Kontestasi
Islam Indonesia Kontemporer (2)
Oleh:
Azyumardi Azra
Sejarah
dan dinamika pemikiran Islam Indonesia kontemporer --masa yang tengah
berlangsung sekarang-- jelas terkait erat dan mengandung kontinuitas sekaligus
perubahan dengan intelektualisme yang bertumbuh dalam masa-masa sebelumnya.
Kenyataan ini bisa dilihat dari subjek dan tema yang menjadi wacana dan
perdebatan di antara para pemikir dan intelektual Islam Indonesia.
Jika
disederhanakan, setidaknya ada tiga periodisasi intelektualisme Islam sejak
awal abad ke-20. Pertama, periode prakemerdekaan dengan tokoh intelektual,
seperti Mohammad Natsir, Agus Salim, dan generasinya yang banyak bergulat
tentang tema seputar hubungan Islam dengan nasionalisme atau Islam dan negara.
Kedua,
generasi pertama pascakemerdekaan yang mencakup tokoh pemikir dan intelektual
semacam Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif dengan
generasinya; sebagian sudah almarhum dan ada pula yang masih aktif. Mereka juga
masih terlibat dalam subjek tentang Islam dan negara, Islam dan politik, juga
Islam dan modernisasi.
Ketiga,
generasi yang betul-betul kontemporer yang aktif berkiprah dan mencapai
prominensi sejak masa pasca-Soeharto. Generasi ini hidup di masa pasca
Nurcholish Madjid dan Abdurahman Wahid yang ditandai dengan liberalisasi
politik dan demokrasi yang memberikan peluang besar bagi setiap orang atau
kelompok mengembangkan aspirasi, gagasan, dan nilai yang sering bertolak
belakang dan terlibat kontestasi satu sama lain.
Kontestasi
gagasan dan nilai untuk memenangkan pengaruh dalam masyarakat yang menampilkan
kecenderungan intelektual berbeda disuarakan beragam individu yang terkait
dengan lembaga, organisasi, atau kelompok tertentu. Carool Kersten dalam
karyanya Islam in Indonesia:
The Contest for Society, Ideas and Values (London; 2015)
berusaha memetakan berbagai kecenderungan pemikiran Islam Indonesia
kontemporer.
Salah
satu kecenderungan intelektualisme Islam Indonesia kontemporer, menurut
Kersten, adalah absennya figur intelektual yang benar-benar menjadi primadona
untuk generasinya. Figur-figur intelektual terpencar ke dalam berbagai lembaga
dan kelompok --tidak lagi terpusat pada figur-figur tertentu.
Kersten
mengkaji dinamika pemikiran Islam Indonesia kontemporer dengan meneliti
kelompok-kelompok yang terlibat dalam berbagai bentuk aktivisme intelektual.
Pendekatan dia ini berbeda dengan Robert Hefner dalam Civil Islam: Muslim and
Democratization in Indonesia (2000) yang menekankan pentingnya
peran individu dalam dinamika intelektualisme Islam Indonesia pada masa
generasi Cak Nur.
Penekanan
pada peran figur intelektual daripada lembaga sebagai aktor intelektualisme
Islam Indonesia kontemporer mendapat kritik dari sarjana lain semacam John T
Sidel (2001). Yang terakhir ini justru menekankan peran madrasah sebagai sumber
awal dinamika pemikiran Islam Indonesia kontemporer.
Namun,
Johan Meuleman, guru besar asal Belanda yang lama bertugas di IAIN/UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, mengritik penekanan Siedel yang ia pandang berlebihan
tentang peran madrasah dalam masyarakat Indonesia umumnya dan dalam
perkembangan pemikiran reformis atau kelas menengah Muslim khususnya.
Sebaliknya,
Meuleman mengingatkan agar orang tidak mengabaikan atau meremehkan peran dan
kontribusi pesantren dan IAIN (juga UIN dan STAIN) beserta banyak institusi
yang menyertainya, seperti lembaga riset, kelompok diskusi dan belajar. Mereka
ini berperan besar dalam emansipasi kelompok besar Muslim dan juga dalam
perkembangan gagasan pluralis dan demokratis.
Kersten
tampaknya mengikuti Meuleman dengan menekankan peran lembaga dan kelompok
intelektual melalui pendekatan jaringan (network
approach). Pertumbuhan lembaga dan kelompok intelektual terkait
banyak dengan pertumbuhan eksplosif kelas menengah terdidik Muslim --baik dalam
jumlah absolut maupun proporsi dengan jumlah penduduk Indonesia secara
keseluruhan.
Dengan
tetap mempertimbangkan relevansi konteks dimensi struktural politik, sosial,
dan kultural, kajian Kersten memiliki ambisi menjadikan investigasinya sebagai
kajian pertama tentang sejarah intelektual substantif. Kajiannya adalah sejarah
gagasan dengan mengungkapkan riwayat mereka yang mengonseptualisasi dan
memformulasi cara baru berpikir tentang agama dan menerjemahkannya menjadi
agenda pembaruan guna merespons tantangan serius yang dihadapi Indonesia dewasa
ini.
Masalahnya
kemudian sudah banyak diketahui. Dalam ungkapan Kersten, tantangan berat dalam
upaya mengungkapkan pemikiran Islam Indonesia kontemporer adalah absennya meta-narrative yang
sistematis. Para intelektual Indonesia jarang menulis buku utuh; sebaliknya
lebih banyak menulis makalah, esai, dan kolom--dan kemudian juga blog di dunia
maya. Karena itu, peneliti harus meneliti banyak literatur yang tentu saja
menghabiskan banyak waktu dan tenaga. []
REPUBLIKA,
11 Februari 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar