Senin, 22 Februari 2016

Kang Sobary: Tembakau Tanpa Politik



Tembakau Tanpa Politik
Oleh: Mohamad Sobary

Ada sebuah kisah mengenai tembakau yang tak mengandung unsur politik di dalamnya. Kita menyebutnya tembakau tanpa politik. Kisah itu terjadi di Madura. Di sana tembakau disebut emas hijau.

Kita tahu daun tembakau berwarna hijau. Tapi, hijau yang satu ini mahal harganya. Tak mengherankan bila orang di sana menyebutnya emas hijau. Tersebutlah seorang petani yang lugu, polos, tapi sekaligus keras dan ditakuti oleh warga masyarakat di sekitarnya. Guru- guru pun mendengar nama dan sifatnya yang galak. Kelihatannya, sifat ini membuatnya tak mengenal kompromi mengenai apa pun. Juga dalam hubungan dengan siapa pun. Anak-anaknya dididik dengan keras.

Orang tua tak boleh dibantah seperti dewa yang sangat berkuasa. Tetapi, Pak Tani satu ini memiliki anak nakal yang tak bisa diatur. Sering dia kehilangan akal. Anak-anak yang lain patuh terhadap sikap keras ayahnya, tetapi anak yang satu ini tidak. Makin keras sikap ayahnya, diam-diam anak itu makin melawan. Di sekolah pun dia melawan. Terhadap guru yang bersikap keras, dia makin berani terangterangan melawannya. Pada suatu hari Pak Guru olahraga menemukan anak itu masih berseragam sekolah ketika anak-anak yang lain sudah di lapangan dengan seragam olahraga. Pak Guru menegurnya. Anak itu kelihatan tak peduli.

Pak Guru membentaknya. Dan, anak itu tak peduli. Tentu saja Pak Guru tak bisa membiarkannya begitu saja. Disiplin sekolah harus ditegakkan. Muridmurid lain, yang kelihatan patuh dan sudah siap di lapangan olahraga, harus dihargai. Tapi, anak itu betul-betul tak peduli. Pak Guru kehilangan kesabaran. Anak itu ditariknya ke lapangan dan dipaksa berganti pakaian olahraga. Anak itu mengaku tak membawa seragam olahraga.

Tapi, Pak Guru menyuruhnya memakai pakaian apa pun, tak perlu seragam seperti yang lain-lain. Dan, ketika anak itu tetap mogok, Pak Guru menjambak rambutnya. Lalu seperti digigit ular berbisa, anak itu menjerit dan berlari ke sana ke mari seperti anak sudah kehilangan akal, kemudian pulang.

***

Ayahnya, Pak Tani yang keras tadi tahu apa sebabnya. Tanpa membuang-buang waktu, Pak Tani itu langsung datang ke sekolah. Seketika sekolah menjadi gempar seperti ada harimau masuk ruangan. Kepala sekolah sendiri kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi, akhirnya, kepala sekolah memanggil Pak Guru olahraga. Mereka berdua harus menghadapi Pak Tani yang ditakuti itu.

Pak Tani yang tak sabar menunggu di luar ruangan langsung melongok ke dalam dan masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu seperti ketika dia masuk masjid. Dengan suara menggelegar dia berkata: ”Saya mau bicara dengan guru olahraga.” Meskipun sudah tahu bahwa dia mau bicara dengan guru olahraga, kepala sekolah masih juga kaget setengah mati mendengar suara itu. Entah dengan keberanian yang datang dari mana, dia sendiri sama sekali tidak tahu, kepala sekolah mempersilakan Pak Tani duduk dengan suara jelas, tidak mengandung tanda ketakutan, dan wajahnya tampak tenang. Pak Tani menurut.

Dia duduk dan mulai berbicara. ”Terima kasih Pak Guru olahraga telah mendidik anak saya. Dia sangat takut dengan Pak Guru.” Nada suaranya masih mencurigakan apakah ini terima kasih beneran atau suatu sindiran. ”Tadi Bapak Guru apakan anak saya sampai dia bisa begitu takut?” Pertanyaan ini lebih menakutkan Pak Guru olahraga. Dalam hatinya, dia bertanya, ini sindiran apa pertanyaan? Akhirnya, Pak Tani, dengan cara sangat mengejutkan, berjongkok di depan Pak Guru olahraga sambil menyatakan terima kasih secara tulus karena Pak Guru itu dianggapnya mampu menaklukkan anaknya.

Pak Tani betul-betul terpesona dan kini, sambil membungkuk, dia menyerahkan sebuah bungkusan berisi tembakau terbaik dari hasil panennya untuk Pak Guru yang dihormatinya itu. Merasa tak enak sama sekali, Pak Guru olahraga menolak. Pak Tani kebingungan. Ini hasil panen sendiri, bukan beli di pasar, dan bukan barang mahal, tetapi cukup terhormat untuk sebuah hadiah, atau untuk suatu tanda terima kasih. ”Ini tembakau yang baik Pak Guru. Ini tidak ada politiknya. Mohon diterima. Tidak ada politiknya Pak Guru. Saya berani bersumpah”

***

Begitu sikap Pak Tani yang dikenal galak itu. Dia tulus memberikan kenangan itu tanpa unsur politik apa pun. Kepolosannya membuat kita terharu, tetapi kita juga percaya, maksudnya baik. Dan, hanya kebaikan itu yang ada di hatinya. Semua produk pertanian komersial, yang tata niaganya memerlukan campur tangan pemerintah, tak mungkin lepas dari politik. Campur tangan pemerintah itu politik. Begitu juga produk tembakau.

Di dalamnya pemerintah mengatur sebaikbaiknya bukan hanya tata niaga tembakau, melainkan juga berbagai cara mengolahnya di pabrik, cara memberi label, dan cara menjualnya. Iklan untuk promosi dilarang. Cara mengonsumsinya dibatasi. Pajaknya, yang disebut cukai, diatur begitu rupa sehingga tiap tahun naik, naik. Naik, bagaikan tanpa batas. Beberapa warga masyarakat yang mencoba hidup dari usaha pengolahan produk tembakau, yaitu usaha pada tingkat keluarga, home industry, kecil-kecilan, dengan sendirinya terbunuh oleh kebijakan itu.

Dalam penertiban ini, kebijakan pemerintah bukan mengatur dengan baik kehidupannya, melainkan mengatur kematiannya. Cara mengatur impor tembakau pun menunjukkan dengan jelas, pemerintah tak peduli pada industri rumah tangga berskala kecil tadi. Pemerintah tak peduli pada petani tembakau. Pertanian tembakau mati pemerintah tak peduli. Kalau tidak mati, malah dengan jelas dibuat kebijakan yang membuat kehidupan mereka serba terancam.

Dengan kata lain, kalau dunia pertanian tembakau tidak mati, pemerintah berusaha membuatnya mati. Di sini, sekali lagi, campur tangan pemerintah jelas menunjukkan bahwa tidak mungkin ada tembakau tanpa politik. Campur tangan di sini artinya buruk, negatif, dan menakutkan. Pemerintah bisa saja bohong bahwa impor itu dilakukan karena kualitas tembakau kita kurang baik, kurang memenuhi selera industri.

Padahal, kita tahu, tembakau srintil dari Temanggung itu tembakau terbaik di dunia. Saking tinggi mutunya, fungsi tembakau itu hanya untuk ”lauk”, atau campuran tembakau lain, dalam jumlah kecil. Kita tahu, tembakau terancam karena kebijakan politik. Dan, karena kebijakan politik pula, industri kecil-kecil kita, milik keluarga pengusaha kita sendiri, terbunuh.

Sebetulnya lebih tepat dibunuh. Inilah tembakau yang dililit kepentingan politik dan segenap kebijakan politik. Di bidang ini, dalam satu jenis kehidupan ini, dibuktikan dengan jelas, politik berarti buruk dan mengancam. Mengapa harus begitu? Kita rindu pada suatu tata kehidupan yang menggambarkan ada tembakau tanpa politik. Ini berarti tembakau tanpa ancaman. []

KORAN SINDO, 18 Februari 2016
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar