, saat beraksi, pelaku teror Sarinah tidak
melakukan penembakan membabibuta seperti halnya pada tragedi Paris Attack.
Itu
sebabnya jumlah korban dari kelompok warga hanya dua orang. Pun tidak ada
penyanderaan. Pelaku teror justru meledakkan bom bunuh diri ketika mereka sudah
terdesak. Kesannya sangat kuat bahwa serangan ini tidak dipersiapkan dengan
matang, dan target serta pesan yang ingin disampaikan sungguh tidak jelas. Dari
aspek kejiwaan pun para pelaku terkesan lemah dan penuh keraguan.
Berhasil
Dilumpuhkan
Menurut
pendataan Polri, total korban akibat teror di Sarinah 31 orang, dengan rincian
korban cedera 24, dan korban meninggal dunia tujuh. Dari tujuh korban meninggal
dunia itu, lima di antaranya adalah pelaku teror, satu korban berstatus WNI,
satu korban lainnya WNA. Aksi teror dan baku tembak itu hanya berlangsung 21
menit, terhitung sejak pukul 10.45 WIB saat ledakan pertama di Starbuck Cafe
hingga pukul 11.06 ketika para pelaku teror berhasil dilumpuhkan.
Tentu,
akan sangat mengerikan jika teror Sarinah memproyeksikan target besar, didukung
oleh kekuatan finansial yang mumpuni dengan rencana serta pengorganisasian yang
rapih. Kelompok pelaku teror terus bertumbuh di kawasan Asia Tenggara. Mereka
terus mencari peluang untuk beraksi. Mereka harus beraksi sebagai pembuktian
kepada kolega mereka dalam jaringan. Agar pembuktian itu mengglobal, pelaku
teror akan memilih pusat kegiatan publik yang sarat objek vital sebagai
sasaran.
Tren itu
terbaca pada serangan 9/11 New York, Paris Attack, bom Istanbul dan serangan
Sarinah. Kalau IS sudah membangun basisnya di Asia Tenggara yang sel-selnya
bertebaran di Indonesia, teror Sarinah adalah pembuktian dari jaringan IS Asia
Tenggara sel Indonesia bahwa mereka mampu melakukan serangan teror di jantung
Jakarta yang mengguncang dunia. Pihak berwajib Indonesia sudah mengakui bahwa
waktu dan lokasi serangan teror sulit diprediksi.
Maka,
tindakan paling urgen dan relevan adalah segera memberlakukan pengamanan ekstra
ketat pada pusat-pusat kegiatan publik sarat objek vital di sejumlah kota besar
seperti Jakarta dan lainnya. Pengamanan pada jalur Jalan MH Thamrin dan kawasan
Medan Merdeka Utara, Selatan, Barat dan Timur yang selama ini dikenal sebagai
area Ring Satu dalam pemetaan pengamanan harus ekstra ketat, baik darat maupun
wilayah udara.
Harus ada
pendekatan baru untuk pengamanan pada bangunan fasilitas publik seperti hotel,
pusat belanja dan perkantoran di kawasan lain, utamanya ruas jalan Jenderal
Sudirman, kawasan Rasuna Said/Kuningan dan kota Kasablanka. Satuan pengaman
(Satpam) pada setiap fasilitas publik itu harus didorong untuk bersikap dan
bertindak tegas serta lugas terhadap setiap hal yang layak dicurigai. Ketegasan
dan kelugasan Satpam Sarinah yang berani menghalau pelaku teror pembawa bom ke
pos polisi terdekat layak dijadikan contoh. []
SUARA
MERDEKA, 1 Februari 2016
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar