Krisis
Peradaban Arab Muslim (III) (Dalam Pandangan Khaled Abou El Fadl)
Oleh :
Ahmad Syafii Maarif
Abou El
Fadl amat berang dengan kekuasan militer yang telah menghancurkan
lembaga-lembaga demokrasi yang baru saja bersemi di Mesir berkat Musim Semi
Arab, tetapi abortif itu. Bagaimana siasat penguasa dalam menggunakan lembaga
pendidikan untuk tujuan politik ditunjukkan oleh fakta berikut ini.
Pada Juli
2014 Rektor Universitas al-Azhar menganugerahkan gelar doktor HC kepada
almarhum Raja Abdullah bin Abdulaziz dari Arab Saudi dalam teologi dan hukum,
seakan-akan raja ini punya pengetahuan dan jasa di bidang itu. Yang lebih aneh
lagi, Universitas Madinah memberikan gelar serupa kepada sang raja dalam ilmu
politik, sedangkan di universitas ini tidak ada Departemen Ilmu Politik itu.
Lalu Abou
El Fadl bertanya, “Apakah pemberian gelar Doktor HC kepada almarhum raja ini
karena pengetahuannya yang luas dalam hukum Islam dan teologi atau mungkin
karena etika kasih sayangnya yang tanpa cacat, perasaan belas kasih, dan
keadilan?”
Abou El
Fadl menjawab, “Bukan, ini adalah wujud lain tentang bagaimana agama, simbol-simbol,
dan kekuatan moralnya diletakkan dalam keranjang negara. Keputusan memberikan
penghargaan doktor HC kepada almarhum raja sepenuhnya merupakan tindakan
politik, di dalamnya negara menggunakan Islam untuk melayani kepentingan
politik.”
El Sisi juga
telah meminta para ulama untuk menegaskan bahwa penggulingan sebuah
pemerintahan yang dipilih secara demokratis sesuai dengan ajaran Islam. Dalam
proses penggulingan ini, jika berlaku pembunuhan atau dibunuh, semuanya
terhormat dan dikasihi di mata Tuhan.
Kepada
ulama Al-Azhar, El Sisi juga memerintahkan untuk merumuskan “Islam moderat”
itu. Abou El Fadl bertanya, “Bagaimana pula kelihatannya Islam moderat itu? Apa
yang akan dijadikan dasar epistemologis dan kebenaran filosofisnya?” Catatan
saya, sebenarnya Abou El Fadl tidak perlu mengajak El Sisi berpikir sejauh itu.
Sebab,
yang perlu bagi jenderal ini adalah bahwa agama dipakai sebagai alat untuk
melanggengkan politik kekuasaan. Titik! Adapun ulama yang diminta memberi fatwa
sesuai dengan kemauan penguasa, bukan hal baru dalam perjalanan sejarah umat
Islam.
Maka,
Islam moderat ala Saudi, kata Abou El Fadl, tentulah sebuah Islam yang
dikendalikan negara, bercorak teokratik dalam prototipe Wahabi. Di dalamnya
pasti ditemukan despotisme, patriarkalisme, autoritarianisme, pemerasan,
penindasan, puritanisme, tunatoleransi, dan bentuk-bentuk lain yang sejenis
itu.
Pokoknya,
bagi pemikir berani kelahiran Kuwait ini, Islam di bawah kendali penguasa
bukanlah Islam yang diajarkan Alquran dan Nabi yang menempatkan prinsip
keadilan dan ajaran persamaan sejati sebagai perwujudan tauhid di muka bumi.
Dilanjutkan
Abou El Fadl mengenai apa itu Islam politik. “Barangkali Islam politik itu
haruslah didefinisikan sebagai suatu bentuk pernyataan Islamisitas bagi tujuan
yang tidak sejalan dengan rezim-rezim militer pro-Barat dan rezim-rezim syekh
minyak di kawasan itu.”
Di mata
Abou El Fadl, kekuasaan militer dan rezim syekh kaya minyak yang pro-Barat
tidak lain dari perpanjangan tangan kolonialisme, tetapi diberi jubah agama.
Inilah sebuah tragedi peradaban Arab Muslim pada abad ke-21.
Dapatlah
dibayangkan betapa dalamnya kegelisahan batin seorang Abou El Fadl menyaksikan
panorama kumuh, tetapi secara lahiriah mewah di beberapa negara Arab modern.
Tengoklah Dubai yang kosmopolitan, tempat bermain kumuh dunia dan pusat lalu
lintas manusia; lihat pula Makkah yang kosmopolitan dengan pertunjukan karut
dari konsumerisme McWorld dan kapitalisme Uncle Sam. Dan juga Riyadh dan Kairo
yang telah menjadi prototipe terburuk dari negara-polisi modern.
Di
samping semua kemewahan yang serbaapak ini, tengok pulalah nasib rakyat
Palestina yang sudah puluhan tahun merintih di bawah kekejaman Zionisme. Siapa
yang masih peduli? []
REPUBLIKA,
09 Februari 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar