Jumat, 19 Februari 2016

BamSoet: KPK Harus Terbebas dari Rongrongan



KPK Harus Terbebas dari Rongrongan
Oleh: Bambang Soesatyo

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus terbebas dari potensi rongrongan eksternal maupun potensi rongrongan internal. Penguatan dan terjaganya independensi itulah yang akan diwujudkan melalui revisi Undang- Undang (UU) Nomor 30/ 2002 tentang KPK.

Semua elemen masyarakat hendaknya tidak lupa pada kasus dugaan penyalahgunaan fungsi KPK yang terjadi sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Kasus dugaan penyalahgunaan fungsi KPK itulah yang menyebabkan KPK harus dipimpin oleh tiga pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK sejak Februari hingga Desember 2015.

Tiga Plt pimpinan KPK itu yakni Taufiequrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi SP harus ditampilkan karena ketua KPK definitif saat itu harus menghadapi proses hukum untuk perkara yang disangkakan kepadanya. Keterpaksaan menghadirkan tiga Plt pimpinan KPK itu seharusnya dilihat sebagai bukan persoalan sederhana. Sebaliknya, tampilnya Plt kepemimpinan itu mencerminkan ada masalah internal yang luar biasa kompleks.

Demikian kompleksnya sehingga institusi KPK sendiri tak bisa mencegah terjadi dugaan penyalahgunaan fungsi, bahkan juga tak mampu menyelesaikannya. Pimpinan KPK saat itu diduga menggunakan kekuatan lembaga antirasuah tersebut untuk mengejar target politik pada periode Pilpres 2014. Logika tentang urgensi penguatan KPK disederhanakan saja.

Ajang pilpres itu sangat transparan karena diawasi publik. Kalau di ajang yang begitu terbuka sang pemimpin bisa mendapatkan status terduga pelaku pelanggaran etika, tentu akan sangat banyak peluang untuk melakukan pelanggaran etika di ruang tertutup oleh oknum satuan kerja di lembaga antirasuah itu. Berangkat dari pengalaman tak menyenangkan seperti itu, semangat yang seharusnya lebih dikedepankan adalah menutup peluang bagi terjadi kasus pelanggaran etika.

Karena itu, KPK pun harus diawasi agar tidak berevolusi menjadi superbodi yang untouchable. Itulah semangat yang dibawa poin-poin dalam draf revisi UU No 30/2002 tentang KPK. Jangan lupa bahwa revisi UU KPK sudah dibahas bersama antara pemerintah, DPR, dan KPK.

Pembahasan itu menyepakati empat poin revisi meliputi pengangkatan penyidik independen, pembentukan Dewan Pengawas KPK, mekanisme penyadapan yang harus melalui izin Dewan Pengawas KPK, dan wewenang penerbitan SP3. Predictable bahwa draf revisi itu akan menimbulkan pro dan kontra. Beberapa kalangan tidak setuju dengan dihadirkannya Dewan Pengawas KPK.

Menurut Pasal 37 D draf revisi UU KPK, dewan pengawas dipilih dan diangkat oleh presiden setelah melalui proses seleksi. Pasal yang sama juga menetapkan dua tugas utama dewan pengawas yakni memberikan izin penyadapan dan penyitaan serta menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan KPK.

Kelompok masyarakat lainnya menolak wewenang penyadapan itu dibatasi. Ada juga yang tidak sependapat dengan pemberian wewenang menerbitkan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Bahkan ada yang berpendapat bahwa draf revisi UU KPK itu tidak sesuai dengan konteks kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena itu, disarankan agar draf revisi itu dikaji lagi dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat.

Ragam aspirasi publik itu diterima sebagai masukan oleh Panitia Kerja (Panja) Revisi UU KPK di Badan Legislasi DPR. Karena itulah, pengesahan draf revisi UU KPK menjadi RUU inisiatif DPR yang rencananya dilakukan pada Rapat Paripurna DPR, Kamis (11/2) harus ditunda. Pada rapat Badan Legislasi hari sebelumnya, sembilan fraksi (Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, Fraksi Hanura, Fraksi NasDem, Fraksi PKB, Fraksi PPP, Fraksi Golkar, dan Fraksi PAN) menyetujui draf revisi itu. Belakangan Fraksi Partai Demokrat dan konon PKS berubah sikap.

Menguatkan dan Melindungi

Sesungguhnya fraksi-fraksi ini sudah bersepakat untuk memastikan bahwa revisi UU KPK tidak akan melemahkan KPK. Fraksi-fraksi itu belajar dari pengalaman tak sedap yang sempat dialami KPK. Karena itu, semangat fraksi-fraksi DPR yang pror evisi itu adalah memperkokoh kekuatan KPK agar mampu menghalau rongrongan eksternal maupun rongrongan yang bersumber dari internal KPK sendiri. Tak satu pun kekuatan politik di DPR ingin melemahkan KPK.

Pernyataan kepastian dari fraksi-fraksi DPR ini sekaligus merespons pernyataan sikap Presiden Joko Widodo yang akan memilih opsi mundur dari pembahasan jika revisi UU itu akan melemahkan KPK. Pernyataan sikap pemerintah itu terlalu dini karena draf revisinya sendiri belum disahkan. Dewan Pengawas KPK jelas sangat diperlukan karena para pimpinan KPK dan jajaran di bawahnya adalah manusia-manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Berangkat dari persepsi ini, menolak kehadiran Dewan Pengawas KPK terkesan kekanak-kanakan. Soalnya, penolakan itu lebih dilandasi oleh asumsi bahwa pimpinan KPK dan jajaran di bawahnya adalah orang-orang yang tak pernah berbuat dosa atau kesalahan, baik disengaja atau tidak di sengaja. Pertanyaannya, adakah manusia biasa yang mampu memenuhi kriteria malaikat suci itu? Komunitas hakim sebagai pengadil saja masih memerlukan pengawasan oleh Komisi Yudisial (KY).

Belakangan ini bahkan muncul dorongan agar peran KY sebagai pengawas eksternal komunitas hakim segera diperkuat. Penguatan fungsi KY merupakan bagian dari upaya memperbaiki citra lembaga peradilan di negara ini. Maka itu, mengapa harus dimunculkan rasa takut berlebihan jika KPK pun harus diawasi oleh dewan pengawas. Keberatan terhadap kehadiran Dewan Pengawas KPK bukan saja terkesan kekanak- kanakan, melainkan juga sangat tidak masuk akal.

Hak menyadap tetap melekat pada KPK. Tetapi, penggunaan atas hak itu harus bisa dikendalikan agar tidak lagi sewenang- wenang. Untuk itulah, kendali penggunaan hak itu dipercayakan kepada Dewan Pengawas KPK. Mencurigai Dewan Pengawas KPK akan melemahkan dan menurunkan agresivitas KPK pun terasa mengada-ada. Pertama karena dewan pengawasnya saja belum pernah ada, dan belum ada gambaran siapa saja yang akan menjadi anggota dewan itu.

Apalagi, KPK belum memiliki pengalaman diperkuat dewan pengawas. Orang-orang baik tak pernah takut diawasi. Hanya orang sok suci atau munafik yang takut diawasi. Memang Dewan Pengawas KPK pun akan diisi oleh manusia biasa yang mungkin saja coba menyisipkan kepentingannya ketika menjalankan fungsi pengawasannya.

Katakanlah ada oknum anggota dewan pengawas yang justru merusak strategi penyidikan; gangguan-gangguan seperti itu tentunya bukan tidak bisa diperbaiki. Bahkan, jika nanti Dewan Pengawas KPK terbukti tidak efektif mendukung pemberantasan korupsi, harus ada keberanian untuk mengeliminasi Dewan Pengawas KPK itumelalui revisi UU KPK lagi.

Terpenting saat ini, harus ada kemauan dan keberanian bersama untuk memfungsikan Dewan Pengawas KPK karena tujuannya untuk memperkokoh kekuatan KPK, sekaligus menjaga independensi KPK. Draf revisi UU KPK yang akan dibahas nanti sebenarnya belum komprehensif. Dalam banyak diskusi, para pakar dan praktisi hukum justru berpendapat bahwa masih ada beberapa aspek yang perlu dibenahi jika ingin mewujudkan KPK yang benar-benar kuat, profesional, dan transparan.

Misalnya soal penyadapan. Hak menyadap adalah keistimewaan yang luar biasa. Idealnya, hak itu juga dipertanggungjawabkan kepada publik. Pada akhirnya, UU KPK pun harus mengatur kewajiban KPK mempertanggungjawabkan penggunaan hak menyadap itu. []

KORAN SINDO, 16 Februari 2016
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar