Menjadi
Wartawan
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Di
Jakarta, kuliah sambil bekerja atau bekerja sambil kuliah, rupanya tidak sulit
dijalani. Banyak keluarga di kota besar yang memerlukan guru privat untuk
mengajari matematika dan agama untuk anak-anaknya.
Tentu ini
peluang bagus bagi mahasiswa yang terjun bebas ke Jakarta seperti saya yang
tidak mendapatkan dukungan uang dari keluarga di kampung karena memang tidak
mampu. Pagi saya kuliah, sorenya mengajar privat agama dan aktif bakti sosial
di Kompleks Mabad, Rempoa, tak jauh dari kampus.
Di
kompleks ini saya dikenal layaknya pelaksana tugas pengurus RK (rukun kampung)
yang mengurus KTP dan berbagai kepanitiaan acara sosial. Semuanya saya jalani
dengan riang. Yang penting saya bisa kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, sebuah
dunia baru yang sangat menggairahkan.
Keberhasilanku
terdaftar sebagai mahasiswa pada perguruan tinggi negeri sungguh merupakan
hiburan dan anugerah hidup di luar perhitungan nalar mengingat agenda pertama
saya ke Jakarta mau bekerja sebagai buruh, apa pun jenis pekerjaannya yang
penting halal untuk menopang hidup mencari pengalaman di Ibu Kota.
Saya
tercatat sebagai mahasiswa IAIN angkatan 1974 yang berlokasi di Ciputat,
wilayah perkampungan yang masih sepi dan sangat tenang saat itu. Berkat
aktivitasku di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Ciputat, saya berkenalan
dengan senior saya, Farid Hadjiri, yang kuliah sambil bekerja sebagai wartawan
Panji Masyarakat di bawah kepemimpinan almarhum Buya Hamka.
Dari
perkenalan inilah sebuah jalan baru terbuka. Saya sampaikan ke Mas Farid, saya
ingin belajar dan bekerja sebagai wartawan. Sejak dari pesantren saya sudah
terbiasa menulis dan membuat mading atau majalah dinding. Bahkan Kiai Hamam
Ja’far (alm) mewajibkan menulis buku harian dan seminggu sekali menyusun
karangan lepas yang kemudian dijadikan bahan latihan pidato (muhadharah) di
depan teman-teman. Setelah berlalu belasan tahun saya baru sadar bahwa
membiasakan menulis akan berpengaruh untuk berpikir sistematis, ekonomis, dan
terstruktur.
Demikianlah,
tahap awal saya diajak melihat dan mendampingi Mas Farid melakukan wawancara
tokoh sambil memegang kamera. Ketika hasil wawancara terbit di majalah, otakku
mengingat kembali dan merenungkan tahapan proses dari awal wawancara sampai
tersajikan dalam rubrik majalah, dengan disertai foto. Hatiku berkata, saya
pasti bisa bekerja sambil kuliah sebagai wartawan, minimal sebagai reporter
karena saya sudah terbiasa menulis esai.
Pikirku,
wartawan itu keren, bisa bertemu tokoh-tokoh hebat, pekerjaan bisa dilakukan di
luar jam kuliah. Sosok lain yang menginspirasi saya merambah dunia wartawan
adalah Fachry Ali, sesama mahasiswa IAIN angkatan ‘74 yang juga aktif di HMI
Ciputat. Sejak mahasiswa Fachry Ali rajin menulis puisi, naskah drama, dan
menulis opini di surat kabar. Saya, Fachry Ali, disusul Iqbal Saimima (alm) dan
Azyumardi Azra akhirnya bergabung sebagai wartawan Panji Masyarakat sambil
kuliah dan aktif di HMI.
Terdapat
korelasi positifproduktif antara professi wartawan dan dunia mahasiswa. Sebuah
kerja semi-intelektual yang mendatangkan uang, memperluas pengetahuan dan
pergaulan yang sekaligus juga memperkaya wawasan sebagai aktivis mahasiswa.
Dengan pengalaman jurnalistik meliput acara-acara seminar nasional dan
internasional, duduk di kelas mendengarkan kuliah dosen terasa ringan dan mudah
membuat kesimpulan.
Mungkin
pengaruh dari pengalaman bertemu berbagai tokoh nasional, muncul kesombongan
membuat penilaian siapa dosen yang berbobot dan siapa dosen yang ilmunya
pas-pasan. Siapa dosen yang rajin membaca dan mengikuti buku-buku mutakhir, dan
siapa dosen yang hanya mengandalkan buku teks lama.
Berdekatan
dengan Buya Hamka, seorang ulama dan pujangga besar yang semua novelnya pernah
saya baca, sungguh sangat membanggakan dan menambah rasa percaya diri saya
bekerja sebagai wartawan majalah Panji Masyarakat . Penyajian majalah dituntut
memiliki bobot ilmiah dan mendalam, beda dari surat kabar berita.
Suatu
pengalaman yang tak pernah lupa, suatu hari saya membuat janji wawancara dengan
Dr Taufik Abdullah, sejarawan ternama, seputar Islam dan politik di Indonesia.
Mungkin kurang percaya dengan penampilan saya, justru dia yang memulai
mengajukan pertanyaan pada saya:
”Pernah
membaca buku karangan saya? Apa kesan saudara tentang buku itu?” Langsung saya
jawab dengan lancar dan percaya diri isi buku Islam Indonesia sehingga Taufik
Abdullah berkata,”Baik, wawancara bisa kita mulai. Saya percaya pada kemampuan
saudara untuk memahami pikiran saya.”
Pengalaman
serupa ternyata saya temui lagi ketika wawancara Bang Ali Sadikin, Gubernur DKI
waktu itu. Dia mengajukan pertanyaan, berupa jumlah penduduk Jakarta, apa
problem terbesar yang dihadapi masyarakat Jakarta? Rupanya dia ingin menjajaki
kesiapan intelektual saya untuk berdiskusi dan menangkap pemikirannya seputar
kehidupan sosial Ibu Kota.
Sekian
narasumber yang pernah saya wawancarai seperti Juwono Sudarsono, Sarlito
Wirawan Sarwono, Suryanto Puspowardoyo, sampai sekarang masih terjalin
persahabatan intelektual. Figur-figur yang telah meninggal yang semasih hidup
pernah saya wawancarai dan terjalin persahabatan layaknya guru dan mahasiswa
antara lain Mochtar Lubis, Ruslan Abdul Gani, Andi Hakim Nasution, Adam Malik,
Slamet Iman Santoso, dan beberapa tokoh lain.
Mereka
semua telah menularkan virus intelektual, bahwa saya tidak boleh berhenti
sebagai wartawan yang membuat janji untuk wawancara. Suatu saat wartawan yang
mencari dan menemui saya untuk minta wawancara, tekadku kala itu. []
KORAN
SINDO, 12 Februari 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar