Menebak Akhir atau Awal Turbulensi
Oleh:
Dahlan Iskan
Ada
teori bahwa untuk bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi, harus bisa melewati
turbulensi. Adakah berbagai turbulensi yang terjadi selama tahun 2015
menandakan bahwa kita akan naik kelas di tahun 2016?
Ataukah masih akan terjadi berbagai turbulensi
susulan?
Radio bisnis Pas FM minggu lalu menampilkan dua
ekonom yang bisa menggambarkan dua sudut pandang. Yang satu ekonom INDEF Dr
Enny Sri Hartati. Satunya lagi Dr Purbaya Yudhi Sadewa yang dikenal berada dalam
lingkungan dekat istana.
Saya yang tampil bersama mereka mengenal
keduanya. Terutama Purbaya yang dulu pernah di Danareksa, salah satu BUMN
bidang keuangan.
Enny menunjukkan betapa buruknya ekonomi kita
di tahun 2015. Pengangguran meningkat, kemiskinan meningkat, pertumbuhan
ekonomi menurun, bahkan kualitas pertumbuhannya pun menurun.
Penyaluran kredit menurun, bahkan kredit kecil
menurun drastis. Dari Rp 35 triliun tahun 2014 tinggal Rp 5 triliun tahun 2015.
Neraca perdagangan negatif dan angkanya bisa mengindikasikan lemahnya posisi
rupiah di mata dolar.
Yang paling dia sesalkan adalah: terjadinya
deindustrialisasi selama 2015. Susah payah kita membangun industri untuk bisa
meningkatkan daya saing di ASEAN, kini terjadi lagi arus balik meninggalkan
industri. Angka pendaftaran investasi memang naik, tapi, katanya, yang
merealisasikannya hanya 50 persennya.
Enny menampilkan angka-angka yang lengkap dan
terperinci untuk mendukung pendapatnya itu.
Sejelek itukah kita?
”Saat ini arah ekonomi sudah berbalik. Sudah
kembali naik,” ujar Purbaya. ”Ini karena Bapak Presiden (Jokowi) mau
mendengarkan masukan saya,” guraunya.
Waktu itu Purbaya memang menjabat deputi
pengelolaan isu strategis kepala staf kepresidenan. Tapi, sejak kepala stafnya
berganti dari Luhut Pandjaitan ke Teten Masduki, doktor dari Purdue University,
Indiana, Amerika Serikat, itu mengundurkan diri. ”Agar bisa bicara bebas,”
katanya.
Saat menjabat di lingkungan istana pun, Purbaya
mengaku tidak segan ngomong apa adanya kepada presiden. Termasuk kritik yang
paling pedas.
”Kalau garis ini sampai melewati ini,” katanya
sambil menunjukkan grafik yang terus menurun, ”Bapak Presiden bisa jatuh.”
Purbaya lantas menunjukkan grafik saat Pak
Harto jatuh dan ketika Gus Dur jatuh dari jabatan presiden. Waktu Purbaya
bicara dengan Presiden Jokowi, pertengahan tahun tadi, gambaran grafiknya
mirip-mirip itu.
”Untung Pak Presiden segera ambil langkah.
Rupanya perlu ditakut-takuti,” ujarnya dengan nada bergurau.
Grafik ekonomi yang segawat itu juga terjadi
tahun 2009. Saat Pak SBY menjadi presiden. Tapi, Pak SBY langsung ambil langkah
untuk membalikkannya. Dan berhasil gemilang.
Jadi, kata Purbaya, tiga bulan terakhir ini
sebenarnya ekonomi sudah menunjukkan arah yang membaik. Memang, jelas dia, masih
harus waspada. Kalau lengah masih akan berbahaya di bulan Maret nanti.
Jadi, kita bisa berharap tahun depan ekonomi
membaik. Sedikit. Bukan meroket. Setidaknya tidak akan seburuk 2015: tahun yang
penuh turbulensi. Ekonomi maupun politik.
Adakah kasus ”papa minta saham” ini akhir dari
turbulensi? Atau awal dari turbulensi yang lebih besar?
Kalaupun turbulensi politik masih berlanjut,
pengaruhnya pada ekonomi tidak akan banyak. Pelaku ekonomi sudah kian kebal
dari guncangan politik.(*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar