Kecepatan
Tanpa Responsibilitas
Oleh:
Yudi Latif
Kecepatan
keputusan Presiden Joko Widodo dalam mengabulkan proyek kereta cepat
Jakarta-Bandung menunjukkan bahwa tidak selamanya kecepatan bertindak itu
menunjukkan sikap responsif terhadap arus aspirasi publik.
Setidaknya
ada empat prinsip bagi kebijakan politik yang bersifat responsif: prinsip kemasuk-akalan,
efisiensi, keadilan, dan kebebasan. Dengan keempat prinsip ini, politik yang
responsif harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemenaan mengambil
kebijakan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan;
senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat
terhadap pemerintah. Dalam keputusan mengenai kereta cepat, Presiden setidaknya
mencederai prinsip pertama dan keempat.
Berbagai
keputusan Presiden Jokowi belakangan ini mulai mencemaskan para pendukungnya.
Tampil menjadi presiden karena meroketnya harapan akan pemerintahan yang lebih
responsif terhadap aspirasi publik, pemberian ruang yang melebar bagi pemenuhan
kepentingan segelintir orang membuat banyak orang merasa tidak bahagia.
Situasi
ini kian menguatkan apatisme dan pesimisme terhadap janji-janji demokrasi.
Demokrasi memang telah membawa perubahan, tetapi belum membawa kebahagiaan.
Padahal, kekuasaan harus diarahkan untuk mengejar kebahagiaan. Menurut Abu Nasr
al-Farabi dalam Al-Madinah al-Fadhilah, ”Negara yang baik berbuah kebahagiaan.”
Bagi
kebanyakan warga, rongrongan utama kebahagiaan ini berasal dari kualitas
pemerintahan. Negara merupakan penentu kebahagiaan ditunjukkan oleh survei di
50 negara, seperti dilaporkan Geoff Mulgan (2008). ”Pengaruh kualitas
pemerintah terhadap kebahagiaan hidup jauh melampaui efek yang ditimbulkan oleh
pendidikan, pendapatan, dan kesehatan, yang semua itu pun bergantung pada
kualitas pemerintahan.”
Usaha
demokrasi membawa kebahagiaan menuntut penjelmaan ”negara-pelayan”. Basis
legitimasi negara-pelayan bersumber pada empat jenis responsibilitas:
perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, dan keadilan.
Negara
memiliki legitimasi sejauh melindungi warganya dari bahaya. Hal ini karena
ketertiban dan keselamatan sangat esensial bukan hanya bagi kehidupan,
melainkan juga untuk meraih kebahagiaan. Terbukti, negara dengan pencapaian
tertinggi dalam indeks kebahagiaan, seperti Norwegia, Swiss, dan Denmark,
umumnya negara demokrasi stabil yang mampu menegakkan hukum, keamanan, dan
ketertiban.
Legitimasi
kedua adalah responsibilitas negara untuk mempromosikan kesejahteraan. Peran
pemerintah dalam memfasilitasi kesejahteraan sangat penting. Seperti
ditunjukkan Amartya Sen, kelaparan di sejumlah negara bukanlah karena
kekurangan makanan, melainkan karena rakyat tidak memiliki hak milik dan daya
beli sebagai akibat buruknya layanan pemerintahan.
Legitimasi
ketiga adalah kemampuan negara mempromosikan pengetahuan dan kebenaran. Tidak
ada perbantahan antara rezim demokratis dan nondemokratis atas pentingnya
pengetahuan. Bahkan, seorang Mao dalam Revolusi Kebudayaan meyakini, ”Sebanyak
apa pun mimpi kita, alam akan memberikannya sejauh ada pengetahuan.”
Legitimasi
pamungkas adalah kemampuan negara menegakkan keadilan. Menurut Aristoteles,
yang membedakan manusia dan binatang adalah kemampuan membedakan baik dan
buruk, adil dan zalim, yang mendapat puncak ekspresinya pada negara yang dapat
membedakan antara kebaikan dan keburukan. Keadilan negara sangat vital bagi
resolusi konflik dalam masyarakat multikultur.
Pemenuhan
keempat basis legitimasi negara-pelayan itu jadi pertaruhan atas kebahagiaan
warga negara. Para pendiri bangsa memosisikannya jadi tujuan negara dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Jalan
demokrasi Indonesia menuju kebahagiaan masih panjang. Untuk mencapainya, para
pemimpin politik harus tegak lurus di atas prinsip politik responsif. Terkait
hal itu, para pemimpin perlu memperkuat kesadaran harkat nasional di dirinya,
dan pertautan yang erat dengan akar rumputnya.
Bung
Karno pernah mengingatkan, ”Kelemahan jiwa kita ialah bahwa kita kurang percaya
kepada diri kita sendiri sebagai bangsa sehingga kita menjadi bangsa penjiplak
luar negeri, kurang percaya-memercayai satu sama lain padahal kita ini pada
asalnya ialah rakyat gotong royong, kurang berjiwa gigih melainkan terlalu
lekas mau enak dan ’cari gampangnya saja’. Dan itu semua karena makin
menipisnya ’rasa harkat nasional’,—makin menipisnya rasa ’national dignity’—,
makin menipisnya rasa bangga dan rasa hormat terhadap kemampuan dan kepribadian
bangsa dan rakyat sendiri.”
Bung
Karno juga menyesalkan pudarnya jiwa kerakyatan dari para pemimpin. ”Dulu itu
kita semua adalah ’rakyati’, dulu itu kita semua adalah ’volks’. Api pergerakan
kita dulu itu kita ambil dari dapur apinya rakyat. Segala pikiran dan
angan-angan kita dulu itu kita tujukan kepada kepentingan rakyat.”
Lantas,
ia pun bertanya secara retoris, ”Berapa orangkah dari alam pemimpin Indonesia
sekarang ini yang masih benar-benar ’rakyati’ seperti dulu, masih benar-benar
’volks’ seperti dulu?” []
KOMPAS, 9
Februari 2016
Yudi Latif | Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas
Pancasila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar