Kontestasi Islam Indonesia Kontemporer (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Pemikiran Islam Indonesia kontemporer sedikit banyak memiliki
kontinuitas dengan intelektualisme masa sebelumnya. Pemikiran Islam Indonesia
yang pernah disebut sebagai ‘tradisional’--sering juga disebut sebagai
‘tradisionalisme Islam’-- dalam batas tertentu kian memudar. Pada saat yang
sama, corak pemikiran ini juga mengadopsi aspek intelektualisme yang lazim
dinisbahkan kepada pemikiran ‘modernis’.
Pada sisi lain, pemikiran Islam yang disebut sebagai ‘modernisme
Islam’ juga mengalami perubahan. Perubahan itu banyak terkait dengan kegagalan
proyek modernisme di lingkungan masyarakat Muslim tertentu, dan juga dengan
kebangkitan agama (religious
revival) di berbagai lingkungan komunitas di dalam dan luar negeri.
Karena itu, ‘modernisme Islam kian memberikan apresiasi lebih besar pada
warisan Islam (al-turats
al-Islamiyyah) pada aspek pemikiran maupun kelembagaan.
Dalam konteks itu, jelas dinamika pemikiran Islam Indonesia sangat
terkait dengan dinamika masyarakat di ranah domestik maupun global.
Kontekstualisasi dan indigenisasi Islam seperti pernah dianjurkan para pemikir
sebelumnya semacam Cak Nur, Gus Dur atau Munawir Sjadzali, terus menjadi
paradigma pemikiran Islam Indonesia kontemporer.
Tetapi pada saat yang sama, konteks transregional dan
internasional --dari dunia Muslim sendiri dan dunia internasional lebih luas
terus pula kian meningkat memasuki ranah pemikiran Islam Indonesia. Globalisasi
memberi dampak lebih luas daripada masa sebelumnya karena kemajuan
telekomunikasi instan melalui berbagai media dan jaringan yang tidak pernah ada
presedennya di masa silam.
Karena itu, seperti disarankan Carol Kersten dalam karyanya Islam in Indonesia: The Contest for
Society, Ideas and Values (London; 2015), pemikiran Islam
Indonesia kontemporer dapat disebut sebagai berada pada tahap post-modernism. Namun dia
menegaskan tahap-tahap sejarah pemikiran Islam tidak harus selalu bersifat
sekuensial atau sambung menyambung (successive)
seperti tradisional, modern, dan pascamodernisme.
Kontestasi pemikiran Islam kontemporer, menurut dia, jika
dikategorisasikan terutama menyangkut pemahaman berbeda tentang sekularisme,
pluralisme, dan liberalisme. Ketiga subjek yang menjadi perdebatan dan
kontestasi muncul sebagai motif pokok dalam uji daya tahan Indonesia dalam
proses demokratisasi yang kini sudah memasuki tahap konsolidasi.
Perdebatan mengenai subjek-subjek ini selain terjadi di antara
intelektual dan lembaga Muslim, juga melibatkan kalangan non-Muslim. Hal ini
tidak lain karena subjek pluralisme, misalnya, memiliki reperkusi dan
konsekuensi terhadap kebebasan beragama, toleransi, dan selanjutnya juga hak
asasi manusia (HAM).
Sebab itu, kontestasi pemikiran Islam kontemporer untuk hegemoni
terhadap masyarakat, gagasan, dan nilai terlihat jelas dalam banyak tulisan
para pemikir Islam masa ini. Mereka berusaha mengkonseptualisasi dan merumuskan
berbagai wacana. Sementara itu, para aktivis mencoba mencarikan jalan untuk
artikulasi dan implementasi konkret gagasan yang ada.
Pemikiran dan langkah berbeda membuat kontestasi di antara para
pemikir beserta aktivis yang mewakili kecenderungan pemikiran berbeda
menghasilkan perdebatan hangat dan bahkan diwarnai ‘konfrontasi’. Di sini
Kersten meminjam ungkapan mantan menhan AS Donald Rumsfed tentang ‘perang
gagasan’ atau apa yang disebut kalangan Islamis sebagai ghazwul fikri atau
‘invasi intelektual’.
Sekali lagi, intelektualisme Islam Indonesia tidak bisa dibahas
dan dipahami secara isolasi tanpa mempertimbangkan berbagai faktor domestik dan
internasional konteks sehingga membentuk apa yang disebut sebagai ‘formasi
diskursif’. Hasilnya, seperti dikemukakan John Bowen,
antropolog-cum-Indonesianis-Islamisis, ‘menjadikan Indonesia sebagai salah satu
situs utama di muka bumi ini untuk mengkaji keragaman sosial, gagasan politik,
dan komitmen keagamaan’.
Kersten mengikuti kerangka Bowen. Ia melihat ‘Indonesia sebagai
situs yang secara khas ditandai pergumulan untuk menyatukan norma-norma dan
nilai-nilai yang bersumber dari Islam, budaya lokal, dan kehidupan publik
internasional’.
Menurut Kersten, lingkungan Indonesia ditandai keragaman yang
sangat bergairah (vibrant).
Karena itulah lanskap intelektual yang berkembang memunculkan berbagai figur
dan lembaga dengan pemikiran Islam Indonesia yang progresif. Pada pihak lain
juga ada figur atau lembaga yang memunculkan ‘kontra-wacana’ yang oleh kalangan
Indonesianis lain semacam Martin van Bruinessen disebut sebagai ‘gelombang konservatif’
(conservative tide).
Tarik menarik, pergumulan, dan kontestasi dalam pemikiran Islam
Indonesia pasti terus berlanjut di masa depan. Merupakan tradisi yang sehat
jika pergumulan tidak didasari prasangka dan permusuhan, tetapi sebaliknya
tetap dengan saling menghargai --meski tidak setuju dengan suatu corak
pemikiran tertentu. []
REPUBLIKA, 18 Februari 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar